Dari Ukraina ke Gaza: Diplomasi Global dan Kecerdasan Buatan di Forum Davos 2025

Editor: Bahiyyah Azzahra
Penulis :Sasmita Aprilia Putri, Mahasiswa Ilmu Komunikasi dari Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.
Di tengah dinginnya pegunungan Swiss, Forum Ekonomi Dunia 2025 di Davos menjadi pusat perdebatan global. Isu krusial seperti krisis di Ukraina dan Gaza hingga lonjakan pesat kecerdasan buatan, mendominasi diskusi para pemimpin dunia. Seperti dilaporkan oleh Reuters dan The Guardian, WEF 2025 tak sekadar forum bincang, tapi ajang penting penentuan arah masa depan dunia di mana diplomasi, teknologi, dan politik global bertemu dalam satu panggung. Setiap awal tahun, Davos berubah dari kota kecil bersalju menjadi pusat perhatian Internasional.
Setiap awal tahun, ada satu tempat kecil di Swiss yang tiba-tiba jadi sorotan dunia: Davos. Bukan karena pemandangan pegunungannya yang cantik, atau karena tempat ini cocok banget buat liburan musim dingin, tetapi karena di sinilah para pemimpin dunia, CEO perusahaan besar, ilmuwan, sampai aktivis berkumpul untuk ngomongin hal-hal besar. Ya, ini soal masa depan dunia. Forum Ekonomi Dunia atau World Economic Forum (WEF) selalu menjadi panggung diskusi global, dan tahun 2025 ini suasananya terasa jauh lebih serius.
Kenapa? Karena dunia lagi tidak baik-baik saja.
Konflik Ukraina masih berlanjut, meskipun sebagian orang mulai merasa ”biasa aja” karena udah terlalu lama. Tapi jangan salah, disana setiap hari masih ada orang yang kehilangan rumah, keluarga, bahkan nyawa. Sementara di sisi lain, Gaza kembali menjadi medan tragedi kemanusiaan yang menyayat hati. Gempuran dan kekerasan seolah nggak ada habisnya, dan dunia seakan bingung harus bersikap seperti apa.
Nah, di tengah situasi global yang penuh tekanan itu, Davos 2025 hadir bukan hanya sebagai tempat ngobrol santai, tapi jadi arena diplomasi yang serius. Para pemimpin dari berbagai negara datang dengan agenda masing-masing. Ada yang membawa harapan, amarah dan ada juga yang cuma datang buat jaga citra negaranya tetap terlihat “peduli”.
Konflik di Ukraina dan Gaza terus berlangsung, meski mulai dianggap “biasa” oleh Sebagian orang. Padahal, korban terus berjatuhan setiap hari. Di dalam berita media detik.com pada 15 Januari 2025, menyatakan bahwa di tengah ketegangan global ini, Davos 2025 menjadi ajang diplomasi serius bukan sekadar permasalahan sederhana.
Peran, Perdamian, dan Percakapan yang Rumit
Salah satu pembicara yang paling ditunggu, tentu saja Presiden Ukraina. Ia datang dengan wajah lelah tapi tetap tegas. Di hadapan ratusan orang penting dari seluruh dunia, ia cerita soal negaranya yang terus berjuang mempertahankan kedaulatan. Ia juga meminta agar dunia tidak melupakan mereka. ”Kami bukan hanya membela tanah kami, tapi juga nilai-nilai kebebasan, katanya yang langsung disambut dengan tepuk tangan”.
Di sisi lain, perwakilan dari Palestina dan negara-negara Arab juga hadir. Mereka berbicara dengan nada emosional, tentang anak-anak di Gaza yang kehilangan masa kecil, tentang rumah-rumah yang hanya puingnya saja dan tentang harapan akan gencatan senjata yang nyata bukan hanya janji di atas kertas. Dikutip pada media CNN Indonesia 19 Maret 2025, Diskusi jadi intens, tapi tetap dalam suasana hormat. Ini bukan tempat untuk teriak-teriak tetapi tempat untuk mempertemukan perspektif. Yang menarik, tahun ini pembicaraan tentang perdamaian dan keamanan tidak lagi hanya diisi oleh diplomat atau pejabat. Ada satu bintang baru yang terus menerus disebut dengan Kecerdasan Buatan atau AI.
