Mengantisipasi Beredarnya Amplop Panas Terhadap Jurnalis
Jurnalis: Sulistiana Dewi
Kabar Baru, Opini – Sebelum menjadi peserta magang wartawan di Jawa Pos Radar Malang, ekspektasi saya terhadap dunia pers hanya membutuhkan dua kata: keras dan ketat.
Ya, dua kata itu saya rasa sudah mewakili apa yang saya pikirkan ketika mendengar cerita perjalanan seorang jurnalis dalam menyelesaikan pekerjaannya.
Entah itu dalam proses pencarian data di lapangan, proses wawancara, maupun dari segi finansial.
Namun selain itu, menjadi seorang Jurnalis tentu akan memberikan kekayaan pengalaman yang tidak bisa didapatkan semua orang.
Bayangkan, dalam sehari saja jurnalis bisa menemui beberapa orang penting tanpa perlu mengurus administrasi yang begitu rumit. Cukup dengan perkenalkan diri sebagai jurnalis, ditambah dengan senyum manis, pasti calon narasumber (orang besar) itu akan takluk.
Apalagi yang hendak diberitakan adalah seputar kesuksesan, kerja keras, dan sejenisnya. Namanya juga pencitraan, siapa sih yang nggak mau?
Lebih lanjut lagi, ketika saya resmi menjadi peserta magang wartawan di Jawa Pos Radar Malang, entah pada bulan ke-berapa, peristiwa mengejutkan itu menimpa saya.
Ya, saya yang masih dikatakan wartawan “polos” tiba-tiba saja disodori amplop dengan cara yang menurut saya agak aneh.
Mengapa tidak? Pemberian itu terjadi setelah melewati komunikasi secara diam-diam, berkumpul di tempat sepi, dan bahasa isyarat yang pasti sudah dipahami oleh wartawan senior.
Oh tidak, betapa lugunya saya waktu itu.
Seketika aku bertanya-tanya. Ini amplop apa? Untuk siapa? Dan kenapa amplop ini diberikan kepada semua wartawan? Apakah sebelumnya mereka sudah ada perjanjian?
Jika iya, mengapa tidak dengan saya? Entahlah, waktu itu, antara kebingungan perkara hukum amplop ini dan rasa senang karena mendapatkan uang tambahan lebih dominan rasa senang yang menguasai hati.
Apalagi waktu itu saya memang membutuhkan banyak uang untuk memenuhi beberapa kebutuhan. Tanpa merasa bersalah, saya pun membawa pulang amplop itu sambil bertanya-tanya berapakah nominal yang ada di dalamnya.
Hari demi hari berlalu. Uang yang ada di dalam amplop itu telah saya gunakan untuk membeli jaket baru watna hijau. Ya, memang waktu itu saya hanya punya satu jaket cokelat yang selalu dipakai liputan.
Rasanya kurang afdol jika saya hanya memakai satu jaket itu terus-menerus. Mungkin, oleh wartawan dari media lain dikira tidak pernah bersalin.
Kemudian di hari yang lain, tanpa disengaja, saat saya duduk santai bersama wartawan senior di warung kopi, cerita mengenai amplop itu dimulai.
Bahwa amplop itu adalah bentuk “suap” yang isinya adalah permintaan agar apa yang baru saja terjadi “waktu itu” harus dipastikan tayang di media masing-masing.
Jika tidak, maka si wartawan yang berkaitan sudah melanggar transaksi sebelumnya.
Secara spontan, saya yang alumnus Pondok Pesantren langsung merasa bersalah. Saya sudah menggunakan uang “haram” yang seharusnya tidak saya terima.
Meski sebenarnya tidak ada transaksi secara jelas atas pemberian amplop itu, namun dari awal perasaan saya memang sudah tidak enak.
Oleh sebab itu, berangkat dari fenomena di atas, saya berharap kepada Dewan Pers untuk lebih memperhatikan dan bersikap tegas terhadap seluruh jurnalisnya.
Jangan sampai malah dari pihak Dewan Pers sendiri menganggap itu adalah hal biasa yang sering terjadi di dunia media. Baik media offline maupun online.
Mirisnya, aksi suap jurnalis tersebut sering atau bahkan pasti terjadi di lapangan yang tidak bisa terpantau secara intens.
Lantai pertanyaannya adalah bagaimana caranya Dewan Pers mengetahui penyimpangan tersebut? Nah, saya rasa itu menjadi tugas kita bersama untuk mengawal kode etik jurnalistik dan prinsip independen pers.
Dan saya yakin, bahwa semua media juga tidak membenarkan tindakan tersebut.
Mungkin, menurut hemat saya, kejadian di atas bisa dimitigasi dengan cara pembinaan karakter jurnalis yang kuat dan ketegasan seluruh pihak saat ada yang melakukan penyimpangan terebut.
Tak peduli pejabat mana, dari partai mana, dan mempunyai kekuasaan seperti apa. Saat dia melakukan kesalahan, ya sudah biarkan hukum yang bekerja.
Dan pastinya, jangan lupa juga untuk tetap konsisten memberikan imbalan yang sepadan dan tepat waktu pada jurnalis. Kalau perlu, berikanlah apresiasi tambahan kepada mereka dalam bentuk yang lain.
Sehingga, penyimpangan berupa amplop-amplop panas bisa berkurang, syukur-syukur bisa musnah dari muka bumi ini. Sebab bagi saya, apapun jenis keburukannya, jangan sampai dibiarkan apalagi dianggap sudah menjadi “kebiasaan”.