Kisah Hilangnya Keperawananku dan Harga Diri Keluargaku
Editor: Ahmad Arsyad
KABARBARU, CERPEN– Dua tahun lalu sebelum pandemi covid 19 melanda dunia aku berencana menulis novel dengan tema besar tentang ke perempuan. Aku sudah membuat kerangkanya aku juga sudah merilis nama orang-orang yang akan aku wawancarai yang menurutku cocok untuk dimintai penjelasan dan keterangan.
Nasib tak baik kemudian menimpaku, beberapa orang yang sudah aku ajak ngobrol dan aku wawancarai hasil rekamannya hilang, musabab aku lupa memindahkan filenya ke hp yang baru aku beli. Seketika moodku hancur, lantas aku ganti tema. Entah mungkin lain waktu projek novel ini akan dilanjut apa tidak sekarang aku fokus pada penulisan novel dengan tema baru.
Karena pandemi aku pulang, di di kampung halaman aku banyak menemui perempuan, aku banyak bertanya atau hanya sekedar mendengarkan keluh kesah mereka menjadi perempuan di kampungku yang terpenjara dalam ruang patriarki yang sangat kental.
Waktu itu aku masih tahap mengumpulkan data, hingga akhirnya aku ketemu dengan seorang perempuan yang sangat cantik, hidungnya mancung, tubuhnya begitu menarik, senyumannya sangat manis. Tak tampak bahwa perempuan ini janda anak satu, bahkan pikiran nakalku bertaka perempuan ini masih cocok pabila bersanding denganku. Karena memang masih sangat muda.
Rupanya kita dalam satu naungan organisasi kepemudaan yang sama, tentu sangat mudah untuk menjalin komunikasi. Aku kaget, sebab pertama kali kita ketemu ia terang-terangan menjelaskan statusnya itu. Dalam mobil ia memperlihatkan foto anak perempuannya yang baru umur 2 tahun, cantik seperti ibunya.
Setelah Citra (nama samaran) tahu bahwa aku penulis dengan nada bercanda ia celetuk “Mas Zen harus menulis kisah hidupku, pasti menarik” akhirnya dalam satu kesempatan aku dengan sahabatku mengunjungi wisata kuliner yang ada di Kabupatenku, Warung Makan Asaloy namnya. Citra lalu menyusul dari Kota menuju rumah makan yang aku maksud.
Citra memulai bercerita…
Namaku Citra aku adalah anak tunggal, setelah lulus SMK aku kuliah di salah satu kampus di Kabupaten tetangga. Di bangku kuliah aku mempunyai sahabat yang sangat baik, namanya Elina. Lina bekerja di salah satu toko baju, kata Lina wajah dan tubuhku cocok untuk dijadikan model produk baju tempat ia bekerja.
Selain kerja menjadi model aku juga aktif di salah satu kegiatan kampus, karena kegiatanku meliput aku sering keluar kampus bertemu dengan orang-orang baru. Aku senang karena bisa mengenal orang baru dan jaringanku menjadi luas.
Suatu hari aku punya tugas meliput berita di Kota tempatku belajar, liputan tentang batik tradisonal. Di tempat aku meliput batik aku mengenal seorang laki-laki yang kebetulam bekerja di sana. Beberapa kali aku ketemu dia, hingga akhirnya kita kenal, sering ketemu, aku sering kerumahnya. Mas Dharma namanya, bahkan ia memperkenalkan aku kepada keluarga besarnya, termasuk ibu dan ayahnya.
Kita memang jarang pergi jalan-jalan, tapi kita sering bertemu dalam ruang hampa yang hanya ada aku dan Mas Dharama dan itu di rumah Mas Dharma. Rumah Mas Dharma tidak begitu jauh dengan kampus tempatku belajar, orang tuanya sangat begitu menganggap, setiap kali aku main ke rumahnhya, selalu disiapkan makanan.
