Melihat Kembali Atensitas Krisis Ekologi di Indonesia

Editor: Ahmad Arsyad
Kabar Baru, Opini- Manusia mempunyai korelasi antara dirinya dengan alam, dalam konsep lain dikenal Hamblum Minal Alam (Hubungan manusia dengan alam). Dalam konteks ini manusia mempunyai tanggung jawab moral untuk tetap menjaga stabilitas dan kelestarian alam. Sebab saat ini bumi sedang mengalami yang namanya krisis ekologi yang sangat berdampak terhadap keberlangsungan kehidupan umat manusia di masa akan datang.
Namun acap kali Kesewenang-wenangan manusia membuat lupa akan tanggung jawab sebenarnya di muka bumi, dan hanya mementingkan kepentingan yang berjangka pendek. Salah satunya menebang pohon secara liar, membuang sampah sembarangan, bahkan pengrusakan alam di laut maupun di darat.
Seharusnya sebagai orang yang taat beragama, wabil khusus didalam Islam. Menjaga lingkungan menjadi bagian suatu perintah yang harus ditaati. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman; “Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk Mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan,”. (QS. Al-Baqarah ayat 205).
Dari itu, kita harus merasa malu sebagai orang yang beriman. Karena ayat tersebut menjadikan cambukan terhadap kita, lebih lagi membuka kesadaran akan pentingnya menjaga alam. Artinya tidak mengambil sikap ceroboh dengan membuat pengrusakan lingkungan atau perindustrian yang tidak memperdulikan dampak setelahnya.
Akan tetapi sebagian perusahan mengatakan, bahwa industri yang mereka jalankan akan menjadi target dalam memperluas lapangan pekerjaan. Tapi menurut hemat saya, itu harus dipertimbangkan kembali. Jangankan memperluas pekerjaan, justru hanya malah manjadi pemanis diawal saja, yakni untuk dapat menjebolkan sebuah agenda-agenda kepentingan sepihak tanpa melihat dampak diakhir.
Dapat diakui, memang benar kegiatan industri dari sisi positif mungkin dapat membuka lapangan pekerjaan. Akan tetapi, sering kali dampak negatifnya lebih mendominasi, seperti halnya pencemaran lingkungan dan pencemaran udara. Kerusakan tersebut kerap terjadi di laut dan di darat. Di Laut bisa saja adanya zat-zat kimia atau kotoran pabrik yang dialirkan ke laut, sedangkan di darat bisa saja mendatangkan kebanjiran dan bahkan membahayakan kesuburan tanah.
Akibat kecerobohan tersebut, mengakibatkan dampak yang cukup parah terhadap kondisi alam di Indonesia. Kalau dilihat berdasarkan data yang dirilis katadata.co.id, tercatat Sepanjang 2021 terhitung mulai 1 Januari hingga 28 Desember 2021, bencana alam yang terjadi di Indonesia mencapai 3.058 kejadian. Dari banjir, tanah longsor, hingga kebakaran hutan.
Ini justru menjadi catatan merah kedepannya bagi kita, untuk tetap waspada. Karena adanya lonjakan bencana alam yang terjadi tidak semerta-merta di sebabkan atas kehendak alam. Justru terjadi akibat imbas dari ulah manusia itu sendiri, atas tidak kepeduliannya terhadap lingkungan. Tapi ironisnya seringkali manusia merusak alam hanya kepentingan materil, seperti kegiatan industri dan penebangan hutan secara liar hanya karena kebutuhan pasar.
Bisa kita lihat di salah satu wilayah di Indonesia yang saat ini terancam kondisi alamnya, ialah kalimatan. karena adanya perusahan industri yang tak peduli keberadaan lingkungan disekitarnya, dan saat ini cukup mengkhawatirkan keberadaannya. Jika tidak ada penyisiran kerja industri seperti itu, justru nantinya akan mengakibatkan yang tidak harusnya terjadi, sebagaimana saya sampaikan tadi.
Berdasarkan catatan Walhi.or.id, Kalimantan Selatan tercatat dari 3,7 juta hektar luas wilayah Kalimantan Selatan, hampir 50 persen merupakan lahan tambang dan perkebunan sawit. hal itu setiap tahun biasanya mengalami pertambahan di sekitaran wilayah tersebut.
Hal itu bukan menjadi Sebuah rahasia umum, sebab sedari dulu wilayah tersebut dikenal surganya para pebisnis tambang emas hitam. Tercatat 157 perusahaan tambang batubara di Kalimantan Selatan dengan 814 lubang tambang. Hingga saat ini Hutan di Kalimantan Selatan terus mengalami penyusutan dari waktu ke waktu, daya dukung dan tampung lingkungan hidup terus meningkat dan berakhir pada ancaman bencana ekologi.
Mencegah dan menjaga kelestarian alam tidak cukup hanya dengan kesadaran secara personal, melainkan pemerintah harus membuat regulasi yang mempunyai atensi tersendiri terhadap kondisi lingkungan di Indonesia. Karena krisis ekologi tidak disebabkan oleh kegiatan individu, akan tetapi oleh kelompok atau lembaga tertentu yang hendak memikirkan urusan bisnis belaka, tanpa peduli dampak dari kegiatan perindustrian yang dibuatnya.
Pemerintah disini tidak hanya terfokus pada eksekutif (Presiden). Namun perlu semua elemen pemerintah. Pertama, Majlis Ulama Indonesia ( MUI) yang membidangi di bagian kajian keislaman, seharusnya membuat ijtihad yang berupa fatwa yang erat hubungannya dengan pentingnya menjaga alam. Seperti dilarangnya industri yang tidak memperdulikan dampak alam di laut maupun di darat.
Kedua, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) harus mampu membuat regulasi yang relevan. Yakni dengan melarang adanya perindustrian tertentu yang mengakibatkan kerusakan alam, sebagaimana yang Sudah terjadi di Kalimantan Selatan. Artinya DPR RI disini harus mempunyai sikap tegas dan serius terhadap ancaman krisis ekologi di Indonesia dengan membuatkan UU khusus bagi penanganan lingkungan.
Ketiga, adanya frekuensi yang sama antara pemerintah pusat sampai ke daerah, dengan mengambil langkah yang cukup signifikan agar kemudian pelestarian lingkungan dapat terealisasikan. Sebab regulasi yang dibuat tidak cukup hanya dipampang begitu saja dan selesai di meja paripurna. Akan tetapi perlu realisasi di lapangan. Perlu adanya sinergitas dari berbagai pihak terutama pemerintah dan masyarakat.
Sekali lagi, kelestarian lingkungan hanya akan bisa dijaga dengan kesadaran dan kepedulian terhadap alam. Artinya regulasi hanya bagian kecil dadi pendukung bagi kita, sebagaimana negara yang berlandaskan hukum. Percuma ada regulasi, jika kesadaran itu tidak lahir dari diri Kita untuk bisa patuh dan menaatinya.
*) Penulis adalah Moh Kholilur Rahman, Acapkali dipanggil Cak lil. Beberapa tulisannya dalam bentuk fiksi dan non fiksi sudah terbit di berbagai media. Ia merupakan kader PMII UTM dan PKPT IPNU UTM.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kabarbaru.co