Bermain Bisnis Kelangkaan Minyak
Editor: Ahmad Arsyad
KABARBARU, OPINI – Peristiwa kelangkaan komoditas pangan memberi ujian pada mekanisme pasar kita yang masih tidak stabil. Belum lagi, mentalitas untuk mengambil keuntungan dari keterdesakan publik untuk irit menjad ini bayang-bayang menakutkan masyarakat kecil. Berkurangnya pasokan minyak goreng di pasaran menyebabkan tingkat kepercayaan pada pemerintah terutama Kementerian Perdagangan dalam mengatur dan mengawasi suplai pasokan minyak diragukan.
Sejak muncul ide pemerintah mengalihkan over produksi Crude Palm Oil (CPO) kebutuhan energi Biodiesel (B30) seolah menjadi daya harapan baru, dalam mengalihkan skema pendapatan dan mengalirkan pada produktifitas hasil lain. Kontrol pendapatan dari hasil perkebunan sawit belum rapih dalam pendataan, banyaknya perkebunan Sawit dengan izin yang tidak lengkap kadang membuat dampak simalakama yang berujung pada pembelian sawit milik petani dengan harga murah.
Memiliki lahan perkebunan sawit terbesar di dunia 16,38 juta hektar nyatanya tidak membuat gemah ripah loh jinawi swasembada pangan tersedia. Ironinya, kepayahan dalam administrasi dan kebijakan yang tidak dipersiapkan secara matang menjadi kendalanya. Masyarakat yang belum bisa terlepas ketergantungannya pada sektor produksi minyak goreng harus menerima kondisi dadakan ini. Dengan kelebihan produki CPO hingga mencapai 1,5 juta ton per tahun, inovasi yang ditawarkan harusnya tidak membelakangi beban yang ditanggung seperti tingkat konsumsi publik pada kondisi masih wajar.
Tanaman sawit tidak bisa secara langsung dipakai sebagai sumber daya dalam bentuk multi prodak. Jika pun mengembangkan dalam bentuk varian hasil produksi lain, tentu jumlah harus dilihat apakah ada pasar yang bisa menampungnya. Lagi pula, konsumsi minyak goreng di dalam negeri akan tetap meningkat kebutuhannya, terlebih lagi dalam hitungam bulan sudah memasuki bulan puasa. Laporan Index Mundi konsumsi minyak goreng Indonesia tertinggi di di dunia yakni 15,4 juta ton.
Ketergentungan pada minyak goreng bukan saja dipicu oleh pola konsumsi, namun daya penetrasi iklan dan produsen minyak goreng yang terus menawarkan varian minyak goreng. Posisi pemerintah sangat berharap terjadinya simbiosis mutualis, di mana ekonomi kita mendapatkan suntikan dari produksi konsumsi dalam negeri maupun dari ekspor CPO.
Oligopoli Senyap
Negara sangat membutuhkan sektor swasta untuk membantu merealiasikan penetrasi kebutuhan pasar dalam negeri. Tidak terkecuali pada sektor sumber daya alam seperti hasil perkebunan sawit. Guna mencukupi suplai antar lini masyarakat, produktifitas memang didorong tetapi realitas itu kadang tidak selalu sebanding lurus.
Secara sepihak naiknya harga minyak memang menimbulkan tanda tanya, apakah para produsen dari pabrik-pabrik besar pengelolaan minyak sawit mentah masih siap berbisnis dengan tekanan kebutuhan hajat publik. Jika demikian, maka konsesi insentif pemerintah untuk produsen minyak goreng dalam mengejar peningkatan produksi harus diawasi penuh.
Pengalaman kelangkaan bukan resiko ekonomi sederhana, ada struktur dalam kemasan ekonomi politik untuk mengejar income sebesar mungkin. Dalam pola pemilikan dan pengusahaan kelapa sawit di Indonesia, terdapat perusahaan minyak goreng yang terintegrasi dengan perkebunan CPO serta ada pula perusahaan minyak goreng yang tidak terintergrasi dengan perkebunan CPO. Para produsen minyak selama ini beralasan kenaikan harga akibat naiknya harga CPO dunia.
Model produsen minyak goreng Indonesia merupakan cerminan struktur pasar oligopoli, hanya beberapa perusahaan besar yang melakukan pengolahan hingga menjadi barang jadi. Seringpula terdengat alasan-alasan para pengusaha minyak goreng, mereka harus membeli CPO dengan harga pasar internasional sebelum mengolahnya menjadi minyak goreng. Alasan tersebut terlihat kurang masuk akal. Alasannya perusahaan minyak goreng besar di Indonesia juga memiliki perkebunan kelapa sawit milik sendiri yang berada di atas tanah milik negara yang didapat melalui HGU. Jadi wajar jika para pemilik perkebunan akan memilih untuk ekspor CPO ataupun menaikkan harga pasaran dalam negeri karena menguntungkan.
Pemerintah dan publik sering saling tuduh mencari kambin hitam dalang kelangkaan. Sedangkang para kartel minyak goreng terlalu bebas praktiknya. Hadirnya satgas perdagangan dari pemerintah haru segera menambil tindakan. Masalah ini tidak main-main, sebab masalah pangan dalam pengalaman massa selalu dapat menimbulkan situasi yang tidak menguntunkan. Penimbunan selain sebagai tindakan melawan hukum, juga menciderai kinerja pemerintah dalam fungsi pengawasan ketersedian barang dan keseimbangan harga pasar.
Jika niat mengejar sustainable dalam seperti dalam usaha membentuk lembaga Badan Pengelolaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) untuk menjaga ketahanan industri sawit rupanya sejauh ini belum berdampak efektif, justeru 80 persen dana beralih pada insentif peningkatan Biodiesel untuk menutupi harga selisih produksi dan jual minyak Pertamina yang mana hanya konglomerat saja yang dapat menikmati itu.
Bagaimanapun, Indonesia sebagai produsen CPO tiga besar di dunia, seharusnya dapat menjadi pemain utama dalam menentukan harga komoditas. Pemerintah harus meninjau ulang program Biodiesel agar ketersedian minyak goreng tetap dalam jumlah maksimal. Subsidi pada produsen minyak goreng merupakan langkah kurang efisien dan produktif karena melawan kerangka pikir rencana pengembangan Biodiesel yang belum matang. Harusnya insentif tersebut lebih digunakan pada pengembangan riset, pemberdayaan petani dalam peningkatan produktifitas kelapa sawitnya, serta penumbuhan UMKM dalam bidang pengolahan limbah sawit yang melimpah menjadi prodak tepat guna.
*) Penulis adalah Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia dan Pengurus MUI Ekonomi Ummat.
*) Tulisan opini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, dan bukan bagian dari tanggung jawab redaksi Kabarbaru.co