Hubungan kita semakin dekat namun tanpa staus yang jelas. Aku kaget bukan main saat Mas Dharma tiba-tiba mencium pipiku di ruang tamu rumahnya, saat itu kami baru saja menyelesaikan rapat berkaitan acara pembukaan pasar tradisional, temen-taman sudah pada balik. Mas Dharma ditunjuk sebagai penanggungjawab oleh atasannya tempat ia bekerja untuk menghendel segala kebutuhan pemasaran batik. Oleh Mas Dharma aku dimasukkan pada tim pekan pasar tradisional itu.
Saat Mas Dharma mencium pipiku aku pura-pura seperti tak terjadi apa-apa, aku hanya diam. Anehnya aku tak memberontak untuk melawan seakan ada yang mengikat sekujur tubuhku, apa mungkin ikatan itu adalah sebuah rasa yang terselip khusus dalam hatiku pada Mas Dharma.
Karena melihatku tak memberontak Mas Dharma kembali menciumku, kali ini ciumannya lebih dalam, sangat dalam, bibirnya terasa basah di pipi, aku berdusta jika aku mengakatakan tidak menikmati ciuman ini. Aku tetap diam, saat bibir Mas Dharma mulai menyentuh bagian luar area bibirku “Mas aku ke kamar mandi, mau pipis” aku menyibak tangan Mas Dharma yang mulai memegangi punggungku bagian belakang. Aku berjalan dengan membuang wajah malu-malu.
Dihari berikutnya seperti biasa aku main ke rumah Mas Dharma, ia menjemputku di kantin kampus sesaat aku selesai kumpul dengan temen-temen komunitas jurnalis. Ayah dan ibu Mas Dharma yang sudah tau renta memang lebih banyak menghabiskan waktunya di langgar (musolla) jarang sekali mereka di dalam rumah. Saban hari rumah ini memang sepi, saudara Mas Dharma kerja, biasanya baru sore hari mereka baru bisa kumpul.
Siang ini hujan begitu deras melahirkan dingin menerobos kulit, di ruang tamu hanya ada aku dan Ma Dharma. Ia kembali melakukan aksinya lagi, Mas Dharma kembali menciumku, kali ini aku benar-benar tak bisa mengontrol diri lagi. Aku hanyut dalam kecupan demi kecupan yang Mas Dharma lakukan pada bagian leher, pipi dan bibirku.
Siang itu pada pertengahan bulan November Mas Dharma merampas keperawananku di tengah hujan dan angin yang berhembus kencang. aku Citra seorang perempuan cantik berhidung mancung yang kata kebanyakan temenku serupa Celeopatra Mesir, model dan jurnalis handal di kampus siang ini telah jatuh sejatuh-jatuhnya harga diriku di pucuk nafsu berahi seorang Dharma laki-laki yang baru kuknal beberapa hari yang lalu.
Setelah keperawananku berhasil Mas Dharma nikmati, aku seketika menjadi perempuan yang mengantungkan segela halnya pada Mas Dharma. Aku hanya ingin Mas Dharma, aku tak bisa jauh darinya, kapan pun Mas Dharma mau mengajakku “main” dengan senang hati aku mengiyyakan.
Yang ada dipikiranku hanya Mas Dharma, pokoknya Mas Dharma tak boleh menjahuiku, saat Mas Dharma hendak menjahuiku aku tinggal mengajaknya kencan lalu memuaskan hasrat nafsu berahinya. Aku tahu Mas Dharma sangat menyukai tubuhku.
Aku tak pernah cerita pada siapa pun soal kejadian ini, termasuk sahabat dekatku Elina. Terhitung delapan kali Mas Dharma meniduriku, aku tersadar harus berbuat sesuatu agar Mas Dharma bertanggungjawab atas semua ini, aku tak peduli pokoknya Mas Dharma harus menikahiku, ia yang menikmati keperawananku pertama kali.
Mas Dharma menyambut baik tawaranku ini, Mas Dharma berjanji akan segera menikahiku. Kami memang baru kenal, aku menyadari itu, aku memang belum begitu kenal secara mendalam Mas Dharma begitu pula sebaliknya.
Aku tak akan membenarkan apa yang telah kita lakukan ini, semua murni atas dasar suka sama suka, atas dasar kesepakatan bersama. Dan aku tentu bahagia karena Mas Dharma segera menikahiku.
