Berita

 Network

 Partner

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store

“SEPI SETELAH KITA” sebuah cerita pendek karya Biavi Sazili

Editor:

Karya: Biavi Sazili | September 2024

Pagi itu hujan rintik turun membasahi kaca jendela, menciptakan garis-garis air yang lambat turun, seolah mengiringi hatiku yang juga perlahan-lahan jatuh ke dalam kesunyian. Di sudut kamar yang sempit, aku duduk termenung, memandangi layar ponsel yang sunyi. Tidak ada pesan darimu. Sudah berhari-hari, mungkin berminggu-minggu. Aku tak lagi bisa mengingat kapan terakhir kali kita benar-benar berbicara.
Di luar sana, suara hujan beradu lembut dengan jalanan aspal, namun di dalam sini, semua terasa hampa. Sudah lama aku menantikan kabar, tapi pada akhirnya, hanya ada kebisuan. Aku menatap sejenak ke luar jendela, mengamati setiap tetes hujan yang jatuh seperti jarak yang perlahan-lahan tumbuh di antara kita.
“Kamu sudah tidak sama,” bisikku pada diriku sendiri. Suara itu menggema di dalam ruangan, seperti kenyataan yang tak ingin kuakui selama ini. Kamu, sosok yang dulu begitu dekat, kini terasa asing. Apakah waktu yang membuat kita seperti ini, atau ada yang lain?
Aku teringat pesan-pesan singkat kita yang semakin jarang. Setiap kali aku mencoba mengirim pesan, jawabmu selalu singkat dan formal. Tidak ada lagi tawa kecil di antara kalimat, tidak ada lagi canda yang membuatku merasa hangat. Seolah-olah aku hanya bagian dari masa lalu yang kamu kunjungi sebentar sebelum kembali ke duniamu yang baru.

Jasa Pembuatan Buku

Suatu malam, aku memberanikan diri menelponmu. Ponsel berdering beberapa kali sebelum akhirnya tersambung. Suara di seberang sana terdengar lelah, bahkan mungkin sedikit terganggu.
“Ya?” jawabmu dingin.
Aku terdiam, tenggelam dalam kecanggungan. Biasanya, suaramu selalu menyambutku dengan hangat, namun kali ini berbeda. Aku merasa seolah-olah telah mengganggu.
“Kamu lagi sibuk?” tanyaku dengan nada yang lebih pelan dari biasanya.
“Aku lagi di luar, ada acara,” jawabmu singkat.

“Oh, oke… aku cuma ingin tahu kabarmu.” Satu kalimat bodoh yang keluar begitu saja.
“Kabarku biasa aja. Udah dulu ya. Kita ngobrol nanti, ya?” Suaramu seolah sudah berada di tempat lain, jauh dariku.
Sebelum aku sempat mengatakan sesuatu lagi, sambungan terputus. Aku terdiam, memandangi layar ponsel yang kembali gelap. Kata “nanti” itu tak pernah datang. Malam itu, aku tahu. Sesuatu telah berubah. Kamu bukan lagi orang yang sama, dan yang lebih menyakitkan, aku sudah tergantikan.

Beberapa hari setelahnya, aku mendengar kabar tentangmu dari teman-teman. Ada yang menyebut namamu bersama seseorang yang baru. Aku tak tahu bagaimana perasaanku saat itu. Seharusnya aku sudah menduga, namun tetap saja, ada rasa sesak di dada yang tak bisa kuabaikan. Kamu telah menemukan seseorang yang baru, seseorang yang menggantikan tempatku. Tempat yang dulu kupikir hanya untukku.
Aku berjalan di sepanjang jalan yang biasa kita lewati dulu, mengingat setiap kenangan yang pernah kita ciptakan di sana. Tempat di mana kita dulu tertawa, berbicara tentang mimpi-mimpi kita. Namun kini, setiap langkahku terasa berat, seolah kenangan-kenangan itu menertawakan diriku yang masih saja berharap.

Di sebuah Coffee Shop kecil tempat kita biasa bertemu, aku memesan secangkir kopi. Tempat itu masih sama, kursi kayu yang pernah kita duduki berdua masih ada di sudut ruangan, namun suasananya berbeda. Aku mengamati orang-orang yang sibuk dengan kehidupannya, dan di antara mereka, aku merasa begitu kecil, terjebak dalam kenangan yang tak lagi hidup. Saat aku menyeruput kopi, tiba-tiba ponselku berbunyi. Nama yang muncul di layar membuat jantungku berdebar. Kamu akhirnya mengirimkan pesan.
“Maaf, aku sibuk belakangan ini.”
Itu saja. Hanya sebuah pesan singkat yang terdengar seperti alasan klise. Aku menatap layar ponsel, berharap ada kelanjutan, tapi tidak ada. Hatiku semakin berat. Di titik ini, aku tahu, aku harus berhenti berharap. Kamu sudah memiliki kehidupan baru, seseorang yang menggantikan aku.

