Berita

 Network

 Partner

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store

Raport Merah Pemdes Sampang: PTSL Dipungli 500 Ribu, 15 Tahun Jalan Terabaikan

Dok. Ilustrasi Pemdes dan Kepala desa (Bvc.c,9?,).

Jurnalis:

Kabar Baru – Menguak lanskap kebijakan pembangunan agraria dan pertanahan di Indonesia, keretakan sistemik dalam manajemen distribusi serta tumpulnya fungsi birokrasi publik dalam mengelola sumber daya merupakan anatomi permanen dari realitas desa-desa terpencil, termasuk di Sampang, Madura.

Dua kasus yang mencolok yakni komersialisasi program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) dan abainya negara dalam pembangunan infrastruktur jalan menjadi potret konkret bagaimana oligarki mikro di tingkat lokal bekerja secara sistemik, eksploitatif, dan menegasikan prinsip keadilan sosial.

Jasa Pembuatan Buku

Program PTSL yang dicanangkan untuk mempercepat kepastian hukum agraria justru menjadi ladang pungutan liar di berbagai desa, termasuk wilayah terpencil di Sampang. Beberapa kepala desa dan pejabat sementara diketahui melakukan pungutan dengan nilai mencapai Rp500.000 per sertifikat, jauh melampaui ketentuan resmi.

Dalih pembuatan Peraturan Desa (Perdes) dijadikan legitimasi, padahal dari perspektif hukum tata negara, Perdes tidak dapat menihilkan keberlakuan regulasi nasional, khususnya SKB 3 Menteri Tahun 2017 yang membatasi pungutan maksimal Rp150.000 untuk biaya administrasi ringan.

Fenomena ini adalah bentuk dari simulakrum legalitas, di mana perangkat desa menciptakan tiruan legalitas untuk menyamarkan tindakan melawan hukum. Sebut saja konstruksi Foucaultian, hal tersebut bagian refleksi dari kuasa desentralistik yang tanpa kontrol institusional memproduksi “kebenaran-kebenaran” lokal demi pelanggengan kekuasaan. Kebijakan yang seharusnya menyentuh dimensi pemberdayaan rakyat kecil justru dibajak menjadi alat kontrol sosial dan ekonomi oleh elit desa.

Di luar isu PTSL, persoalan lain yang mempertegas lemahnya peran negara di tingkat desa adalah kondisi infrastruktur jalan yang rusak dan nyaris tak tersentuh pembangunan. Salah satu desa di wilayah Sampang tercatat mengalami keterlantaran infrastruktur jalan utama selama hampir lima belas tahun.

Jalan yang menjadi urat nadi aktivitas ekonomi, sosial, dan pendidikan warga ini telah lama berubah menjadi simbol dari ketidakadilan pembangunan. Permukaan jalan berlubang, bergelombang, dan tak layak pakai menjadi keseharian yang harus dilalui warga desa dalam membawa hasil tani, mengantar anak ke sekolah, hingga mengakses layanan kesehatan dasar.

Padahal, berdasarkan informasi publik yang tersebar melalui akun TikTok @ali.romaitani, anggaran desa tersebut tercatat mencapai Rp3,3 miliar pada tahun 2023 dan Rp2,4 miliar pada tahun 2024. Namun, besarnya alokasi anggaran tersebut belum menghadirkan wujud konkret pembangunan infrastruktur jalan yang proporsional.

Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar tentang efektivitas tata kelola anggaran desa, transparansi perencanaan, dan akuntabilitas pelaksanaannya.

Jika merujuk pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, prioritas penggunaan dana desa salah satunya adalah untuk pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur dasar yang mendukung kesejahteraan masyarakat.

Ketika jalan utama tidak terjamah pembangunan selama lebih dari satu dekade meskipun terdapat alokasi miliaran rupiah, maka dapat diasumsikan telah terjadi ketimpangan dalam perencanaan pembangunan dan kemungkinan adanya kebocoran anggaran (leakage) dalam pengelolaan publik.

Dalam perspektif Rawlsian tentang keadilan distributif, kondisi ini mencerminkan kegagalan negara melalui aparatus desentralistiknya dalam memenuhi prinsip fair equality of opportunity. Ketika warga desa tak memiliki jalan yang layak untuk menunjang aktivitas dasarnya, maka secara struktural mereka telah terdiskriminasi oleh sistem yang justru hadir dengan mandat untuk melayani.

Beberapa pemuda yang mencoba mengadvokasi persoalan pungli PTSL dihadapkan pada intimidasi dan bujukan uang, dua wajah berbeda dari strategi pembungkaman. Ini sangat menjelaskan adanya violence of silence dalam sistem sosial desa, di mana represi tidak selalu berbentuk kekerasan fisik, tetapi bisa berupa pengucilan, ancaman, atau kooptasi. Ketika struktur dominasi dilegitimasi melalui normalisasi dan internalisasi praktik menyimpang oleh warga sendiri.

Situasi ini menuangkan banyak fakta betapa pentingnya ruang kritik dan partisipasi warga di pedesaan belum sepenuhnya terbuka. Tanpa intervensi negara melalui pengawasan yang independen dan pemutusan jalur rente, desa akan tetap menjadi panggung oligarki mikro yang eksploitatif dan tak akuntabel. Sudah saatnya negara hadir secara substantif untuk mengaudit ulang pelaksanaan PTSL dan pengelolaan anggaran infrastruktur dasar.

Mekanisme pelaporan warga harus diperkuat, pengawasan berbasis warga perlu dibentuk, dan desentralisasi harus diiringi dengan sistem kontrol serta sanksi yang tegas.

Kabarbaru Network

https://beritabaru.co/

About Our Kabarbaru.co

Kabarbaru.co menyajikan berita aktual dan inspiratif dari sudut pandang berbaik sangka serta terverifikasi dari sumber yang tepat.

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store