Aku, Menoreh, dan Rindu yang Belum Usai
Editor: Ahmad Arsyad
Kabar Baru, Prosa- Seperti kata pujangga Arab bahwa pereguk anggur akan sadar kembali setelah mabuknya hilang. Sedangkan pereguk cinta akan senantiasa mabuk dalam sepanjang hidupnya (syâribul khamri yaṣḥû ba‘da sakratihî # wa syâribul ḥubbi ṭûlal ‘umri sakrânu). Ia akan terlumat dalam kobaran api asmara yang dahsyat, bak Majnun yang karam dalam segara cinta. Ia tak lagi bisa melihat apa pun di mayapada ini kecuali Laila. Di depan, di belakang, di samping kanan, di samping kiri, di atas, dan di bawah hanya ada dia, Laila. Alam semesta dan seluruh keindahannya sirna. Lenyap tak tersisa. Yang ada hanyalah dia, Laila. Bahkan wujudnya sendiri pun tiada, musnah, dan yang ada, sekali lagi, hanyalah dia, Laila! kulepas sampan seok// bersama seluruh riuh dan badai// di laut lepasmu// hanya kukenang namamu// bersama seluruh riak dan gelombang// di dasar sanubari (nay, 2020).
Pada suatu pagi yang cerah, kuhempaskan seluruh resah dan kecamuk jiwa bersama semilir angin yang membuai begitu mesra. Pada suatu tempat yang sejuk, kutautkan seluruh rindu pada semerbak bebungaan yang menggetarkan jiwa. Pada suatu bukit yang lestari, kulangitkan seluruh asa bersama gemercik air sungai yang mengalir pelan membentur bongkahan bebatuan yang cadas. Pada suatu puncak yang membelalakkan mata, kudiamkan seluruh gemuruh di antara semburat mentari pagi yang menghiasi cakrawala. Pada suatu sendang yang sejuk dan hening, kubasuh seluruh luka dan tumpukan gejolak dalam hilir air yang begitu jernih dan segar.
Pada suatu perjumpaan yang memanjakan, kutaburkan seluruh cinta dari ceruk sanubari terdalam di antara temaram dan gerimis yang membasahi kerontang. Pada suatu isyarat yang belum sempat aku utarakan, ah, aku takut terbuai, lalu terjungkal ke dalam jurang kenestapaan yang terasing di keheningan! Oh, adakah yang lebih romantis dari sepasang kekasih yang sedang asyik bercengkerama sembari menikmati dedaunan yang berlambai-lambai dan kicauan burung-burung yang beterbangan di antara panorama yang begitu memesona? Sesekali menghela napas dalam-dalam; menikmati embusan udara segar di lereng pegunungan yang lestari. Lalu, nikmat Tuhan mana lagi yang kau dustakan?
Hari itu, Sabtu yang diberkahi, aku dan handai tolan Fellowship Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan (KBB) angkatan IV Center for Religious and Cross-Cultural Studies Universitas Gajah Mada (CRCS UGM) tahun 2022 berkesempatan silaturahmi dengan saudara sebangsa, para penghayat kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa ajaran Kejawen Urip Sejati, di lereng Bukit Menoreh, Dusun Onggosoro, Desa Giritengah, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang. Sungguh aku terkesima dengan penorama Bukit Menoreh yang begitu indah dan memesona. Aku gembira menyaksikan Bukit Menoreh yang diciptakan Tuhan penuh keelokan dan ketakjuban masih tetap lestari dan asri. Hijau ranum memanjakan mata, dan memikat jiwa!
Di antara kegamangan bahwa jagat buana akan segera punah lantaran perang yang meluluhlantakkan kehidupan tak kunjung berkesudahan, pesona dan kesejukan Menoreh memberiku harapan tentang masa depan kehidupan yang akan tetap cerah, hijau, dan sejuk. Membiarkan burung-burung berkicau riang di antara reranting. Membiarkan angin sepoi membelai rerumputan dan dedaunan. Membiarkan kupu-kupu beterbangan menghiasi bunga-bungaan. Membiarkan gemercik air mendamaikan riuh dan hiruk-pikuk. Membiarkan kecamuk rindu lepas dan terbang bebas bersama bongkahan-bongkahan mega ke langit tertinggi.
