Rakerda NWDI, Semoga Nggak Gini-Gini Aja….

Editor: Ahmad Arsyad
Opini—“Kami berharap Rakerda II sebagai forum strategis bagi setiap elemen organisasi untuk menyampaikan aspirasi dan rekomendasi untuk kemajuan organisasi dalam ikut serta membangun daerah dan masyarakat.”
Membaca pernyataan Kakanda Tuan Guru Khairul Faridi LC, MA dalam menyambut Rakerda NWDI pada 26-27 April 2025 tersebut, tetiba optimisme saya menggelora, pikiran saya sontak penuh harap bahwa NWDI ke depan akan lebih maju dan menjadi episentrum organisasi keagamaan dan kemasyarakatan yang lebih tangguh di masa yang akan datang.
Tapi, kalau kata kawan ngopi saya di Ciputat, “Seoptimis-optismnya kita pada sesuatu, sisakan ruang skeptis, agar kamu tak mudah kecewa.”
Izinkan saya memulai skeptisisme saya dengan mengajukan satu pertanyaan: “Dalam membangun NWDI ke depan, mana yang lebih penting, selalu bertumpu pada otoritas, atau kita fokus membangun sistem keorganisasian yang meritokrasi?”
Orang-orang yang berpikir jangka panjang tentang NWDI mungkin akan menjawab bahwa membangun sistem adalah hal yang utama.
Sayangnya, jika dilihat dari fakta lapangan, banyak kalangan justru lebih memilih membangun otoritas sebagai metode pergerakan di NWDI. Banyak kalangan menganggap sistem seolah menjadi hal yang terlalu ideal, muluk-muluk, dan sulit diwujudkan, sementara ketokohan dan otoritas adalah gerakan moral yang lebih terasa dekat, mudah dijangkau, dan lebih praktis, bahkan bonusnya adalah keberkahan.
Kalau kita mau flashback ke belakang, kontestasi politik beberapa waktu lalu membuktikan bahwa NWDI lebih sering mengedepankan ketokohan sebagai alat pergerakan, ketimbang membangun sebuah sistem yang kokoh dan terstruktur, sehingga tak salah jika ada orang yang mengatakan bahwa jamaah NWDI hanya kerumunan yang hanya bisa bicara “siap laksanakan, siap salah.” Tentu, itu bukan kata saya.
Pada saat kampanye misalnya, kita dapat melihat bahwa pemilih yang memperjuangkan calon dari NWDI pun terbagi dalam dua faksi besar. Kelompok pertama adalah golongan profesionalis, dan yang kedua oleh orang-orang NWDI.
Golongan profesionalis digerakkan oleh “sistem hitam di atas putih,” atau sering disebut-sebut sebagai sebuah kontrak yang tak dapat dibantah. Di sisi lain, pemilih dari kalangan NWDI hanya mendapatkan keberkahan tanpa imbalan apapun.
Meskipun mereka dianggap sebagai konstituen, namun mereka terjebak pada konsep “jamaah,” di mana kelompok ini diikat dengan otoritas yang bermuara pada doktrin “sami’na wa ato’na.”
Inilah yang menumbuhkan gejolak di tengah basis-basis massa NWDI. Beberapa kelompok dengan lantang memilih untuk tidak lagi berada dalam barisan calon yang diusung NWDI, sementara yang lainnya memilih untuk tetap bersembunyi di balik layar dan memilih tidak memilih secara sembunyi-sembunyi.
Dampaknya tidak hanya pada kekalahan NWDI di kancah politik, tetapi juga berdampak pada kondisi sosial simpatisan dan jamaah NWDI. Jamaah dan simpatisan NWDI menjadi apatis dan bahkan menjauh dari NWDI.
Namun, komentar ini tidak terlalu relevan. Toh, NWDI bukanlah sebuah partai politik yang bergerak di ranah politik praktis. Kalau begitu, untuk apa memusingkan hal-hal seperti ini?
Tapi, meskipun tidak relevan, setidaknya komentar ini menunjukkan bahwa NWDI perlu melakukan introspeksi dan evaluasi terhadap pendekatan yang selama ini diterapkan. Apakah masih relevan mengandalkan ketokohan semata sebagai daya tarik utama bagi jamaah? Ataukah sudah saatnya untuk membangun sistem yang lebih kokoh dan berkelanjutan, yang mampu menarik perhatian dan kepercayaan masyarakat secara lebih luas?
