Ketika Pantai Menjerit: Menyelisik Sengketa Tanah Dan Kebijakan Di Pantai Lombang Sumenep

Editor: Bahiyyah Azzahra
Kabar Baru, Kolom – Pantai Lombang, memiliki keindahan alam yang memukau dan potensi pariwisata yang besar, sering menarik perhatian tidak hanya karena daya tariknya, tetapi juga karena masalah kepemilikan tanah yang kompleks. Di balik pemandangan pohon cemara udang yang rimbun dan pasir putih yang halus, terdapat masalah sengketa tanah yang melibatkan berbagai pihak: masyarakat adat, pengembang, pemerintah daerah, bahkan investor. Kebijakan publik yang diterapkan (atau ketiadaan kebijakan yang spesifik) dalam menangani sengketa ini menjadi faktor penting dalam menjaga stabilitas sosial, mendorong pembangunan yang berkelanjutan, dan menjamin keadilan bagi semua pihak. Selama bertahun-tahun, konflik agraria di Pantai Lombang telah muncul ke permukaan dalam berbagai bentuk, meliputi klaim kepemilikan yang tumpang tindih, dugaan penyerobotan lahan, hingga ketidakjelasan batas-batas tanah. Masyarakat setempat, yang telah lama tinggal dan mengelola wilayah pesisir ini, sering merasa tersisih oleh kepentingan-kepentingan besar yang muncul. Di sisi lain, pengembang dan investor melihat potensi ekonomi yang signifikan, sementara pemerintah daerah berusaha menyeimbangkan antara pengembangan pariwisata, perlindungan lingkungan, dan hak-hak masyarakat.
Kebijakan yang ada tersedia jika dapat disebut demikian seringkali hanya bersifat menanggapi masalah yang sudah terjadi, bukan mencegahnya sejak awal. Proses mediasi dan penyelesaian sengketa kerap berlangsung lambat, kurang terbuka, dan minim partisipasi aktif dari semua pihak. Situasi ini diperparah oleh kurangnya informasi tentang aturan pertanahan yang berlaku, sehingga masyarakat sering tidak mengerti hak-hak mereka atau langkah hukum yang seharusnya diambil. Tidak adanya peta tanah yang jelas dan diakui secara hukum juga merupakan salah satu penyebab utama yang memperparah sengketa.
Hasil Analisis
Analisis mendalam terhadap sengketa lahan di Pantai Lombang mengungkapkan beberapa masalah penting yang mendasari konflik tersebut:
- Status Tanah yang Tidak Jelas: Banyak area di Pantai Lombang memiliki status kepemilikan yang ambigu. Ini disebabkan oleh berbagai faktor, seperti ketiadaan sertifikat, sertifikat yang tumpang tindih, atau klaim kepemilikan berdasarkan adat yang belum diakui secara resmi oleh negara. Kondisi ini menciptakan celah hukum yang rentan dieksploitasi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
- Kesenjangan Informasi dan Akses Hukum: Masyarakat setempat sering menghadapi kendala dalam memperoleh informasi akurat tentang hak-hak pertanahan mereka. Mereka juga kesulitan mengakses bantuan hukum yang memadai. Situasi ini menyebabkan posisi mereka menjadi lemah ketika harus berhadapan dengan pihak-pihak yang memiliki kekuatan finansial dan hukum yang lebih besar.
- Kurangnya Pendekatan Partisipatif: Kebijakan yang diterapkan cenderung bersifat “dari atas ke bawah” (top-down) dan minim melibatkan partisipasi aktif masyarakat dalam proses perumusan maupun pelaksanaannya. Akibatnya, kebijakan tersebut seringkali tidak efektif dan justru memperburuk konflik. Kebutuhan serta aspirasi masyarakat adat dan lokal seringkali terabaikan dalam proses ini.
- Lemahnya Penegakan Hukum dan Pengawasan: Meskipun sudah ada peraturan perundang-undangan terkait pertanahan, implementasi hukum terhadap pelanggaran dan praktik penyerobotan lahan masih kurang tegas. Selain itu, pengawasan terhadap proyek-proyek pembangunan yang berpotensi memicu sengketa juga belum optimal.
- Peran Vital Pemerintah Daerah: Pemerintah Kabupaten Sumenep memegang peran sentral dalam upaya penyelesaian sengketa ini. Namun, seringkali kebijakan yang diambil kurang menyeluruh, tidak terintegrasi, dan belum secara fundamental berorientasi pada penyelesaian akar masalah.
Rekomendasi Kebijakan
Pemerintah Kabupaten Sumenep disarankan untuk mengambil langkah-langkah berikut guna menyelesaikan sengketa tanah dan mencegah konflik di Pantai Lombang:
- Legalisasi dan Pemetaan Tanah Komprehensif: Lakukan survei dan pemetaan ulang lahan secara menyeluruh, prioritaskan legalisasi tanah melalui program PTSL, dan akui hak-hak tanah adat ke dalam sistem formal.
- Mekanisme Penyelesaian Sengketa yang Adil: Bentuk tim mediasi konflik agraria independen, sediakan bantuan hukum gratis, dan kembangkan opsi penyelesaian sengketa alternatif yang mudah diakses.
- Peningkatan Partisipasi dan Keterbukaan Informasi: Libatkan masyarakat lokal aktif dalam perumusan kebijakan pengelolaan Pantai Lombang, sosialisasi hak-hak pertanahan, dan buka akses informasi terkait data kepemilikan dan rencana pembangunan.
- Penguatan Tata Kelola Pertanahan dan Penegakan Hukum: Tingkatkan kapasitas aparat, terapkan sanksi tegas terhadap pelanggaran, dan bangun sistem informasi pertanahan terintegrasi untuk mencegah praktik ilegal.
- Pengembangan Kawasan Pesisir Berkelanjutan dan Berkeadilan: Susun rencana induk yang seimbang (ekologi, sosial, ekonomi) dengan fokus pariwisata berbasis komunitas, memastikan manfaat investasi dirasakan langsung oleh masyarakat lokal.
Penutup
Penyelesaian konflik lahan di Pantai Lombang bukan hanya tentang aspek hukum, melainkan juga menyangkut keadilan sosial, kelestarian lingkungan, dan pertumbuhan ekonomi. Kebijakan publik yang menyeluruh, melibatkan partisipasi berbagai pihak, dan berfokus pada hak-hak masyarakat menjadi dasar penting untuk membangun harmoni di destinasi wisata utama Sumenep ini. Dengan menerapkan rekomendasi kebijakan yang sesuai, diharapkan Pantai Lombang bisa menjadi teladan bagaimana pengelolaan sumber daya alam dapat selaras dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat dan kepastian hukum bagi semua pihak, sehingga mewujudkan Sumenep yang lebih adil dan sejahtera.
*) Penulis adalah Nurul Qomariyah (Universitas Wiraraja)