Jalan Ilahiah | Puisi-puisi Rahman Timung
Editor: Ahmad Arsyad
Melukmu dengan Do’a
Langit tak berujung,
ia mampu mengayomi
senja dengan sekian detiknya,
ia mempu memberi kesan
terpisahkan oleh jarak,
kita tak saling sanding
namun cinta menembus batas, mengeratkan jarak
Meski peluk tak dapat merangkulmu erat,
semoga do’a memelukmu hangat
Surabaya, 17 April 2020
Harapan
Inginnya kupeluk senja,
namun waktunya tak cukup untuk dipeluk,
ia hanya menebar pesona dalam sekian detik,
lalu pergi meninggalkanku
aku memutuskan untuk merangkai kata,
membentuk bait-bait puisi dibawah sinar rembulan,
sebagai bentuk rasa rinduku padanya
Pada bidadari bumi dengan balutan hijab,
kuingin kami sanding,
namun waktu belum memberiku ijin,
walau hanya sekedar bertegur sapa dengannya,
lewat aksara kata, kurangkai kalimat demi kalimat,
memuja dan mencintainya dalam do’a,
kuharap tuhan mendengar lantunan do’a yang
kutitipkan pada angin disepertiga malam
Surabaya, 12 April 2020
Aku, Kamu dan Senja
Yang bermakna itu bukan seberapa lama kamu menetap,
namun bekas kenangan yang kamu tinggalkan.
Kita bisa belajar dari apa yang diperlihatkan oleh senja,
sebuah fakta bahwa hal-hal yang indah bukan berarti akan abadi.
Mari menjadi berarti ketikan kesempatan itu masih ada,
raihlah apa yang kamu sebut mimpi.
Sebelum senja ditelan kelam, nikmati keindahannya.
Sebab sesal akan datang ketika keindahan itu sirna.
Puisi Ini Hasil kalaborasi dengan salah satu teman online @jejakalsara (lupa tanggal dan waktunya)
Catatan Kelam
Ada fajar,
ada pula senja,
juga kegelapan malam
segalanya berproses silih berganti sesuai waktunya,
dalam dunia yang fana ini,
ada terang, ada gelap,
ada begitu banyak tingkah laku,
Srigala berbulu domba,
perampok berdasi,
bahkan penjahat kelamin berjubah kesucian.
Terserah bagaimana kamu menilaiku,
aku hanyalah sekian dari hamba-hamba-nya.
Jika menurutmu aku ini sesat,
bisakah kamu tunjukkan jalan yang benar itu,
jalan yang lurus katamu.
Pertemukan aku pada tuhanmu yang tak meminum Vodka itu,
aku ingin menyapanya,
mencurahkan keluh kesahku,
aku ingin mengadu,
aku ingin bertanya akankah ada pintu surga bagi hambanya yang khianat…???
Surabaya, 17 Juni 2020
Untuk Kamu yang Berjubah Api
Aku ini apa entahlah, hanya saja untuk adaku,
sebelum hilang ditelan zaman
aku ingin kamu tau bahwa,
bagiku jubahmu adalah api suci,
kamu lebih indah dari semesta
Untuk hatimu,
aku harap ia mampu menaati,
karena janjinya adalah pasti.
Cintanya yang suci, akan selalu mengujimu, kuharap ragamu mampu Istikomah
Untuk luka yang kau terima karena jubah apimu,
bersabarlah dalam lara,
karena cinta dan kasih sayangnya adalah abadi
Kamu tak perlu ragu pada apapun,
entah berapa banyak orang yang membencimu,
bagiku kamu adalah pesona zaman
Aku tak mampu membersamai mu dalam gejolak zaman,
namun aku harap puisiku mampu memandumu
untuk melawan setiap tantangan waktu
Puisi ini dibuat atas adanya insiden MTQ yang dimana seorang peserta yang mundur sebagai peserta ketika diminta untuk melepas cadarnya oleh Juri (lupa tanggal).
Indonesiaku
Apa kabar Indonesiaku…?
begitu banyak beban yang harus kau tanggung,
namun aku berharap kau tak jenuh,
apalagi lelah untuk hidup yang sedang kita jalani,
Indonesiaku,
kau harus kuat, bila perlu latihlah mental dan jiwamu
untuk menopang semua penindasan yang terjadi di atasmu.
Indonesiaku,
kau harus siap untuk bertarung sekali lagi,
bahkan siap untuk terus terluka dari tangan-tangan biadap yang khianat.
Indonesiku,
untuk hidup yang lebih baik,
ada yang harus keluar menjadi pemenang,
itulah mengapa kau tak boleh jenuh,
atau merasa lelah.
Kau harus lebih kuat dari masa yang sebelumnya.