Setelah Mas Dharma berjanji akan menikahiku, aku menceritakan kabar bahagia ini pada Elina, kukira Elina bakal senang dan mendukung. Tetapi Elina justru membuatku jengkel, alasan Elina tidak masuk akal, Elina mempermasalahkan tentang fisik Mas Dharma. Memang, fisik Mas Dharma kurus kering, tapi dia mau bertanggungjawab atas semua yang ia lakukan. Aku rasa maklum Elina begitu, karena Elina tidak mengetahui alasan utama mengapa pernikahan ini harus terjadi.
Benar saja, keluarga besar Mas Dharma datang ke rumahku untuk melamar, aku begitu bahagia melihat pemandangan ini. Meski setelah lamaran selesai, tanteku tidak setuju, menurut tanteku Mas Dharma terlalu tua untuk perempuan yang masih sangat muda seperti ku. Ah, aku anggap semua ini hanya cobaan dan gangguan pra nikah, toh yang akan menjalani bahtera rumah tangga ini ya aku sama Mas Dharma.
Satu hari sebelum pernikahan aku dikagetkan dengan kabar yang membuatku seketika rasa bahagia itu hambar, ternyata Mas Dharma duda, Mas Dharma satu tahun lalu bercerai dengan isterinya. Keluargaku yang tahu kabar ini sontak marah dan memberontak, pamanku meminta pernikahan ini digagalkan di tengah persiapan yang sudah hampir selesai.
Rata-rata keluarga besarku menolak dan meminta untuk digagalkan, apa lagi tanteku yang sejak awal tidak setuju. Pikiranku benar-benar kacau hatiku hancur, mengapa Mas Dharma baru terus terang soal ini? Hanya Ayah dan Ibuku yang tampak ikhlas menerima kabar ini, hanya mereka yang menenangkan diriku. Meski begitu pernikahanku dengan Mas Dharma terlaksana dengan lancar, aku anggap semua ini akibat dari ulahku sendiri.
Umur pernikahanku menginjak dua bulan, kami tinggal dikontrakan sederhana, di sana kami menjalani hari-hari yang dipenuhi dengan pertikaian. Sifat dan watak Mas Dharma yang asli pun muncul, beda jauh sewaktu kita menjalin hubungan. Dulu Mas Dharma begitu baik dan sangat perhatian padaku.
Namun ketika sudah menikah ia sering membentakku, bahkan Mas Dharma menampar dan memukulku. Baru satu minggu menikah aku sudah dinyatakan positif hamil 2 bulan, kabar ini terdengar di kampus dan tetanggaku di rumah, dan karena alasan ini pula aku putus kuliah. Kabar ini membuat mereka menduga bahwa anak yang sedang aku kandung ini merupakan hasil di luar nikah. Aku tak bisa mengelaknya, memang kenyataanya begitu.
Mas Dharma hanya bisa marah-marah padaku setiap saat, apa lagi ia dipecat dari tempat kerjanya. Mas Dharma lalu kerja sebagai penjual kartu paket ke konter-konter, setiap hari Mas Dharma menghabiskan waktunya jalan ke pelosok desa membawa bermacam kartu untuk didistribusikan.
Elina sahabatku menghilang entah ke mana, tidak ada orang-orang yang peduli padaku. Dunia terasa sangat sempit bahkan aku pernah berpikiran untuk mengakhiri hidup ini, tapi aku tak kuasa melihat bayi dalam kandunganku ini yang sudah berumur delapan bulan.
Pernah suatu malam aku dan Mas Dharma bertengkar dengan hebat, berkali-kali Mas Dharma memukulku. Sudah menjadi kebiasaan Mas Dharma setelah bertengkar dengan ku pergi berhari-hari tanpa memikirkan aku dan bayi dalam kandungan ini.
Setelah pertengkaran aku memilih pulang ke rumah, sedangkan Mas Dharma pergi entah ke mana, di tengah malam yang dingin bersama anakku dalam kandungan, kepulanganku bukan untuk mengadu. Aku tak ingin kedua orang tuaku tahu keadaan rumah tanggaku yang hancur, aku tak ingin membebani mereka. Aku hanya ingin pulang untuk menenangkan diri.
