Dampak UU HPP dalam Kenaikan PPN 11 Persen terhadap Kestabilan Perekonomian di Indonesia
Editor: Ahmad Arsyad
Kabar Baru, Opini- Awal tahun 2022 masyarakat indonesia dikejutkan dengan adanya pernyataan bahwa mulai 01 April 2022 pemerintah akan mengesahkan Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan (UU HPP) mengenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang awalnya 10 persen menjadi 11 persen. Kebijakan tersebut di ambil oleh pemerintah sebagai suatu solusi untuk meningkatkan pendapatan negara dari sektor pajak pada masa pandemi Covid 19.
Kemudian, bagaimana dampak dari adanya aturan tersebut bagi negara maupun masyarakat Indonesia?
Kenaikan PPN dari 10 persen menjadi 11 persen tentunya akan berdampak pada meningkatnya harga barang dan jasa. Hal tersebut dikarenakan pihak yang dikenakan PPN adalah konsumen di tingkat akhir atau pembeli. Tetapi tidak semua harga barang dan jasa, karena ada juga beberapa jenis barang dan jasa yang tidak terkena PPN sesuai dengan yang tertera di Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang PPN
Dampak adanya aturan baru tersebut tentang kenaikkan PPN 10 persen menjadi 11 persen bisa kita lihat dari beberapa sektor yaitu :
Pertama yaitu sektor perusahaan, Kenaikan aturan mengenai PPN tersebut mengakibatkan para perusahaan harus menaikkan harga dari barang yang mereka produksi, seperti minyak goreng, mie instan, pulsa dan paket data, token listrik, dan juga transaksi saham. Minyak goreng mengalami kenaikan harga akibat dari adanya aturan mengenai kenaikan PPN 10 persen menjadi 11 persen dikarenakan minyak goreng merupakan bahan olahan yang memang menjadi target dari PPN itu sendiri.
Kemudian bahan makanan lain yang tidak bebas PPN dan mengalami kenaikan harga ialah mie instan, sedangkan untuk pulsa dan paket data dijelaskan oleh pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 6 Tahun 2021 resmi memungut PPN dan Pajak Penghasilan (PPh) atas penjualan pulsa, kartu perdana, token, dan voucher mulai 1 Februari 2021. Hal tersebut menyebabkan harga pulsa dan paket data meningkat seiring dengan penyesuaian tarif PPN 11 persen. Selain itu juga terdapat token listrik yang memang menjadi objek PPN yang ikut terkena imbas kenaikan harga yang diakibatkan oleh kenaikan PPN 11 persen, hal tersebut berdampak kepada kenaikan biaya token bagi pelanggan rumah tangga dengan daya listrik di atas 7.700 VA, diluar dari daya tersebut tidak terdapat kenaikan harga. Bagi transaksi saham sejumlah perusahaan sekuritas mendukung penuh kebijakan pemerintah menaikkan tarif PPN menjadi 11 persen, termasuk memberlakukan ketentuan ini untuk setiap transaksi saham.
Kedua ialah dari sektor Direktorat Jendral Pajak (DJP) itu sendiri, dimana bagi DJP melalui Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP Kemenkeu) Suryo Utomo mengatakan bahwa pihak DJP mulai melakukan penyesuaian aplikasi layanan perpajakan dengan kenaikan PPN dari 10 persen menjadi 11 persen. Adapun aplikasi layanan yang dimaksud ialah e-Faktur Desktop, e-Faktur Host to Host, e-Faktur Web, VAT Refund, dan e-Nofa Online.
Kemudian yang ketiga ialah dampak dari adanya aturan tersebut terhadap negara, kenaikan PPN 11 persen tentunya akan menyebabkan inflasi, penyesuaian PPN menjadi 11 persen diperkirakan akan mendorong inflasi pada bulan April 2022 yang berada di atas 1,4 persen secara bulanan. Selain itu, kenaikan PPN juga akan berpengaruh terhadap kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), tarif dasar listrik untuk nonsubsidi, serta penyesuaian harga Liquefied Petroleum Gas (LPG) nonsubsidi.
Dari beberapa dampak tersebut dapat di simpulkan bahwa kenaikan PPN 11 persen akan menyebabkan peningkatan harga dari barang yang termasuk objek PPN tersebut, hal itu mengakibatkan meningkatnya biaya produksi dan konsumsi masyarakat. Sehingga akan mengakibatkan sektor barang dan jasa turun dan berdampak kepada penjualan.
Dengan produktivitas yang menurun, maka akan berpengaruh terhadap berkurangnya penyerapan tenaga kerja. Maka pendapatan masyarakat akan turun dan konsumsi masyarakat pun akan ikut menurun. Pada akhirnya akan menghambat pemulihan ekonomi pasca pandemi dan pendapatan negara tidak kunjung optimal. Sebaiknya kenaikan PPN tersebut ditunda sampai kondisi perekonomian sudah mulai stabil dikarenakan saat ini situasi perekonomian di negara kita sedang kurang stabil yang diakibatkan oleh adanya pandemi Covid 19, kenaikan tarif PPN menjadi 11 persen sebenarnya bukan masalah jika diterapkan saat konsumsi rumah tangga mulai solid.
*) Penulis adalah Muhammad Farhan Riskiansyah, Mahasiswa Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kabarbaru.co