Pantun: Antara Seni Bahasa dan Warisan Budaya Tak Benda
Editor: Bahiyyah Azzahra
Penulis: Mufidah Dwi Casnur (Ilmu Komunikasi – Universitas Sultan Ageng Tirtayasa)
Kabar Baru, Opini – Pantun adalah salah satu wujud keindahan bahasa dalam tradisi sastra lisan Melayu yang mencerminkan kekayaan budaya Nusantara. Dalam setiap baitnya, pantun menghadirkan permainan kata yang penuh makna, membuktikan kecerdasan dan kepekaan linguistik masyarakat yang menciptakannya. Pantun berasal dari tradisi lisan masyarakat Melayu yang tersebar di berbagai wilayah, seperti Indonesia, Malaysia, Brunei, dan Singapura. Sebagai karya seni bahasa, pantun tidak hanya mencerminkan keindahan dan kreativitas dalam berbahasa, tetapi juga menjadi cerminan filosofi kehidupan, media komunikasi yang halus, serta instrumen kultural untuk mewariskan nilai-nilai luhur masyarakat Melayu dari generasi ke generasi.
Keberadaan pantun dalam kehidupan masyarakat tidak dapat dilepaskan dari fungsinya sebagai media ekspresi dan alat penyampaian pesan. Dalam masyarakat tradisional, pantun menjadi salah satu cara untuk mengungkapkan perasaan, menyampaikan petuah, hingga mempererat hubungan sosial. Melalui bahasa yang puitis dan penuh makna, pantun mampu mengemas pesan-pesan moral dan nasihat kehidupan dalam bentuk yang indah dan mudah diterima. Dalam konteks modern, pantun telah diakui sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh UNESCO pada tahun 2020. Pengakuan ini merupakan pencapaian penting yang menegaskan bahwa pantun bukan sekadar tradisi lokal, tetapi memiliki nilai budaya yang universal.
Pantun sering digunakan dalam berbagai upacara adat, seperti pernikahan, syukuran, hingga ritual keagamaan. Dalam pernikahan tradisional Melayu, pantun menjadi bagian dari prosesi adat, digunakan untuk menyampaikan doa, harapan, atau ungkapan kebahagiaan. Dalam kegiatan sehari-hari, pantun juga kerap menjadi alat komunikasi yang halus untuk menyampaikan kritik atau sindiran. Dengan gaya bahasa yang indah dan tidak langsung, pantun memungkinkan penuturnya menyampaikan pesan tanpa menyinggung perasaan.
Tema-tema yang diangkat dalam pantun sangat beragam, mencakup berbagai aspek kehidupan, seperti cinta, nasihat, keindahan alam, hingga humor. Keberagaman tema ini menunjukkan fleksibilitas pantun sebagai bentuk seni yang relevan dengan berbagai situasi dan konteks.
Pantun memiliki struktur tradisional yang terdiri atas empat baris dengan pola rima a-b-a-b. Dua baris pertama, yang disebut sampiran, biasanya berfungsi sebagai pengantar dan seringkali berisi gambaran tentang alam atau fenomena kehidupan sehari-hari. Dua baris terakhir, yang disebut isi, merupakan inti pantun yang menyampaikan pesan atau makna.
Keunikan pantun terletak pada perpaduan antara keindahan fonologis, semantik, dan sintaksis. Secara fonologis, pantun menghadirkan harmoni bunyi melalui pola rima dan irama yang teratur. Rima a-b-a-b menciptakan efek musikal yang memudahkan pengucapan dan pendengaran, sekaligus menjadikan pantun mudah diingat. Secara semantik, pantun sering menggunakan metafora dan kiasan yang menggugah imajinasi, mengajak pendengar atau pembaca untuk menggali makna mendalam di balik kata-kata.
Sementara itu, sintaksis pantun menunjukkan kelenturan bahasa Melayu. Dalam keterbatasan jumlah suku kata—biasanya 8 hingga 12 per baris—penyair pantun mampu menciptakan variasi ungkapan yang kaya dan penuh makna. Penggunaan inversi, personifikasi, dan kiasan menjadi strategi untuk memperkaya makna dalam ruang bahasa yang terbatas.
Di era modern, keberadaan pantun menghadapi tantangan besar. Globalisasi dan dominasi budaya populer menyebabkan generasi muda semakin asing dengan tradisi ini. Bahasa gaul dan komunikasi instan cenderung menggeser keindahan dan kedalaman bahasa pantun. Meskipun demikian, berbagai upaya pelestarian telah dilakukan untuk menjaga keberlanjutan tradisi ini.
Inisiatif pelestarian pantun mencakup penyelenggaraan kompetisi pantun di tingkat lokal, nasional, hingga internasional, integrasi pantun ke dalam kurikulum pendidikan, serta digitalisasi pantun melalui media sosial, video kreatif, dan aplikasi interaktif. Selain itu, festival budaya yang mengangkat pantun sebagai salah satu elemen utama juga menjadi sarana efektif untuk memperkenalkan tradisi ini kepada generasi muda.
Pantun bukan sekadar produk sastra lisan, melainkan representasi intelektualitas, estetika, dan nilai luhur masyarakat Melayu. Setiap baitnya adalah karya seni kecil yang menunjukkan bagaimana kata-kata dapat melampaui fungsi komunikatifnya untuk menjadi medium ekspresi filosofi, pengetahuan, dan keindahan. Pelestarian pantun tidak hanya berarti menjaga warisan budaya, tetapi juga menjaga identitas dan kekayaan intelektual bangsa. Oleh karena itu, pantun harus terus dijaga dan dikembangkan agar seni bahasa ini tetap hidup dan relevan di tengah perubahan zaman, memberikan inspirasi dan manfaat bagi generasi mendatang.