Berita

 Network

 Partner

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store

Tentang Rasa

Penulis: Faidi AR. (Foto: podstail.com).

Editor:

KABARBARU, CERPEN– Aku tak tahu mengucapkan kata selamat apa kepada kalian. Selamat pagi, siang, sore, atau kah malam? Tapi aku akan mengucapkan kata selamat yang sesuai dengan waktu yang ada di tempatku saja. Selamat sore. Di tempatku sekarang sore.

Jasa Penerbitan Buku

Dan aku tahu, saat membaca cerita ini, di tempat kalian mungkin saja sedang malam, pagi, atau bahkan sore hari. Di tempatku saat memulai cerita ini sebenarnya sedang senja, tepat pukul 17.00. Matahari tengah beranjak tenggelam di kaki cakrawala. Sayangnya, tak nampak keindahannya karena terhalang oleh gumpalan awan yang menutupinya. Hanya menyisakan semburat kemerahan yang terpadu dengan coklatnya langit desa kecilku ini. Persawahan yang terbentang dengan padi-padi yang mulai kekuning-kuningan melengkapi keindahan warna senja yang mulai beranjak tenggelam di kaki cakrawala.

Burung-burung berterbangan di atas sana. Ombak dan sekaligus desirnya angin begitu indah didengar, melengkapi keindahan senja. Senja yang yang indah, bukan? Aku suka matahari saat mulai tenggelam , terutama Nayla. Nayla sangat suka dengan senja. Hampir tiap sore ia mengunjungi pantai hanya untuk sekedar melihatnya. Aku suka senja saat pertamakali Nayla mengajakku menemaninya di bibir pantai. Apa lagi di saat sepasang mata Nayla mulai mengarah kepada senja. Aku suka senja karena sepasang matanya. Dan Nayla tak pernah tahu saat itu, kalau aku suka sepasang mata Nayla. Dan sekarang, aku tak lagi menemani Nayla melihat senja itu lagi di pantai.

Pada saat itu juga, terlihat jelas sekali saat keindahan sepasang matanya dari samping, saat Nayla memintaku untuk melukis dirinya. Beberapa lembar rambutnya tertiup angin menutupi separuh wajahnya, dan semakin indah pula saat senyumannya mulai merekah. Lengkap sudah keindahan sore sekarang.

Aku kenal Nayla karena temanku, Anton. Anton adalah pekerja kantoran yang luwes, pintar, cerdas, dan jujur. Berbeda denganku, aku hanyalah pelukis jalanan. Aku sudah dua tahun berjalan mengenal Nayla, dan dua tahun pula menemani Nayla hanya untuk menyaksikan matahari tenggelam itu. Sedangkan Anton, ia hanya sibuk dengan kantornya. Hanya di hari-hari libur Anton ikut menyaksikannya.

“Kau tahu, Nay, kalau aku memiliki banyak rasa terhadapmu? Rasa suka, kagum, dan bahkan cinta. Entah, aku tak pernah memahami perasaan ini, Nay.”

Lirihku dalam hati sembari tersenyum tipis melihatnya. Tapi Nayla tak pernah tahu tentang rasa ini.

###

Tanggal merah pun tiba. Aku mengajak Anton menemani Nayla untuk menyaksikan matahari tenggelam di kaki cakrawala. Anton berantusias sekali di tanggal itu.

Langit yang cerah. Bertepatan pada jam 17.15 matahari siap menghantamkan ke kaki cakrawala. Desir ombak menyambut kehadiran senja. Menari-nari. Burung-burung beterbangan kembali ke sarangnya. Lengkap sudah keindahan senja sore hari ini. Tak ada gumpalan awan yang menghalangi keindahan senja. Semburat cahaya senja mengarungi ke seluruh penjuru.

“Nay, aku mencintaimu.”

Entah, pembicaraan itu tak pernah terjadi antara aku dan Nayla. Hanya sebatas angan-angan saja. Kalimat itu tak pernah sampai ke telinga Nayla. Angin terlalu lebat untuk membiarkannya sampai, mungkin. Atau karena aku saja yang tak pernah berani menyampaikan?