Butuh waktu satu jam lebih perjalanan dari Kota Mas Dharma ke Kotaku, aku tak ada henti-hentinya menangis di atas motor meratapi nasibku yang begini. Penyesalan, rasa kecewa campur aduk dalam pikiran.
Mas Dharma ketika tahu aku pulang ke rumah ia langsung menjemputku, seakan tak terjadi apa-apa kami berdua akting sebagai keluarga yang sangat bahagia. Aku melihat wajah orang tuaku seperti memendam rasa khawatir yang dalam, tapi aku balas dengan senyuman untuk memastikan bahwa aku baik-baik saja sesaat aku harus kembali pulang ke rumah kontrakan.
Setelah anak kami lahir, keluargaku meminta pada keluarga Mas Dharma untuk sementara waktu aku dan anakku tinggal di rumah, agar mempermudah mengurusnya. Mas Dharma hanya mengizinkanku dua minggu di rumah, setelah itu aku harus kembali ke kontrakan.
Aku tak tega melihat anakku yang terkadang untuk membeli kebutuhannya seperti susu dan popok kami tak cukup uang, aku sering menangis, mataku sembab, Mas Dharma hanya bisa marah-marah dan memukulku.
Aku terjaga dari tidur, aku bermimpi ayah memohon padaku untuk bercerita jujur atas keadaanku sekarang, ayah dalam mimpi itu tak tega melihatku, tapi aku memilih berpura-pura bahagia dan memastikan bahwa aku baik-baik saja. Dan esoknya tanteku menelpon ayahku jatuh sakit.
Aku izin kepada Mas Dharma untuk menengok ayah di rumah, dia mengizinkan hanya satu hari setelah itu aku harus balik dan juga aku tak dibolehkan bawa anakku yang masih umur dua bulan. Di rumah aku selalu ditelpon Mas Dharma untuk segera pulang, sebab anakku nangis terus menerus, aku berada di ambang bingung dan khawatir.
Akhirnya ibuku meyakinkanku bahwa ayah akan kembali sehat dan tante Nina yang akan membantu Ibu merawat ayah. Aku terpaksa pulang larut malam, sebab Mas Dharma terus-terusan meneleponku, anakku sakit tubuhnya panas katanya. Aku tancap gas pulang.
Keesokan harinya aku dapat kabar bahwa ayahku telah meninggal, hari itu dunia terasa hitam dan gelap ayahku satu-satunya telah meninggalkan. Di rumah hanya tinggal ibu Tante Nisa setia menemaninya. Aku merasa bersalah musabab aku tak bisa merawat ayah saat sakitnya dengan sempurna dan aku tidak membersamainya di detik-detik wafatnya.
Kukira Mas Dharma akan mengizinkanku agak lama di rumah saat keadaanku yang begini, Mas Dharma tetap bersikukuh tak memperbolehkan ku terlalu lama di rumah, bahkan Mas Dharma sempat cek cok dengan Tante Nani. Tanteku tak bisa apa-apa, aku hanya diberika waktu tujuh hari di rumah, aku hanya diam dan mengikuti perintahnya.
Ibukku sangat bersedih atas kepergian ayah, berkali-kali Ibu memintaku untuk tinggal di rumah meski tak selamanya, setidaknya di hari-hari dukanya aku ada di samping Ibu. Tetapi Mas Dharma tak memperbolehkan itu, aku tak pernah cerita soal ini pada ibu, aku hanya bilang aku sibuk dan tidak bisa pulang lama.
Kali ini tiga minggu setelah kepergian ayah ibuku yang hadir dalam mimpi, aku benar-benar khawatir aku trauma dengan mimpi masa lalu saat memimpikan ayah yang keesokan harinya lalu sakit kemudian meninggal dunia. Dalam mimpi ibuku menangis, aku tak paham maksud mimpi itu.