Di antara kecemasan bahwa bumi akan segera porak-poranda lantaran perusakan lingkungan yang kian hari kian memprihatinkan, pesona dan kesejukan Menoreh mengabariku bahwa masih banyak orang baik yang akan mengisi kehidupan dengan cinta dan kebaikan kepada sesama. Seperti elok rupamu yang memancarkan tetes air kehidupan bagi jiwa yang telah lama mati ditelan kegersangan. Merasuk ke sumsum terdalam, menggerakkan sendi-sendi yang sudah beku. Seperti senyummu yang rekah, yang masih belum selesai kukenang, ah, aku takut terbuai, lalu terjungkal ke dalam jurang kenestapaan yang terasing di keheningan!
Jujur, banyak jiwa yang resah atas perusakan alam yang dilakukan oleh sebagian manusia yang serakah dan tak berperasaan demi memuaskan hasrat dan hawa nafsunya. Hilang rasa kemanusiaan// Tidak sopan, serakah, dan jahat// Hutan lebat digunduli// Manusia tidak bisa dipercaya// Gunung berapi marah besar// Mayat berjatuhan berserakan// Menjaga alam tetap indah// Seperti menjaga rumah sekeluarga// Tiada belas kasih terhadap sesama// Sifat penguasa yang mengikuti hawa nafsu// Melawan Tuhan penata alam// Bumi tidak seimbang, lumpur gunung berapi balasannya (terjemahan Kidung Reksabumi, yang disenandungkan dengan merdu oleh Sindy Purbawati dalam https://www.youtube.com/watch?v=F6fioqbcuAw, akses 05/08/2022).
Baiklah, jika kita membuka lembaran khazanah pemikiran keislaman, maka akan dijumpai kalam beberapa ulama yang menyebutkan bahwa agama terkumpul dalam dua perkara, yaitu bertakwa kepada Allah (at-taqwâ ma‘allâh) dan berbuat baik kepada makhluk(cipataan)-Nya (al-iḥsân ma‘a khalqihî), sebagaimana dipahami dari ayat “Sungguh, Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan (an-Naḥl [16]: 128)” (Yûsuf al-Qaraḍawî, Ri‘âyah al-Bî’ah fî Syarî‘ah al-Islâm, 2001: 25-26). Istilah lain menyebutkan: mengagungkan Allah (ta‘ẓîmullâh) dan menyayangi makhluk-Nya (syafatun li khalqihî). Makhluk Allah adalah banyak dan bermacam-macam, seperti manusia, malaikat, jin, binatang, tumbuhan, pegunungan, lautan, angkasa, dan lainnya.
Oleh karena itu, manusia wajib bertakwa kepada Allah dan berbuat baik (iḥsân) kepada semua makhluk-Nya, termasuk lingkungan dan semua unsurnya, seperti manusia, binatang, tetumbuhan, bebatuan, air, udara, dan lain sebagainya. Menyayangi dan memelihara lingkungan ini sejatinya melindungi keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia itu sendiri. Sebaliknya, pencemaran dan perusakan lingkungan akan mengancam keberlangsungan hidup manusia (Ri‘âyah al-Bî’ah, hlm. 26 & 48).
Ketika pencemaran dan perusakan lingkungan dilakukan secara terus menerus, maka kecemasan terhadap keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia akan semakin bertambah. Makanya, Allah secara tegas melarang manusia merusak bumi yang sudah diciptakan sedemikian lengkap dan indah, sebagaimana disebutkan dalam ayat “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik (al-A‘râf [7]: 56)” (Ri‘âyah al-Bî’ah, hlm. 48). Menurut Kiai Muhammad Syamsul Arifin, jika kita merusak alam, maka hukuman Allah akan selalu menimpa hidup kita malalui berbagai macam bencana, seperti banjir, longsor, dan lainnya (Achmad Baidowi (ed.), Kalam Hikmah R.K.H. Muhammad Syamsul Arifin, 2019: 82).
Dengan demikian, jika kita tidak bisa memelihara atau memperindah lingkungan, maka setidaknya kita tidak mencemarkannya dan merusaknya. Sebab, ketika kita mencemarkan dan merusak lingkungan, maka berarti kita telah menyediakan jurang kehancuran dan kemusnahan bagi kita sendiri dan anak cucu kita nanti. ‘Alâ kulli ḥâlin, cinta memang harus dijunjung tinggi di atas segalanya. Rahayu! Wallâhu a‘lam wa a‘lâ wa aḥkam…
*) Penulis adalah Nasrullah Ainul Yaqin, Alumni Sanggar Sastra dan Teater Kertas Banyuanyar Pamekasan.