“Kau tahu, Nay? Saat kau jauh dariku, sejauh mata memandang, aku tak pernah mengalihkan pandanganku selama kau masih terlihat. Mataku terus mengikuti gerak-gerikmu, tapi kau tak pernah tahu tentang itu. Kau seakan-akan merayuku dari sorot mata indah mu, walau kau dalam keadaan tidak merayuku.”

Aku tersenyum getir saat itu. Di saat Nayla memintaku agar aku melukiskannya dari kejauhan dengan matahari yang siap menghujamkan tubuhnya di dasar laut. Di saat itu pula lah Anton datang kepada Nayla dan menyibakkan keindahan senja itu dan menyatakan perasaannya kepada Nayla.

“Nay.” panggil Anton kepada Nayla. Nayla pun menoleh sedikit bingung.

“Mungkin kau akan beranggapan kalau ini terlalu apalah. Mungkin kau akan merasa tak nyaman saat ini. Mungkin kau menggangguku terlalu berlebihan, egois, atau semacamnya. Aku tahu kalau aku tak begitu sering menemanimu di sini hanya untuk menyaksikan matahari yang hendak beranjak tenggelam di kaki cakrawala. Aku hanya sibuk dengan dunia kantorku. Tapi, aku tak tahan ingin mengungkapkan rasa yang selama ini sering bertanya-tanya.” Anton tersenyum tipis.”

Sayangnya percakapan ini nyata.

“Ya Tuhan, ada apa ini? Kenapa terjadi seperti ini? Aku menelan ludah. Tiba-tiba tenggorokanku kering. Tersendat.”

Aku melihatnya mereka berdua di sana. Aku menyaksikan mereka. Aku terhenti melukisnya. Aku sebagai penonton di sore itu pula. Senja yang asalnya indah menjadi suram di saat itu. Tepat berada di antara mereka berdua. Berada di tengah-tengah sepasang wajah mereka.

Ya Tuhan, Nayla. Nayla lupa kalau di sampingnya ada senja. Senja yang ia kagumi. Senja yang ia selalu ajak bicara.

Ya Tuhan, sepasang mata Nayla tak lagi menatap senja dengan sempurna. Sekarang Nayla tak lagi sebagai biasanya, yang tak mau berpaling dari senja itu, sampai senja itu tenggelam. Tapi sekarang, sepasang mata Nayla sempurna menatap wajah Anthon.

“Aku mencintaimu, Nay,” Anthon berkata lirih. Tersenyum.

Aku mengalihkan pandangan. Menyumbat kedua telingaku agar tak mendengar percakapan mereka. ”Tidak…tidak…tidak!” kataku dalam hati.

Nayla ikut tersenyum mendengar percakapan itu. Lihat, Nayla ternyata juga mencintai Anthon. Tepat senja itu berada di antara sepasang wajah mereka. Senja sore hari ini telah sempurna tenggelam. Aku menghilang begitu saja, tanpa sepengetahuan mereka.

“kau tahu, Nay, kalau aku memiliki banyak rasa terhadapmu? Rasa suka, kagum, dan bahkan cinta. Entah, aku tak pernah memahami perasaan ini, Nay.”

Nayla tersenyum mendengarnya.

“Kau tahu, Nay? Saat kau jauh dariku, sejauh mata memandang, aku tak pernah mengalihkan pandanganku selama kau masih terlihat. Mataku terus mengikuti gerak-gerikmu, tapi kau tak pernah tahu tentang itu. Kau seakan-akan merayuku dari sorot mata indah mu, walau kau dalam keadaan tidak merayuku.”

“Aku mencintaimu, Nay.”

“aku juga mencintaimu, Arul.” Jawabnya lirih. Lirih sekali.

Ah, percakapan itu tak pernah terjadi selama aku menemani Nayla sampai sekarang. Aku sempurna menghilang dari mereka dengan tenggelamnya hati pada saat itu, bersamaan dengan tenggelamnya senja di sana. Sampai sekarang.

 

  • Penulis adalah Faidi AR, lahir di Sumenep, Madura. Ia sedang melanjutkan studinya di perguruan tinggi UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
  • Tulisan cerpen ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kabarbaru.co

Kabarbaru Network

https://beritabaru.co/

About Our Kabarbaru.co

Kabarbaru.co menyajikan berita aktual dan inspiratif dari sudut pandang berbaik sangka serta terverifikasi dari sumber yang tepat.

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store