Luka yang Tak Terlihat: Bahaya Self-Harm di Kalangan Remaja

Editor: Bahiyyah Azzahra
Oleh: Davelia Febriyanti
Tidak semua luka terlihat. Di balik senyum yang ditampilkan remaja setiap hari, sering kali tersembunyi rasa sakit yang dalam. Salah satu bentuk ungkapan rasa sakit itu adalah self-harm atau menyakiti diri sendiri, sebuah fenomena yang kian marak di kalangan remaja namun sering kali disalahpahami.
Self-harm bukan sekadar tindakan impulsif atau “drama remaja.” Ini merupakan sinyal bahwa seseorang tengah mengalami tekanan emosional yang berat dan tidak tahu cara lain untuk menyalurkannya. Sayangnya, masih banyak masyarakat yang menganggap tindakan ini sebagai lelucon, aib, atau bahkan dosa, tanpa mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi di balik luka-luka itu.
Remaja berada pada masa pencarian jati diri yang penuh gejolak. Ketika tekanan akademik, konflik keluarga, dan tuntutan sosial menumpuk tanpa ruang yang aman untuk mengekspresikan emosi, tidak sedikit dari mereka yang merasa terjebak. Ketika mencoba berbicara, sering kali respons yang diterima justru menghakimi: “Kamu lebay,” “Gitu aja nangis,” atau “Kuat dong, masa begitu aja nyerah.”
Respons-respons seperti ini tidak menenangkan, justru memperdalam perasaan bahwa mereka tidak dipahami. Akibatnya, beberapa memilih diam dan mulai melukai diri sebagai pelampiasan. Bagi mereka, rasa sakit fisik sering kali terasa lebih mudah dihadapi daripada beban batin yang tak kunjung reda.
Media sosial juga memegang peran penting. Banyak konten yang, sadar atau tidak, meromantisasi self-harm. Di sisi lain, ada pula komunitas yang memberikan dukungan keliru, yang justru memperkuat perilaku menyakiti diri. Paparan semacam ini sangat berbahaya, terutama bagi remaja yang tengah berada dalam kondisi mental yang tidak stabil.
Yang lebih mengkhawatirkan, self-harm bisa menjadi gerbang menuju gangguan mental yang lebih serius. Tanpa penanganan yang tepat, seseorang bisa mengalami depresi kronis, gangguan kecemasan, hingga keinginan mengakhiri hidup. Ini bukan persoalan yang bisa diselesaikan dengan nasihat klise atau sekadar larangan.
Diperlukan pendekatan yang penuh empati dan keterbukaan. Orang tua dan guru perlu belajar menjadi pendengar yang baik. Mereka tidak perlu tahu semua jawaban, cukup hadir tanpa menghakimi. Sementara itu, teman sebaya juga punya peran penting. Terkadang, satu pesan singkat yang tulus bisa mengubah segalanya: “Aku di sini kalau kamu butuh cerita.”
Self-harm adalah tanda peringatan, bukan sekadar kebiasaan buruk. Ia menunjukkan bahwa seseorang sedang terluka, bahkan jika tidak tampak dari luar. Oleh karena itu, penting bagi kita semua untuk membuka mata, telinga, dan hati terhadap tanda-tanda tersebut.
Tidak ada luka yang terlalu kecil untuk diperhatikan. Tidak ada tangisan yang layak diabaikan. Remaja yang menyakiti diri bukan karena ingin mati, tetapi karena ingin rasa sakitnya berhenti. Sudah saatnya kita berhenti menilai dan mulai memahami. Karena setiap luka, baik yang terlihat maupun yang tidak, layak untuk disembuhkan—bukannya disembunyikan.