Saatnya Menuju Organisasi Berpradaban
Sebelum lebih lanjut, penulis merasa perlu membuat klaim bahwa tulisan ini bukan sebagai kritik yang didasarkan atas kebencian, tetapi sebagai bentuk kepedulian dan sumbangsih pemikiran kepada NWDI. Pada bagian kedua ini, penulis ingin memulai dengan mengutip Mukaddimah karya Ibnu Khaldun.
Ibnu Khaldun dalam Mukaddimahnya menyebutkan dua tipe masyarakat yang menarik untuk diperhatikan: pertama, ada yang disebut bawwadah dan kedua, hadharah. Bawwadah adalah tipe masyarakat yang memprioritaskan sumber daya alam, mobilitas yang tinggi, solidaritas sosial, dan ketokohan.
Dalam masyarakat bawwadah, sistem sosial tidak pernah benar-benar terbentuk dengan kokoh. Maka tak jarang kita melihat seorang tukang sapu yang bisa sekaligus menjadi pemimpin, bahkan polisi. Asanya adalah siapa yang punya nasab, ya dia yang punya basib.
Bagi masyarakat bawwadah, ketokohan seorang pemimpin menjadi hal yang sangat penting bahkan absolut, karena dialah yang menggerakkan segala sesuatu meskipun terkadang cara menggerakkannya tidak jelas nada dan iramanya.
Di sisi lain, hadharah adalah masyarakat peradaban yang tidak lagi hanya mengandalkan ketokohan seorang pemimpin. Meskipun mereka masih punya pemimpin, sistem sosial yang kuat akan dengan sendirinya menggerakkan masyarakat. Pemimpin tidak lagi menjadi segalanya, sehingga tidak mengherankan pada masyarakat hadharah, tukang bersih-bersih jalan ada tukang sapu, yang mengamankan ada polisi, yang berperang ada tentara, dll.
Pemimpin di dalam masyarakat hadharah bukan lagi sebagai simbol ketokohan, melainkan lebih sebagai pengarah dan pengambil kebijakan. Pemimpin di sini tidak perlu mengeluarkan aura besar seperti seorang pahlawan super, cukup dengan kebijakan yang jelas, maka masyarakat akan bergerak dengan sendirinya, seperti mesin yang sudah terpasang dengan baik.
Tentu saja, bentuk masyarakat hadharah ini tidak terlepas dari kekurangan, seperti hilangnya solidaritas sosial (ashobiyah) yang pernah menyatukan mereka. Dan seiring berjalannya waktu, kita tahu bahwa sebuah peradaban akan menghilang jika ashobiyah yang menjadi perekatnya hilang begitu saja seperti es krim di bawah terik matahari.
Nah, sekarang mari kita bicarakan soal NWDI. Dengan usia yang sudah mencapai 72 tahun, NWDI telah mengalami sekian banyak dinamika. Pengalaman panjangnya dalam bidang pendidikan, sosial, dakwah, bahkan politik sejak zaman Maulana Syaikh jelas menunjukkan adanya pergeseran sistem sosial di kalangan jamaah NWDI.
Dulu, pendidikan di sekolah-sekolah dan madrasah NWDI sangat menekankan ketokohan seorang Tuan Guru. Tuan Guru adalah sosok yang mengarahkan, mengatur, bahkan memberikan pencerahan, karena kehadirannya dianggap sebagai pusat gravitasi bagi pondok pesantren yang dipimpinnya.
Namun, seiring waktu, masyarakat dan jamaah NWDI mulai tertarik pada sekolah-sekolah dan madrasah yang memiliki sistem baik. Kemunculan SDU, SMPU, boarding school di kalangan NWDI mengonfirmasi penurunan minat masyarakat pada metode sebelumnya. Bukan berarti kehadiran seorang Tuan Guru tidak lagi penting, tidak. Ia tetap dibutuhkan, tetapi lebih sebagai pengarah yang bijak, bukan lagi sebagai sosok yang memimpin dengan ketokohan semata.
Kalau dulu kita melihat seorang Tuan Guru seolah menjadi segalanya, sekarang kondisi sosial masyarakat mulai menunjukkan bahwa sebuah sistem yang kuat akan menggerakkan segala sesuatu dengan lebih terorganisir dan terstruktur, seperti sebuah orkestra yang dipimpin oleh seorang konduktor, bukan oleh seorang solois.