Malam itu, aku kembali ke kamar dengan pikiran penuh. Rasanya aneh, ketika seseorang yang dulu begitu berarti kini menjadi seseorang yang bahkan tak bisa aku kenali lagi. Tapi bukankah begitu hidup ini? Orang-orang datang dan pergi, dan terkadang, mereka yang pernah menjadi bagian terpenting dari hidup kita, akan tergantikan oleh yang lain.
Aku duduk di tepi ranjang, memandangi langit-langit yang diam. Ada kerinduan yang menggantung di udara, namun aku tahu, aku harus belajar melepaskan. Tak ada gunanya bertahan pada sesuatu yang sudah hilang. Kamu, yang dulu pernah ada di sisiku, kini hanyalah bayangan masa lalu yang harus kutinggalkan.
“Kamu sudah digantikan,” bisikku pada diri sendiri. Suara itu menggema, tapi kali ini terasa lebih ringan. Ada kelegaan yang perlahan-lahan muncul, meski masih samar.

Keesokan harinya, aku memutuskan untuk pergi ke tempat-tempat yang baru, menghindari sudut-sudut kota yang dipenuhi kenangan kita. Mungkin dengan begitu, aku bisa mulai menerima kenyataan bahwa hidupku harus berlanjut tanpa kamu. Mungkin aku tak akan pernah sepenuhnya melupakan, tapi setidaknya aku bisa berhenti berharap.

Beberapa bulan kemudian, aku mendengar kabar bahwa kamu benar-benar telah bersama orang lain. Mereka bilang kamu terlihat bahagia, dan entah kenapa, kali ini aku merasa lega. Mungkin karena aku tahu, pada akhirnya, kita berdua memang ditakdirkan untuk berjalan di jalan yang berbeda. Kamu dengan duniamu, dan aku dengan duniaku.

Aku duduk di tepi pantai, memandangi matahari terbenam yang perlahan menghilang di balik cakrawala. Angin laut yang lembut menyapu wajahku, membawa perasaan tenang yang selama ini aku cari. Mungkin inilah saatnya aku benar-benar merelakanmu. Hidup adalah tentang perubahan, tentang kehilangan, dan pada akhirnya, tentang menerima bahwa tak semua orang akan terus bersama kita. Ada kalanya, kita harus merelakan mereka pergi, dan memberikan tempat bagi yang baru untuk datang. Kini, aku bisa tersenyum, meski perih itu masih ada. Mungkin suatu hari nanti, aku juga akan menemukan seseorang yang baru, yang akan menggantikanmu.
Tapi untuk saat ini, aku hanya ingin menikmati momen ini. Momen di mana aku bisa melepaskanmu sepenuhnya, tanpa beban. Aku menutup mataku, membiarkan angin pantai berhembus lembut, membawa segala perasaan yang selama ini kutahan. Ada kelegaan yang perlahan-lahan menggantikan rasa sakit. Hari ini, untuk pertama kalinya, aku merasa tak lagi harus berpegang pada kenangan kita. Aku mulai mengerti,
bahwa yang kita jalani dulu hanyalah bagian dari perjalanan hidup yang memang harus berakhir. Kenyataan itu tak bisa diputar ulang. Segala yang indah dan penuh janji itu telah menjadi abu di antara waktu. Kamu sudah menemukan hidupmu, dan aku… aku juga harus menemukan jalanku sendiri.
Aku tersenyum kecil, membiarkan kehangatan dari matahari terbenam menyelimuti tubuhku. Mungkin, suatu hari nanti, aku akan bertemu seseorang yang baru. Tapi hari ini, aku merasa cukup dengan kesendirian ini. Melepaskan bukan berarti menyerah. Melepaskan adalah menerima bahwa cinta itu tak selamanya harus memiliki.
Langit mulai berubah warna, mengantarkan malam. Dengan itu, aku tahu perasaan yang selama ini membelenggu juga harus menghilang bersama malam. Aku memungut sebutir kerikil dari pasir di tepi pantai. Kubisikkan dalam hati, “Ini untukmu. Untuk kita yang pernah ada, dan untuk aku yang telah belajar melepaskan.” Lalu, aku melempar kerikil itu jauh ke lautan. Ia tenggelam, menghilang, seperti kenangan yang pelan-pelan mulai larut. Aku berdiri, menghela napas panjang. Jalan di depan masih penuh liku, tapi aku siap. Karena aku tahu, melepaskan adalah langkah awal untuk kembali menemukan diriku sendiri.
Aku pernah mencintaimu. Pada akhirnya, harus merelakan.
Aku berbalik, meninggalkan pantai dan semua yang pernah ada. Aku melangkah dengan hati yang lebih ringan, siap untuk perjalanan baru yang menanti di depanku.

*****

TENTANG PENULIS

Biavi Sazili adalah seorang penulis dan konten kreator asal kota Bandar Lampung.
Ia aktif di media sosial instagram dan tiktok dengan username @biavi_sazili

Nama lengkap : Biavi Sazili
Tempat dan tanggal lahir : Bandar Lampung, 30 Mei 2002
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : aktor, penulis, konten kreator
Orang tua : Jaja Mulyana, Marzalisa
Saudara kandung : Icha, Mustavia Dewi, Maulana Samsurizal

Kabarbaru Network

https://beritabaru.co/

About Our Kabarbaru.co

Kabarbaru.co menyajikan berita aktual dan inspiratif dari sudut pandang berbaik sangka serta terverifikasi dari sumber yang tepat.

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store