Dilema Umat Mayoritas

Editor: Ahmad Arsyad
Kabar Baru, Jakarta- Indonesia terdiri dari berbagai kelompok masyarakat yang beragam, baik dari segi etnis, budaya, adat maupun agama. Keragaman inilah yang kemudian dapat kita pandang sebagai keunikan dan aset kekayaan bangsa yang tentunya patut untuk disyukuri dan dikelola dengan bijak yang didasari sikap kebersamaan sehingga tercipta persatuan dan kesatuan bangsa sebagaimana terpatri dalam semboyan bangsa Indonesia yakni Bhinneka Tunggal Ika (Berbeda-beda namun tetap satu jua).
Istilah “Bhinneka Tunggal Ika” yang dipetik dari salah satu Kitab sakral bernama Sutasoma karya Mpu Tantular pada masa kerajaan Majapahit sekitar abad ke-14 ini tentunya tidak hanya sekedar dijadikan sebuah simbolik negara semata, melainkan untuk senantiasa dapat menjaga stabilitas keragaman yang ada di negara Indonesia terutama dalam aspek keagamaan. Sebab tidak dapat dipungkiri bahwa perbedaan dalam aspek keagamaanlah yang acap kali muncul kepermukaan sebagai bentuk perwujudan bahwa keberagaman agama di Indonesia benar-benar nyata adanya. Di samping itu dengan adanya penetapan Presiden Nomor 1Tahun 1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan penodaan Agama, maka secara resmi agama-agama yang dipeluk oleh masyarakat indonesia adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan khong Cu (Confusius).
Undang-undang di atas menunjukkan bahwa Agama di Indonesia tidak hanya terdapat satu agama saja, melainkan lebih dari itu. Selain enam agama yang diresmikan oleh negara ada puluhan bahkan ratusan agama lokal yang juga diberi perlindungan yang sama oleh negara, sebagaimana tertera dalam pasal 29 ayat 2 bahwa Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya.
Namun demikian, tidak jarang telinga kita diusik oleh kabar yang sangat memilukan, konflik yang bernuansa keagamaan kita jumpai dimana-mana dari sabang hingga merauke. Hal itu terjadi karena masih ada beberapa pihak yang cacat bernalar menganggap bahwa mayarakat di Indonesia seakan-akan digambarkan sebagai suatu kelompok yang hanya terdiri dari satu agama saja dan memarjinalkan agama-agama lain yang secara kuantitas mereka anggap lemah.
Saya tidak bermaksud untuk mengungkit-ungkit masa silam, namun saya rasa ini perlu disebutkan sebagai bukti bahwa kelompok mayoritas di Indonesia sedang mengalami gejolak dilema yang tidak berkesudahan dari masa ke masa. Beberapa tahun lalu, Indonesia sempat digemparkan dengan isu dari salah satu organisasi politik islam bernama Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang mengusung kembali gagasan atau konsep khilafah Islamiyah sebagai sistem negara di Indonesia. Sehingga secara tidak langsung gerakan ini menafikkan eksistensi dari agama-agama lain yang juga diresmikan dan di jaga sepenuhnya oleh negara.
Sekali lagi saya tidak bermaksud untuk mengungkit masa silam itu. Ini saya lakukan tidak lain untuk mengajak seluruh umat beragama khususnya umat islam di Indonesia agar senantiasa selalu berhati-hati terhadap doktrin gerakan fanatisme keagamaan (Fanatik dalam arti cinta buta kepada yang di sukai dan antipati kepada yang tidak disukai) yang cenderung mengedepankan egosentrisme daripada kemaslahatan umat. Sebab tidak dapat dipungkiri gerakan atau kelompok fanatisme keagamaan di Indonesia tetap berguling sampai detik ini mencari celah untuk mengupas kuli-kulit perbedaan yang dianggap menyimpang dari ajarannya sendiri.
Mungkin kita sudah mendengar isu tentang bom bunuh diri yang terjadi di jalan Kartini, Kota Makassar, Sulawesi Selatan, tepat di depan Gereja Katedral pada tanggal 28 Maret 2021. Kemudian pada tanggal 31 Maret 2021 kemarin aksi teror terjadi di Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia (Mabes Pori).
Tragedi mengenaskan tersebut pastinya tidak terjadi secara cuma-cuma dan tanpa alasan. Tentunya ada tujuan terselubung dibalik itu semua yang saya rasa tidak jauh berbeda dengan tujuan-tujuan kelompok fanatik lainnya, yaitu mengelucuti setiap perbedaan yang ada dan merampas segala hak yang individu atau kelompok lain miliki.
Berkenaan dengan konflik, saya teringat dengan salah satu teori yang digagas oleh seorang sosiolog Amerika bernama Lewis A. Coser yang pernah saya baca di ruangan hampa Sekber HMI cabang ciputat. Menurutnya konflik tidak hanya berkaitan dengan perselisihan mengenai nilai-nilai atau tuntutan-tuntutan berkenaan dengan status belaka, melainkan pihak yang berselisih juga ingin memojokkan, merugikan dan bahkan menghancurkan segala sesuatu yang dianggap lawannya.
