Mensosialisasikan UU TPKS sebagai Upaya Preventif Kekerasan Seksual di Pesantren
Editor: Ahmad Arsyad
Kabar Baru, Opini- Sudah seharusnya institusi Pendidikan khususnya khususnya institusi Pendidikan pesantren menjadi sentral keilmuan berbasis keagamaan yang aman bagi santri yang menuntut ilmu. Sebagai institusi Pendidikan, pesantren mempunyai regulasi yang sudah ada sejak berdirinya pesantren. Baik regulasi yang sifatnya tertulis maupun non tulisan. Generasi-generasi pesantren dijamin hak keamanan dan kenyamanan dengan regulasi-regulasi yang tentunya berbeda di setiap pesantren. Hal ini demi menciptakan kondusifitas mengingat institusi pesantren adalah Lembaga keilmuan yang masyhur dan bersanad.
Namun dalam beberapa waktu terakhir banyak sekali kasus-kasus yang muncul semenjak disahkannya UU TPKS pada 12/04/2022. Hal ini pun menjadi kado istimewa bagi korban kekerasan seksual, setelah sebelumnya belum mempunyai payung hukum yang jelas. Dalam beberapa kasus yang terjadi institusi Pendidikan adalah salah satu tempat yang sering menjadi tempat kekerasan seksual. Tak terkecuali institusi pesantren. Pesantren menjadi salah satu tempat yang paling banyak laporan kasus kekerasan seksual kedua setelah perguruan tinggi. Kasus inipun membuat masyarakat geger dan jijik. Tak hanya itu hal ini juga menimbulkan kecemasan yang mendalam kepada wali santri.
Pesantren adalah Rumah yang Ramah bagi Santri
Laporan tersebut menunjukan bahwa kenaikan kasus yang terjadi di pesantren naik level menjadi level darurat dan sangat serius. Jika hal ini dibiarkan dan tidak ditangani oleh pihak berwenang, hal ini seakan menjadi ladang yang subur bagi pelaku kekerasan seksual. Seperti yang terjadi di beberapa pesantren, yang terbaru terjadi di salah satu pesantren di jombang. Dimana melibatkan salah satu pengelola yang juga putra dari pimpinan tertinggi pesantren tersebut. Dalam hal ini kekerasan seksual dibungkus dengan pengajaran tasawuf. Benar-benar miris!
Mengutip data dari owntalk.co.id yang dirilis pada januari 2022 menampilkan hasil kumulatif dari laporan kekerasan seksual dari berbagai jenjang Pendidikan. Pesantren menjadi urutan nomor dua dengan persentase 19% , setelah institusi perguruan tinggi dengan persentase 19%. Tentu ini menjadi problematika klasik seperti layaknya api yang dibiarkan akan menjadi besar. Dari banyaknya laporan kasus kekerasan seksual di institusi Pendidikan pesantren tersebut sehingga membangun anggapan bahwa pesantren tidak aman bagi perempuan.
Namun problematika tersebut bisa menjadi bahan koreksi dan juga bahan refleksi pengelola pesantren agar lebih berhati-hati dalam mengelola institusi Pendidikan tertua itu. Nyatanya pesantren dinilai aman dari berbagai hal yang tidak sesuai norma. Hal yang perlu di garis bawahi bahwa secara kelembagaan berbagai pesantren mengadopsi gaya arab yang membedakan antara laki-laki dan perempuan secara pada setiap kegiatan. Artinya dari berbagai kegiatan mulai dari sekolah, asrama dan kegiatan lain dipisah antara laki-laki dan perempuan. Tidak hanya itu tetapi juga dari SDM tenaga pendidik juga dipisahkan. Ini adalah upaya preventif agar tidak terjadi hal hal yang tidak diinginkan.
Hal ini dilakukan agar membiasakan perempuan di ruang ruang publik dan peran mereka adalah sebagai penggerak di berbagai lembaga sosial serta menghilangkan stigma terhadap perempuan. Mengenalkan peran identitas perempuan kepada mereka. Jika dilihat dari berbagai kasus di kalangan pesantren, penyebabnya adalah ketidakberanian korban untuk melaporkan kepada pihak yang berwenang, disamping itu ada perilaku mengistimewakan dan mengkultuskan seorang guru atau pengelola yang berbuat salah. Maka dari itu perlu menegakan amar ma’ruf nahi munkar di kalangan santri.
Untuk itu pondok pesantren berperan lebih dalam mencegah tindak kekerasan. Misalnya peraturan yang mendidik sejak dini agar terhindar dari kekerasan seksual diantaranya adalah menutup aurat secara ketat, membatasi pergaulan serta interaksinya yang dinilai tidak baik oleh dunia luar pesantren atau melanggar norma masyarakat. Bukan berarti pesantren tidak membuka ruang terhadap perkembangan luar pesantren. Masifnya informasi terkait kekerasan seksual pengelola tidak bisa jika hanya diam. Adanya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) adalah kabar baik bagi perempuan Indonesia, tak terkecuali santriwati Indonesia.
Relasi Santri dan UU TPKS
Dalam literasi yang dikaji di pesantren sebenarnya cukup untuk memantik kesadaran santri terkait kekerasan seksual. Dalam keseharian santri membahas kitab kitab kuning literatur yang dikarang ulama jaman dulu yang masih relevan digunakan hingga sekarang. Misalnya kajian tentang aurat laki-laki dan perempuan dalam kitab Fathul Qorib atau bahkan Syekh Nawawi Al Bantani mengarang kitab Uqud Al-Lujain yang membahas tentang hak-hak suami dan istri.
Lebih dari itu ada UU TPKS menjadi payung hukum yang dinilai ampuh mengayomi berbagai elemen masyarakat. Karena dalam prosesnya dilakukan secara berhati-hati sehingga pasal-pasal yang rancu terminimalisir. UU TPKS sangat sia-sia juga tidak digunakan khususnya kalangan santri yang minim informasi dari luar.
Pesantren adalah lembaga yang resmi dan diakui oleh negara, lembaga ini telah memperoleh legitimasi oleh pemerintah dengan disahkannya Undang Undang Pesantren. Oleh karena itu pesantren adalah lembaga yang tidak diragukan lagi keamananya karena telah terintegrasi oleh negara. Maka dari itu para santri harus mengetahui hak-hak mereka dalam menempuh Pendidikan di pesantren khususnya terkait kekerasan seksual. Peran pengelola menjadi penting untuk memberi pemahaman kepada santri terhadap kekerasan seksual, sekaligus membuktikan bahwa pesantren adalah tempat yang haram bagi pelaku kekerasan seksual.
Sosialisasi dan pengarahan tidak hanya dilakukan secara pasif oleh pemerintah. Lembaga lembaga yang terintegrasi dan yang mempunyai resiko tinggi terhadap kekerasan seksual seperti lembaga Pendidikan harus memberikan pemahaman terhadap semua pihak yang berkepentingan. Sehingga UU TPKS di dalam pesantren menjadi wajah yang segar bagi masyarakat bahwa pondok pesantren adalah rumah yang ramah bagi santrinya dan tidak melegalisasi kekerasan seksual.
*) Penulis adalah Dzika Fajar Alfian Ramadhani, Mahasiswa UPN “Veteran” Yogyakarta.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kabarbaru.co