Kekhawatiran ku benar-benar terjadi ibu sudah di rumah sakit, paman dan tanteku meneleponku berkali-kali agar cepat pulang. Aku langsung pulang membawa anakku tanpa pamitan pada Mas Dharma aku benar-benar khawatir.
Melihat ibu terbaring lemah tak terasa air mataku jatuh seketika, kemudian ibuku berkata lirih “nak, kamu tidak apa-apa kan?” aku jawab dengan senyum meyakinkan bahwa aku sangat baik-baik saja, “ibu tak perlu khawatir ya, gak usah pikiran Citra, kan Citra udah ada Mas Dharma yang jagain” entah berapa kali aku berbohong pada ibu dan diri sendiri soal ini.
Sejak di rumah sakit aku tak melihat hpku sama sekali, aku fokus merawat ibu. Rupanya Mas Dharma meneleponku puluhan kali, pesan suaranya semua isinya sumpah serapah marah-marah padaku. Aku dikatakan sebagai isteri yang tak tahu diri dan isteri durhaka.
Paman yang tahu itu kemudian menelpon Mas Dharma, dimarahinya Mas Dharma habis-habisan, beruntungnya Ibu tak tahu kejadian ini aku memohon kepada Paman untuk tidak memberitahu ibu. Paman yang sejak awal selalu bertanya sebenarnya apa yang terjadi dalam rumah tanggaku sebab mungkin ia curiga ada yang tidak beres, namun aku selalu menutupinya dengan alasan-alasan yang cukup baik.
Mas Dharma datang menengok Ibu sekaligus membawaku pulang, aku agak lega sebab kata dokter besok pagi Ibu sudah boleh pulang. Sesampainya di rumah Mas Dharma memarahiku, menampar berkali-kali, memukul dan bahkan menendang ku.
Keesokan harinya aku baru bisa membuka hp, baterai hpku habis semalam belum sempat mengisinya. Setelah membuka hp paman meneleponku hampir genap seratus kali, aku ketakutan, tanganku gemetar, pulusan pesan wa masuk dari paman.
20.30 : Citra ibu tiba-tiba parah, kamu balik lagi
20.44 : Citra kenapa gak bisa dihubungi?
20.50 : Ibu makin parah cit, dia manggil namamu terus, angkat cit telepon paman
21.00 : Ibu sudah meninggal cit,
Aku membaca pesan dari paman yang isinya seperti ini, tak tak mampu membahasakan kehancuran dalam jiwaku. Pikiranku kacau, aku merasa bersalah kepada kedua orang tuaku, mungkin mereka meninggal karena memikirkan keadaanku. Belum lagi aku telah mempermalukan keluarga besarku atas kasus hamil di luar nikah.
Sebulan setelah ibuku meninggal aku bercerai dengan Mas Dharma paman yang paling banyak membantuku hingga akhirnya aku bercerai.
Citra selesai cerita……
Tak terasa sudah memasuki waktu senja tepat saat Citra selesai menceritakan kisah kelamnya. Sore itu senja begitu sempurna warung makan asaloy tampak semakin ramai, warung makan yang terletak di pinggir pantai menjual panorama keindahan. Angin berdesir begitu tenang, air mata Citra berkali-kali jatuh saat ia bercerita. Entah berapa banyak tisu yang ia habiskan untuk mengusap air matanya.
Aku terharu mendengarnya bahkan sempat berpikir ceritanya akan aku tulis menjadi sebuah novel, ditulis dengan detail sebagaimana ia cerita dulu. Tapi ya sudah mungkin cerita pendek ini sudah cukup dijadikan sebagai tulisan sejarah masa lalu Citra.
Mengapa kemudian aku terpikir menulis cerita Citra ini, sebab aku baru saja mendapat kabar bahwa Citra sudah menikah. Aku sangat bahagia, anaknya namanya Rini Diyah Safitri (nama samaran) Citra sering memposting foto anaknya yang lucu itu, Citra menikah setelah dua tahun berpisah dengan Dharma mantan suaminya.
Sapen, 23 November 2021
- Penulis adalah Zain Ali PM, Alumni HTN FSH UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
- Tulisan Cerpen ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kabarbaru.co