Terbitkan Policy Paper, DPP GMNI Minta Pemerintah Bentuk BUMN CPO dan Sawit
Jurnalis: Wafil M
KABARBARU, JAKARTA- Pasca mengadakan Webinar dengan Kementerian Perindustrian, Satgas Pangan Polri dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk membahas produksi dan distribusi minyak goreng, Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (DPP GMNI) mengeluarkan Policy Paper sebagai rekomendasi bagi Pemerintah dalam tata kelola industri CPO khususnya produk turunan minyak goreng.
Alasan menerbitkan Policy Paper Ketua Umum DPP GMNI Arjuna Putra Aldino melihat, kenaikan harga minyak goreng tidak dapat dilepaskan dari kondisi struktur usaha kelapa sawit, dalam pola pemilikan dan pengusahaan kelapa sawit di Indonesia, relatif terkonsentrasi pada segelintir kelompok pelaku usaha yang dominan. Data dari Publikasi Perkumpulan Transformasi Untuk Keadilan (TUK) Indonesia menyebutkan 25 grup usaha besar menguasai 51% atau 5,1 juta hektar lahan kelapa sawit di Indonesia.
Lalu, Kementerian Pertanian mencatat, luas perkebunan minyak kelapa sawit mencapai 15,08 juta hektare (ha) pada 2021. Dari 15,08 juta ha, mayoritas dimiliki oleh Perkebunan Besar Swasta (PBS) yaitu seluas 8,42 juta ha (55,8%). Kemudian, Perkebunan Rakyat (PR) seluas 6,08 juta ha (40,34%) dan Perkebunan Besar Negara (PBN) seluas 579,6 tibu ha (3,84%).
Dalam pola pemilikan dan pengusahaan industri minyak goreng sawit di Indonesia, banyak perusahaan minyak goreng yang terintegrasi dengan perkebunan CPO, dimana 66 persen perusahaan minyak goreng yang terintegrasi dengan perkebunan CPO. Hal ini membuat kebijakan DMO untuk menekan harga minyak goreng sangat tidak efektif, karena hampir 70 persen industri minyak goreng sawit di Indonesia memiliki karakteristik pola pengusahaan yang terintegrasi secara vertikal.
Melihat kondisi semacam ini, Industri minyak goreng sawit dalam negeri cenderung akan melakukan tindakan consious parallelisme dalam menetapkan harga minyak goreng yakni, menggunakan informasi pasar pergerakan harga input (CPO) internasional dalam menetapkan harga jual minyak goreng di pasar domestik. Sedangkan pada saat terjadi penurunan harga CPO di pasar dunia, diduga terjadi asymetric price transmission. Ini terlihat dari semakin melebarnya selisih antara harga CPO dengan harga minyak goreng.
Kemudian, Program B20 atau pencampuran 20 persen Biodiesel dengan 80 persen bahan bakar minyak jenis Solar, membuat konsumsi CPO untuk biodesel meningkat pesat. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mencatat, produksi CPO pada Januari 2022 mencapai 3,862 juta ton dan minyak inti kelapa sawit (PKO) 365.000 ton.
Ini berpotensi mengganggu rantai pasok bahan baku minyak goreng, program biodesel membuat subsidi dana pungutan ekspor CPO lebih dari 80 persen diberikan untuk insentif program tersebut. Petani sawit belum menikmati dana subsidi tersebut secara maksimal. Dan, menyebabkan perusahaan CPO lebih suka mengalokasikan CPO nya untuk program biodesel karena mendapat subsidi yang besar.
Arjuna juga menyampaikan Sikap, Tuntutan dan Rekomendasi DPP GMNI yakni:
1. Mengusulkan adanya pembatasan kepemilikan hak guna usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit untuk korporasi besar dan redistribusi lahan sawit kepada perkebunan sawit rakyat.
2. Pencabutan Program Mandatori Biodesel beserta Subsidi Biodesel Dari Hasil Pungutan Ekspor CPO.
3. Subsidi Dari Hasil Pungutan Ekspor Diprioritaskan Untuk Peremajaan Sawit Rakyat.
4. Pemerintah Lakukan Audit dan Pembenahan Supply-Chain Minyak Goreng.
5. Tindak Tegas Mafia CPO dan Mafia Minyak Goreng.
6. Meminta Pemerintah membentuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) disektor pengolahan CPO dan Minyak Goreng sawit agar nasib 200 juta lebih masyarakat indonesia tidak bergantung pada segelintir korporasi swasta.