AI: Si ”Pendatang Baru” di Dunia Diplomasi
Kalau biasanya konflik internasional dikaitkan dengan perjanjian damai atau pasukan perdamaian, di Davos 2025, AI jadi sorotan utama. Bukan Cuma sebagai teknologi canggih, tapi juga menjadi alat strategi global. Perusahaan teknologi besar memperkenalkan AI yang bisa menganalisis geopolitik secara real-time dan memprediksi eskalasi konflik dari data media sosial, pergerakan pasukan hingga harga pangan. Beberapa negara mulai memakai AI untuk merancang kebijakan luar negeri, dengan menggabungkan data historis, ekonomi, dan persepsi publik. Bahkan, ada simulasi konflik yang bisa dianalisis secara instan oleh AI, lengkap dengan prediksi risiko dan dampaknya. Namun tidak semua pihak merasa nyaman. Banyak yang mempertanyakan: Apakah AI bisa memahami emosi manusia? Apakah keputusan etis bisa diambil oleh algoritma tanpa rasa? Jangan sampai keputusan besar, seperti menghentikan perang, diserahkan ke mesin.
Beberapa pemimpin organisasi kemanusiaan bahkan menyuarakan kekhawatiran bahwa teknologi ini bisa dimonopoli oleh negara-negara besar, sementara negara berkembang malah makin tertinggal. Karena, ya… kita tahu, ngga semua negara punya dana buat bikin AI canggih, kan?
Bukan Soal Teknologi, Tapi Soal Pilihan
Forum Davos 2025 bukan Cuma soal teknologi tercanggih atau seruan perdamaian paling nyaring. Intinya adalah bagaimana dunia bisa bekerja sama mesti berbeda latar dan kepentingan. Diplomasi kini tak lagi sebatas meja bundar, tapi terjadi di media sosial, panggung terbuka, hingga ruang virtual. Namun nilai utamanya tetap: kemanusiaan, keadilan, dan keberanian untuk saling mendengar. Dari Ukraina ke Gaza, dari konflik Regional ke ancaman Global, kita semua sebenarnya sedang menghadapi masalah yang sama: bagaimana hidup berdampingan di dunia yang semakin kompleks ini. Dan teknologi secerdas apapun tidak akan pernah bisa menggantikan empati.
Jadi, apa yang bisa kita pelajari dari Davos tahun ini?
Mungkin jawabannya sederhana, bahwa dunia ini tidak akan berubah hanya karena teknologi. Dunia hanya bisa berubah kalau manusianya mau berubah, mau lebih terbuka, lebih mau belajar satu sama lain, dan berani mengakui bahwa kita semua saling terhubung.
Harapan di Tengah Ketidakpastian
Forum Davos 2025 berakhir dengan banyak pertanyaan yang belum terjawab, tapi juga dengan benih-benih harapan. Beberapa negara sepakat untuk meningkatkan kerja sama dalam pengembangan teknologi damai. Ada juga komitmen baru untuk membantu pengungsi dari wilayah konflik. Dan tentu saja, diskusi tentang AI akan terus berlanjut, dengan janji untuk memastikan teknologi ini digunakan untuk kebaikan. Di luar gedung konferensi, salju masih turun perlahan. Dingin, putih dan sunyi. Tapi mungkin, di balik kesunyian itu, ada langkah-langkah kecil yang bisa membawa dunia ke arah yang lebih baik. Karena pada akhirnya dunia bukan milik teknologi. Dunia adalah milik manusia. Dan kitalah yang menentukan ke mana arah langkah kita selanjutnya.
Di Forum Davos 2025, konflik seperti Ukraina dan Gaza dibahas lewat sudut pandang baru: kecerdasan buatan (AI). Teknologi ini mulai memainkan peran penting dalam diplomasi global, menganalisis geopolitik hingga merancang kebijakan luar negeri secala berkala. Diplomasi modern bergerak dari ruang tertutup ke ruang publik digital. Teori komunikasi internasional membantu kita untuk dapat memahami bagaimana dunia mencari jalan tengan, dengan AI sebagai pemain baru di panggung global.