Baru-baru ini yakni pada tanggal 29 Mei 2022 kemarin beredar sebuah video di media sosial tentang konvoi yang dilakukan oleh puluhan orang dari kelompok Khilafatul Muslimin di sekitar Jakarta dan Brebes Jawa tengah yang bertujuan untuk mengkampanyekan paham khilafah.
Khilafatul Muslimin sendiri merupakan sempalan dari sebuah ormas yang sempat ada di Indonesia saban lalu, yaitu Negara Islam Indosia (NII) yang tidak jauh berbeda dengan Khizbut Tahri Indonesia (HTI) yang memiliki misi untuk mendirikan negara Islam dan mengusung sistem tunggal, kepemimpinan tunggal yang dipimpin oleh seorang amir Internasional.
Konvoi yang terjadi di atas walaupun tidak menimbulkan konflik, namun gerakan ini tetap tidak enak dipandang dan tidak seharusnya terjadi di negara yang beragam ini. Konvoi tersebut menunjukkan kedilemaan besar umat muslim di Indonesia dan bahkan sebagai bentuk ketidakpercayaan mereka terhadap para pejuang kita terdahulu yang secara subtansi menginginkan keberagaman ini menjadi sebuah titik terang atas kemajuan bangsa, bukan sebagai pemecah belah bangsa yang sudah tersusun rapi.
Memang benar apa yang pernah di sampaikan oleh Bung Karno dalam pidatonya, “Musuh yang terberat itu adalah rakyat sendiri, rakyat yang mabuk akan budaya luar, yang kecanduan agama, yang rela membunuh bangsa sendiri demi menegakkan budaya asing.”
saya perlu tegaskan disini bahwa saya tidak mengeneralisir semua umat islam di Indonesia sedang terinfeksi virus kecacatan bernalar sehingga sampai melakukan tindak non-manusiawi sebagaimana dijelaskan. Orang-orang yang saya sebut fanatik di atas saya kira hanya segelintir orang saja jika dibandingkan dengan umat islam keseluruhan di Indonesia. Namun demikian, walaupun secara kuantitas sangat sedikit, mereka memiliki pengaruh yang cukup besar atas ketidak stabilan umat beragama di Indonesia, sehingga konsekuensi logis daripada itu adalah terjadinya konflik intra maupun antar agama.
Saya tidak mengerti kekurangan negara menfasilitasi mereka dan ketidak adilan negara terhadap umat islam di Indonesia itu di bagian mana, padahal jika kita amati secara seksama, bangsa ini sudah sangat cukup menfasilitasi umat islam bahkan negara telah memberi keleluasaan baik dalam melakukan aktifitas peribadatan ataupun dalam menyampaikan ajaran mereka (Dakwah).
Dalam hal menunaikan ibadah, saya kira tidak ada umat islam di Indonesia yang kesulitan dalam melakukan praktik peribadatan. Pun dalam hal mendakwahkan ajarannya. Salah satu contoh kecilnya adalah jika kita menonton televisi, hampir di setiap stasiun Televisi dibumbui dengan ajaran-ajaran keagamaan (Islam), baik berbetuk film, iklan, dan bahkan setiap waktu magrib dan subuh hampir semua stasiun televisi ikut mengkumandangkan adzan. Bukannya hal itu termasuk salah satu dari cara mendakwahkan islam? lantas apa lagi yang di inginkan oleh umat islam, serakus itukah umat islam? saya rasa tidak, selama saya beragama islam tidak pernah menemukan ajaran islam yang seperti itu.
Saya tidak bermaksud menyudutkan agama islam, sekali lagi saya tekankan bahwa saya tidak pernah menjumpai ajaran islam baik dalam Al-uran maupun hadist yang menuntut umatnya untuk melakukan tindak kekerasan dan merampas hak orang lain, kecuali ayat dan hadist yang memang disalah tafsirkan oleh mereka yang dangkal pengetahuan sebagaimana pernah di singgung oleh salah satu tokoh besar kita di Indonesia M. uraish Shihab dalam bukunya yang berjudul Islam yang Disalah Pahami.
Kedangkalan pengetahuan itulah yang kemudian menjadi indikator terbesar atas ke dilemaan umat islam sebagai kelompok mayoritas di Indonesia. Sehingga mereka selalu dihantui oleh perasaan bahwa kelompoknya-lah yang paling tertindas oleh kelompok minoritas lainnya dan berkoar di jalanan membawa nama tuhan menyalahkan kebijakan yang ditetapkan negara.
Semua uraian diatasan merupakan segenap keresahan saya terhadap dilema mayoritas yang tengah menimpa umat islam di Indonesia. Sehingga jika ada kata-kata yang membuat diantara kalian tersinggung itu diluar maksud saya. Dan jika sekiranya ada yang salah dari apa yang saya sampaikan, saya tidak menutup ruang untuk siapa saja yang ingin mengkoreksi dan meluruskan segenap kesalahan-kesalahan yang ada.
Demikian. Wallahu a’lam
*) Penulis adalah Ghozy Mubarok Al Akhyar.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kabarbaru.co