Fakta Sajak Kontroversial Peringatan, Karya Maestro Wiji Thukul
Editor: Ahmad Arsyad
Kabar Baru, Opini – Wiji Thukul dikenal sebagai seniman dan aktivis yang kerap mengkritik rezim Orde Baru. Ia menyuarakan ketidakadilan dan ketertindasan melalui puisi-puisinya.
Wiji Thukul lahir 26 Agustus 1963 di Kampung Sorogenen, Solo, yang mayoritas penduduknya tukang becak dan buruh. Thukul berasal dari keluarga tukang becak.
Sebagai anak tertua dari tiga bersaudara, ia berhasil menamatkan SMP (1979), lalu masuk Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) Jurusan Tari, tetapi keluar (drop-out) pada tahun 1982.
Thukul benar-benar sosok militan yang cukup cerdik untuk menggerakkan dirinya dan anggota masyarakat lain agar peduli akan masa depan.
Di balik ketegarannya itu, Thukul adalah pribadi yang penuh misteri, seperti banyaknya lompatan misteri di balik puisi-puisinya.
Puisi Peringatan adalah puisi karya seorang sastrawan sekaligus aktivis buruh yakni Wiji Thukul. Orde Baru menjadi saksi bisu hilangnya seorang aktivis kelahiran Solo ini.
Melalui kesenian Ia menyuarakan kegelisahan serta ketidakadilan di bawah rezim jenderal yang terkenal dengan Bapak Pembangunan Nasional.
Sanggar Teater Jagat merupakan awal mula aktualisasinya dalam berkesenian.
Salah satu puisi Wiji Thukul yang terkenal yakni berjudul Peringatan.
Peringatan
jika rakyat pergi
ketika penguasa pidato
kita harus hati-hati
barangkali mereka putus asa
kalau rakyat sembunyi
dan berbisik-bisik
ketika membicarakan masalahnya sendiri
penguasa harus waspada dan belajar mendengar
bila rakyat tidak berani mengeluh
itu artinya sudah gawat
dan bila omongan penguasa
tidak boleh dibantah
kebenaran pasti terancam
apabila usul ditolak tanpa ditimbang
suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
dituduh subversif dan mengganggu keamanan
maka hanya ada satu kata: lawan!
Wiji Thukul melihat sastra dan seni adalah alat yang pas untuk menyampaikan kritik sosial.
Pemilihan diksi kata dalam puisi Wiji Thukul mudah dan lugas.
Di dalam arena sastra saat itu berlangsung kuasa simbolik melalui doksa sastra universal. Sastra universal menurut Ariel Heryanto adalah sastra yang berasal dari batin, dan bukan dari kehidupan sosial.
Menurut Pierre Bourdieu doksa adalah seperangkat kepercayaan fundamental yang bahkan dirasa tidak perlu diekspresikan, seakan suatu dogma.
Dengan kata lain doksa adalah pandangan penguasa atau yang dominan yang dianggap sebagai pandangan seluruh masyarakat.
Baginya kesewenang-wenangan serta tradisi bungkam orde baru dapat dilawan melalui kesenian. Seperti yang sudah dalam puisinya.
Ketenaran Wiji Thukul berawal dari Sanggar Suka Banjir yang terus melakukan jejaring bersama rakyat.
Ia membawa kesenian terjun kedalam retorika kritik guna membangun kesadaran sosial rakyat kecil.
Perlawanan demi perlawanan ia lalui baik di lapangan, jalanan, hingga pangung hiburan. Hingga akhirnya pada bulan Maret 1998 adalah hari terakhir Ia berkabar.
Jalan pemuda Jakarta menjadi saksi kerberadaannya untuk terakhir kali, setelah itu tak ada kabar lagi tentangnya.
Sang jendral yang murah senyum itu akhirnya menyerah namun para aktivis yang hilang tak pernah muncul lagi kepermukaan.
Mirisnya, hingga kini pun negara tidak pernah berani bertanggung jawab dan memberi penjelasan kabar tentang Wiji Thukul berada.
Kondisi sosial politik pada masa Orde Baru yang tidak memihak pada masyarakat kelas bawah menjadi tema-tema yang dipilih Wiji Thukul.
Puisi-puisi: Suara dari Rumah Miring, Ucapkan Kata-katamu, Ceritakanlah Ini Kepada Siapapun, Apa Yang Berharga dari Puisiku, Puisi Menolak Patuh, Para Jenderal Marah-marah, Istirahatlah Kata-kata, Edan, Tikus, Hukum, Catatan, Puisi di Kamar, Sajak Suara.
Puisi lainnya: Peringatan, Nyanyian Akar Rumput dan lain-lainnya, menjadi puisi-puisi kontekstual yang ditakuti oleh rezim Orde Baru, karena puisi-puisi tersebut menuliskan realitas saat itu, puisi kritik sosial yang merupakan bagian dari sastra yang dilarang pemerintah.
Dari paparan di atas terlihat bahwa Wiji Thukul adalah seorang pejuang kemanusiaan yang berjuang di dua arena, yang pertama Wiji Thukul harus melawan dominasi kuasa simbolik sastra universal, dan yang kedua adalah melawan hegemoni rezim Orde Baru.
Lewat puisi-puisinya Wiji Thukul melawan dua ranah dominasi ini, hingga Wiji Thukul harus dihilangkan paksa oleh negara.
Sampai sekarang masyarakat masih menunggu janji dan harapan dari pemerintahan yang baru, untuk mengusut tuntas kejahatan kemanusiaan penghilangan paksa Wiji Thukul.
Penulis adalah Rosi, mahasiswa IAIN Madura