Berita

 Network

 Partner

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store

Meniti Jalan Berduri: Ketahanan Pangan di Tengah Kabut Hukum dan Politik

Editor:

Kabar Baru, Opini – Ketahanan pangan kini menjadi isu strategis yang mencakup berbagai dimensi penting dalam kehidupan, mulai dari tersedianya bahan pangan hingga kemudahan akses, keterjangkauan, dan stabilitas pasokan. Di Indonesia, tantangan terkait kebutuhan pangan semakin kompleks, terutama dengan meningkatnya permintaan yang harus dihadapi di tengah persoalan hukum, dinamika politik, dan tekanan ekonomi. Ketahanan pangan tidak hanya berkaitan dengan memastikan pasokan pangan yang memadai, tetapi juga memastikan bahwa masyarakat dapat memperoleh pangan secara merata dan berkelanjutan.

Dalam ranah hukum dan politik, Indonesia menghadapi berbagai hambatan dalam membangun ketahanan pangan yang kuat. Konflik kepentingan, tingginya tingkat korupsi, serta kebijakan yang tidak konsisten, seperti terkait impor pangan dan program food estate, menjadi kendala besar. Kebijakan yang kurang terencana dapat melemahkan stabilitas pangan nasional, mengurangi kesejahteraan petani, dan menciptakan kerawanan pangan di masa depan. Oleh karena itu, diperlukan langkah nyata untuk mewujudkan sistem pangan yang tangguh, berkelanjutan, dan berpijak pada prinsip keadilan hukum serta stabilitas politik.

Ketersediaan Pangan

Aspek ketersediaan pangan sangat bergantung pada kebijakan produksi dan distribusi pangan. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan menegaskan bahwa pemerintah wajib menjamin ketersediaan pangan yang cukup, aman dan bergizi bagi tiap orang, baik dari produksi lokal maupun impor jika produksi nasional tidak mencukupi. Namun, kebijakan impor seringkali menjadi polemik. Ketergantungan pada impor pangan dapat melemahkan kemandirian pangan nasional dan menjadi rentan terhadap fluktuasi harga global serta konflik geopolitik.

Selain itu, program food estate yang bertujuan meningkatkan produksi pangan domestik belum sepenuhnya efektif. Meski berpotensi menambah pasokan, program ini menghadapi kendala berupa alih fungsi lahan, konflik sosial dengan masyarakat lokal, dan kerusakan ekosistem. Upaya peningkatan produksi harus memperhatikan keberlanjutan lingkungan dan partisipasi masyarakat.

Keterjangkauan dan Aksesibilitas

Keterjangkauan pangan erat kaitannya dengan stabilitas ekonomi dan tingkat kemiskinan. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2015 tentang Ketahanan Pangan dan Gizi menekankan pentingnya aksesibilitas pangan yang terjangkau oleh semua lapisan masyarakat. Namun, praktik korupsi dalam distribusi pangan dan subsidi seringkali menghambat pencapaian ini.

Keterjangkauan juga dipengaruhi oleh kebijakan politik yang seringkali bias. Misalnya, konflik politik antara pemerintah pusat dan daerah dalam pembagian kewenangan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Urusan Pemerintahan Daerah, dapat menyebabkan lambatnya penyaluran bantuan pangan dan subsidi. Ketidakselarasan ini perlu diatasi melalui koordinasi yang lebih baik antara pemerintah pusat dan daerah.

Stabilitas Ketahanan Pangan

Stabilitas ketahanan pangan sangat rentan terhadap konflik politik, baik domestik maupun internasional. Stabilitas politik yang terganggu dapat mengakibatkan distribusi pangan terhambat, terutama di wilayah konflik seperti Papua. Ketegangan sosial dan politik yang terjadi di daerah tersebut menyebabkan terbatasnya akses ke pasar dan jalur distribusi, yang pada gilirannya mengganggu aliran pasokan pangan ke masyarakat. Aksesibilitas yang buruk, baik karena infrastruktur yang tidak memadai maupun adanya gangguan keamanan, membuat pendistribusian pangan menjadi lebih sulit dan mahal. Hal ini memperburuk kerawanan pangan di wilayah tersebut, mengancam kesejahteraan penduduk yang bergantung pada pasokan pangan luar untuk kebutuhan sehari-hari.

Selain itu, tingkat korupsi yang tinggi, seperti dalam pengelolaan dana bantuan pangan, merusak kepercayaan masyarakat dan memperburuk kerawanan pangan. Contohnya pada kasus korupsi dalam pengadaan beras untuk bantuan sosial (bansos) Presiden pada penanganan COVID-19 di wilayah Jabodetabek pada tahun 2020 menggambarkan betapa buruknya dampak korupsi terhadap ketahanan pangan di Indonesia. Dalam situasi yang sulit seperti pandemi, bansos menjadi salah satu saluran utama untuk memastikan masyarakat tetap dapat memenuhi kebutuhan dasar, termasuk pangan. Padahal di saat itu produksi beras mengalami penurunan. Dilansir dari bps.go.id, produksi beras pada 2024 untuk konsumsi pangan penduduk diperkirakan sekitar 30,34 juta ton, mengalami penurunan sebanyak 757,13 ribu ton atau 2,43 persen dibandingkan produksi beras di 2023 yang sebesar 31,10 juta ton.

Pemerintah harus memperkuat pengawasan terhadap distribusi pangan dan mengutamakan transparansi dalam implementasi kebijakan pangan. Penggunaan teknologi digital untuk memantau distribusi pangan dapat menjadi solusi untuk mengurangi peluang korupsi.

Kebijakan Impor Pangan dan Food Estate

Kebijakan impor pangan menjadi salah satu isu kontroversial dalam stabilitas ketahanan pangan. Di satu sisi, impor diperlukan untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek, tetapi di sisi lain, kebijakan ini dapat melemahkan daya saing petani lokal dan menyebabkan ketergantungan pada impor pangan yang dapat melemahkan kemandirian pangan nasional dan menjadi rentan terhadap fluktuasi harga global serta konflik geopolitik. Pemerintah perlu menyeimbangkan antara kebutuhan impor dan pengembangan produksi lokal melalui insentif yang mendukung petani kecil.

Sementara itu, food estate sebagai kebijakan strategis untuk meningkatkan kemandirian pangan juga perlu dievaluasi. Meski memiliki potensi besar, program ini harus memastikan keberlanjutan jangka panjang dan keberpihakan pada masyarakat lokal. Tanpa pendekatan holistik, food estate justru dapat menjadi sumber konflik baru.

Ketahanan pangan di Indonesia dipengaruhi oleh berbagai faktor hukum dan politik, mulai dari implementasi undang-undang hingga dinamika politik dan tingkat korupsi. Keterjangkauan, aksesibilitas, dan stabilitas pangan membutuhkan komitmen yang kuat dari pemerintah untuk menciptakan sistem yang transparan, berkeadilan, dan berkelanjutan. Reformasi kebijakan impor dan food estate, penguatan pengawasan, serta peningkatan sinergi antar lembaga adalah langkah penting untuk mewujudkan ketahanan pangan yang kokoh di tengah tantangan global dan domestik.

Penulis: Mufidah Dwi Casnur (6662220208), Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Kabarbaru Network

https://beritabaru.co/

About Our Kabarbaru.co

Kabarbaru.co menyajikan berita aktual dan inspiratif dari sudut pandang berbaik sangka serta terverifikasi dari sumber yang tepat.

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store