Tentang kehidupan yang kita jalani
kau hanya punya dua pilihan,
diam tertindas atau bangkit untuk melawan
Surabaya, 17 Agustus 2020
Teman Tapi Mesra
Bisakah kita bersanding tanpa ikatan,
bisakah kita berjalan beriringan.
sembari menikmati tiap detikan waktu
Untuk lelahku aku ingin bersandar di bahumu.
tanpa janji-janji tentang masa depan,
tanpa harapan yang sekedar angan-angan
Aku hanya ingin bersamamu,
tanpa status tentang arti adaku untukmu,
Bersamamu bahagia membentang,
tanpa tepi di selayang pandang.
saling menemani kita bisa,
tetapi, tidak untuk hidup bersama
Patner @nyata.rasa
- Puisi ini Juga Hasil Kalaborasi dengan salah satu teman online.
Sajak Negeriku
Aku merasa asing dinegeriku sendiri,
katanya tanah airku,
nyatanya tanahku sewa, airku beli.
Masa depan yang seharusnya indah kini hancur berantakan,
aku menjadi pengemis di negeri sendiri.
bukan tak ada orang pintar,
hanya saja banyak yang pura-pura bego
anehnya, yang katanya mewakiliku,
kini ia bagai budak yang tak lagi tau diri.
Pengusaha jadi penguasa,
politik jadi ladang bisnis,
pemilik modal untung banyak,
si miskin malah jadi buntung.
hukum yang katanya alat kebijaksanaan,
ternyata hanya sekedar alat balik modal.
rasanya aku pengen sesekali tertawa terbahak-bahak,
sayangnya humorku tak selucu negeriku
Surabaya, 7 September 2020
Sebuah Kabar Untuk Dinda
Lihatlah bangsaku Dinda,
bangsa yang kini terluka atas ulah penguasanya sendiri.
Lihatlah retak dipelipis rakyat jelata itu,
darah yang mengalir adalah bukti kedzaliman penguasa negri ini
Lihatlah luka yang menganga lebar itu Dinda,
luka bekas galian tambang dan batu bara,
luka sebab keserakahan penguasa
Lihatlah Dinda,
nontonlah jika hal itu patut jadi tontonan.
Surabaya, 14 September 2020
Kepada Dinda
Dinda,
aku ingin mengabarimu tentang negeriku,
negeri yang penuh dengan keserakahan.
di negeri ini Dinda,
alam semesta penuh luka.
air tak lagi mengalir dengan tenang,
gunung tak lagi kokoh,
bahkan jangkrik tak bisa lagi hidup bebas.
tuan-tuan penguasa bertingkah bagai tuhan,
seolah dunia ini milik mereka,
Hal paling mengerikan dari itu adalah dibalik sikap tiraninya,
tersimpan seribu janji,
janji kesejahteraan yang tak pernah bisa
dijelaskan dengan tindakan nyata.
Surabaya, 23 September 2020
Lapor Komandan
Lapor komandan!!
segalanya miring,
tidak hanya bangunan,
tapi juga otak manusia.
Yah, para penguasa itu, otaknya telah miring.
pohon ditebang,
hutan digunduli,
banjir bandang,
Tuhan yang disalahkan.
Mereka menutupi kebohongan demi kebohongan,
drama yang tak berkesudahan.
Sungguh otak mereka telah miring komandan!!
Tuhan berkata,
jadi penghuni bumi,
rawat dan gunakanlah bumi.
mereka justru berbuat sebaliknya,
menghancurkan dan memporak-porandakan.
janji demi janji di dengungkan,
menimbun harta,
memelihara keserakahan.
Komandan, otak mereka benar-benar miring,
sekarang mereka saling tuduh menuduh.
mereka di persimpangan jalan.
Kata-kata itu bertemu,
saling mengintrogasi tentang benar dan salahnya tingkah laku
tanpa ada perbaikan didalam lakonnya
Surabaya, 25 September 2020
Jalan Ilahiah
Jalan demi jalan kulalui
Setapak demi setapak kupijaki
Tak perduli jalan itu mulus atau berlubang
Aku menunduk dan terus berjalan
Ketika teringat dimana aku berjalan
dengan keangkuhan yang lupa pada pijakan
Saat itulah mulai kurenungi apakah tuhan
akan memaafkan atas dosa”ku yang telah lalu
Saat tersadar dari lamunan aku pun berdiri
Ku berjalan menelusuri setiap setapak kehidupan
dengan mencoba perbaiki diri dari diriku yang dulu
dengan harapan tuhan memaafkan dan mengampuni ku
Ku lakukan semua itu atas dasar rasa percaya
tidak ada dosa yang tidak dimaafkan
Surabaya 19 Oktober 2020
Penulis adalah Rahman Timung asal Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur.