Polemik Makan Bergizi Gratis Salah Sasaran

Editor: Bahiyyah Azzahra
Penulis : Muhammad Rafli Muttaqim (Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Jurusan Ilmu Pemerintahan)
Kabar Baru, Opini – Pasca-pemilu 2024, program unggulan Presiden-Wakil Presiden Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka mulai diimplementasikan di berbagai daerah Indonesia, termasuk Kota Serang, Banten. Program Makan Bergizi Gratis (MBG) diposisikan sebagai solusi utama dalam upaya mengejar visi Indonesia Emas 2045 dan diklaim sebagai bagian integral dari delapan misi Asta Cita. Digembar-gemborkan sebagai jawaban untuk masalah gizi buruk, stunting, dan peningkatan kualitas sumber daya manusia, program ini menimbulkan pertanyaan kritis: “Apakah ini benar-benar apa yang dibutuhkan masyarakat dan apakah implementasinya tepat sasaran?”
MBG mungkin terlihat seperti kebijakan yang berdampak langsung pada kesejahteraan rakyat, namun pada hakikatnya, program ini bersifat jangka pendek dan berpotensi menciptakan ketergantungan tanpa menyelesaikan akar permasalahan. Rakyat Indonesia tidak sekadar membutuhkan makanan gratis—mereka membutuhkan sistem pangan yang berkelanjutan. Pengalokasian anggaran besar untuk program pangan massal justru mengalihkan sumber daya yang seharusnya digunakan untuk membangun infrastruktur pertanian, pelatihan keterampilan, atau penciptaan lapangan kerja. Persoalannya bukan sekadar memberi ikan, tetapi mengajarkan cara memancing.
MBG bukanlah inovasi baru dalam lanskap kebijakan pangan dan pendidikan Indonesia. Program ini merupakan reinkarnasi dari Program Makanan Tambahan Siswa (PMTS) era 1990-an hingga awal 2000-an yang dijalankan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. PMTS berfokus pada siswa di daerah tertinggal dan diimplementasikan secara teknis dan pragmatis, berhasil memberikan dampak nyata pada gizi anak tanpa gembar-gembor politik berlebihan. Perbedaan mencolok adalah MBG lahir dalam konteks yang sarat dengan wacana dan kepentingan politik.
Besaran anggaran fantastis menjadi sorotan utama. Di tengah situasi fiskal ketat, alokasi dana triliunan rupiah untuk program ini memunculkan pertanyaan serius tentang prioritas dan kebijaksanaan penggunaan anggaran negara. Ketepatan sasaran program menjadi persoalan krusial—apakah bantuan benar-benar sampai ke mereka yang paling membutuhkan, atau justru bocor di tengah jalan?. Perdebatan yang seharusnya teknis dan berbasis data bergeser menjadi pertarungan wacana sarat kepentingan. Ekonom mempertanyakan efisiensi program dan dampaknya terhadap inflasi, aktivis sosial mempersoalkan mekanisme distribusi dan potensi korupsi, sementara pakar gizi dan kesehatan menyoroti konten nutrisi yang ditawarkan. Hiruk-pikuk opini ini mengaburkan esensi program yang seharusnya berfokus pada perbaikan gizi dan kesehatan.
Menjelang implementasi, pemerintah akhirnya melakukan efisiensi anggaran, menyesuaikan dengan realitas keterbatasan fiskal. Ini menunjukkan bahwa di balik ambisi besarnya, perencanaan awal program tidak memperhitungkan dengan cermat kapasitas fiskal negara dalam jangka panjang. Program yang awalnya dicanangkan sangat ambisius harus mengalami penyesuaian signifikan—pola yang sering terlihat dalam berbagai kebijakan pemerintah dan mengindikasikan pendekatan yang lebih mementingkan citra politik dibanding kajian mendalam.
Batasan dana Rp 10.000 per porsi menimbulkan keraguan serius tentang kualitas nutrisi yang bisa disediakan. Perhitungan ekonomi menunjukkan kompleksitas yang harus dihadapi para penyedia layanan. Fluktuasi harga bahan pangan, biaya energi pengolahan, upah tenaga kerja, hingga margin keuntungan untuk keberlanjutan operasional—akumulasi dari seluruh komponen biaya ini mempertanyakan kualitas nutrisi dalam batasan anggaran yang ada.
Meskipun Kepala Badan Gizi Nasional, Dadan Hindayana, mengklaim bahwa penetapan Rp 10.000 didasarkan pada uji coba 11 bulan di Pulau Jawa, realitas disparitas geografis dan ekonomi antar wilayah Indonesia yang sangat beragam menuntut mekanisme subsidi proporsional yang lebih kompleks. Ini menambah lapisan birokrasi dan potensi kebocoran anggaran dalam implementasi program.
Ironi terbesar dari program ini adalah dampaknya terhadap ketahanan pangan nasional—target utama yang justru terancam oleh programnya sendiri. Efisiensi anggaran yang dilakukan pemerintah berdampak pada kenaikan harga bahan makanan karena dana yang dipangkas dan diperketat. Lebih problematik lagi, pemangkasan juga terjadi pada sektor pendidikan, padahal siswa/siswi sekolah dasar merupakan target utama MBG. Kontradiksi ini mencerminkan pendekatan “gali lubang tutup lubang” yang tidak berkelanjutan.
Pemerintah perlu menggeser fokus dari sekadar distribusi makanan gratis menjadi pembangunan sistem pangan berkelanjutan. Penguatan rantai pasok lokal, insentif bagi petani, dan stabilisasi harga pangan melalui kebijakan yang tepat akan jauh lebih efektif dan efisien dalam jangka panjang. Pengalokasian sumber daya secara strategis dengan memprioritaskan wilayah dan kelompok yang paling membutuhkan merupakan pendekatan yang lebih realistis. Alokasi anggaran untuk program gizi perlu diintegrasikan dengan pengembangan infrastruktur pertanian dan sistem pangan lokal, sehingga menciptakan efek multiplier yang lebih besar bagi perekonomian dan ketahanan pangan nasional.
Kesuksesan Program Makan Bergizi Gratis bergantung pada keseimbangan yang tepat antara ambisi sosial dan pragmatisme ekonomi. Kebijakan ini memerlukan pendekatan bertahap yang mempertimbangkan kapasitas ekonomi dan infrastruktur yang ada, disertai evaluasi berkelanjutan dan penyesuaian berdasarkan temuan lapangan. Tanpa pendekatan holistik dan tepat sasaran, program triliunan rupiah ini berisiko menjadi monumen pemborosan anggaran yang gagal menyelesaikan permasalahan fundamental gizi dan ketahanan pangan Indonesia.