Memang, menerapkan konsep hadharah dapat menghilangkan solidaritas sosial di kalangan jamaah dan simpatisan NWDI, semuanya sama, semuanya setara. Namun, paling tidak kebodohan tidak selalu dilestarikan.
Toh, bukankah hadharah adalah fitrah alamiah yang dimiliki oleh manusia yang tak bisa dibantah, di mana setiap jamaah berhak berunding dan mempunyai suara yang sama untuk membesarkan NWDI yang meritokrasi. Kata kuncinya adalah sistem yang baik yang lahir dari aspirasi semua jamaah, bukan dari suara tunggal.
Artinya, hari ini kecenderungan masyarakat dan jamaah NWDI sudah bergeser, mengikuti sunnatullah, menuju tipe hadharah. Dengan memahami evolusi masyarakat dan jamaah NWDI yang kini lebih menginginkan adanya sistem yang kuat, NWDI pun dengan mudah dapat mengambil kebijakan dan merancang program kerja yang lebih berbasis sistem.
Bayangkan, jika ketokohan yang membawa inspirasi dan sistem yang solid dapat saling melengkapi. Maka, itulah kekuatan yang sesungguhnya. Dengan menggabungkan keduanya, NWDI tidak hanya akan bergerak lebih terorganisir, tetapi juga lebih terarah dan tentunya lebih berbobot.
Meritokrasi Sebagai Jalan Keluar
Bagi saya, meritokrasi menjadi pilihan terbaik bagi NWDI. Meritokrasi berarti memberikan penghargaan dan kesempatan bagi kader, jamaah, dan simpatisan NWDI yang memiliki kemampuan yang cukup. Memang, secara istilah, meritokrasi terdengar berat karena berarti memberikan kepercayaan kepada siapa saja yang memiliki kapasitas dan kualitas yang mumpuni.
Namun, realitas lapangan menggiring meritokrasi kepada unsur-unsur subjektivitas. Robert Greene menjelaskan bahwa meritokrasi pada dasarnya menitikberatkan makna secara kebahasaan, yakni “berjasa, baik.”
Ketika konsep meritokrasi dibawa ke dalam kehidupan, maka kebaikan dan jasa tidak terlepas dari subjektivitas siapa yang memberikan penilaian. Artinya, kebaikan dan orang berjasa bukanlah orang yang paling cerdas, tetapi yang paling berjasa dan paling dekat dan paling banyak memberikan kebaikan kepada NWDI.
NU dan Muhammadiyah dapat menjadi role model bagi NWDI dalam membangun sistem meritokrasi yang baik. Sebagai kakak kandung, pengalaman panjang NU dan Muhammadiyah dalam memberikan penghargaan kepada kader-kader terbaik sehingga memiliki sekolah-sekolah, pondok pesantren, universitas, dan rumah sakit berkualitas patut diikuti oleh NWDI.
Memang, tidak mudah mengikuti NU dan Muhammadiyah, selain karena mereka memiliki akses yang lebih cepat karena berada di pusat kota, mereka juga diunggulkan dengan sumber daya yang tidak dimiliki oleh NWDI. Namun, ketika berbicara meritokrasi, setidaknya NWDI memiliki kesempatan yang sama.
Melalui rakerda ini, NWDI harus bertransformasi dari organisasi otoritas menjadi organisasi yang dibangun dengan sistem, dari organisasi privat menuju good public, dari organisasi kuantitas kepada kualitas, dan dari organisasi yang mengimingi keberkahan kepada organisasi yang memberi bantuan.
Sudah saatnya NWDI bisa memberikan beasiswa dan bantuan sekolah kepada kader-kader terbaiknya. Sudah saatnya NWDI memberikan kepercayaan kepada kader-kader untuk mengisi ruang-ruang dan panggung-panggung yang ada, sudah saatnya NWDI turun menyalurkan bantuan sosial berupa air putih ketika musim kemarau tiba kepada jamaah dan simpatisan NWDI.
Bukankah, Rakernas II yang digelar di Mataram bertujuan memperkuat kiprah organisasi dalam membangun bangsa melalui penguatan organisasi di bidang pendidikan, pemberdayaan ekonomi umat, dan penguatan nilai-nilai Islam moderat dapat dirasakan oleh jamaah dan masyarakat umum.
Semoga, langkah-langkah kongkret ini sebagai gayung bersambut dari pesan Rakernas Mataram sebelumnya. Wallahu A’lam
Penulis Adalah Abdul Wahid Wathoni, Kader NWDI Jakarta.