Kepastian Politik Perempuan Pasca UU TPKS
Editor: Ahmad Arsyad
KABARBARU.CO, OPINI – DPR RI benar-benar menuntaskan janjinya untuk mengesahkan RUU TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual). Sebagai upaya hukum progresif dalam rangka menjawab problem darurat kekerasan seksual. Pengesahan ini menghidupkan citra bagi komitmen politik parlemen. Setelah puluhan tekanan dan pengajuan draft ulang dari tahun 2012 oleh Komisi Nasional Anti kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) kini publik sedang menantikan kiprah marwah undang-undang ini.
Kepastian pelaksanaan undang-undang ini merupakan puncak Gunung Es dari sekian rentetan kekerasan seksual dan relasi kuasa gender yang timpang. Tidak hanya publik kita yang masih bergunjing soal kedudukan dan penafsiran seksualitas dari aturan baru ini ke depan. Bahkan elit politik dari berbagai fraksi DPR RI tidak semua sejalannya. Kita masih ingat, dari 9 fraksi, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) menjadi satu-satunya yang menolak RUU TPKS lantaran RUU tersebut ditengarai tidak memasukkan secara komprehensif seluruh tindak pidana kesusilaan, seperti kekerasan seksual, perzinaan, dan penyimpangan seksual.
Sejalan dengan kocok dadu dalam ketidakpastian pengesahan, parlemen mempertaruhkan wewenangnya dalam serangkaian peristiwa pilu. Tahun 2021 lalu, 13 santriwati menjadi korban pemerkosaan oleh Herry Wirawan. Ia merupakan pengasuh yang juga guru salah satu pesantren di Kota Bandung, Jawa Barat. Peristiwa kasus kekerasan seksual pun dialami MS, pegawai Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Pelaku merupakan rekan kerja di kantor yang sama.
Publik memang sedikit terhibur dengan sektor perguruan tinggi, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) menetapkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia No 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi (Permendikbudristek PPKS). Permendikbudristek PPKS diterbitkan guna mengisi celah perundangan untuk mencakupi kelompok usia di atas 18 tahun, belum atau tidak menikah, dan tidak terjerat dalam sindikat perdagangan manusia.
Hasil survei Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) pun yang dilakukan sepanjang November-Desember 2021, sekitar 78,89 persen perempuan, laki-laki, maupun gender lainnya, mengaku mengalami pelecehan di ruang publik secara luring maupun daring. Sepanjang 2021, LPSK memberikan perlindungan kepada lebih dari 500 korban TPKS dan banyak di antara korban mendapatkan serangan balik dari pelaku. Untuk melindungi korban itu, LPSK memberikan perlindungan hukum. RUU TPKS perlu mempertegas hak korban untuk tidak dikriminalisasi.
Sekarang, fantasi masa depan dari efek pengesahan aturan TPKS ini apakah mungkinkan memberikan peluang pada partisipasi politik perempuan. Jika agenda sebatas persoalan kekerasan seksual, politik perempuan akan tidak mendapatkan pengaruh apapun. Padahal intsrumentasi penguatan elektoral perempuan dalam politik sebagian besar dipicu oleh substasi aturan ini seperti pengekangan, kekerasan, diskredit, dan stigma sosial.
Pondasi Politik Perempuan
UU TPKS harus memiliki fungsi ke berbagai lini. Jika pada pemilu 2024 mendatang posisi perempuan masih dibebankan dengan prasangka dan pembatasan akses politik. Sudah jelas kita tidak benar-benar pasti menjaga substansi mandat UU TPKS ini. Melihat alotnya proses pembuatan UU TPKS lalu, kita sudah dapat menarik bahwa peran perempuan di parlemen tidak memiliki daya maksimal, sekalipun Ketua DPR RI bahkan seorang perempuan.
Politik fraksi partai di parlemen menjadi momok menakutkan bagi perempuan. Belum lagi spasiaslisasi antar wewenang tugas fraksi membatasi UU TPKS cepat siap saji. Alasan ini mejadi kunci tidak adanya kapasitas perempuan parlemen yang bisa menyeimbangi dominasi superbody partai. Perempuan harus mengambil sisi positif bahwa dengan amanat UU TPKS, merempuan makin memiliki dukungan moril untuk unjug gigi.
Faktanya sejarah perempuan dan politik di Indonesia selalu diwarnai oleh kejutan. Setelah kemerdekaan, perempuan Indonesia telah mencapai tingkatan-tingkatan politik yang lebih maju dibanding banyak negara lain. Hak pilih perempuan sudah diakui sejak tahun 1945 dan bahkan pada masa revolusi kita sudah memiliki menteri perempuan. Blackburn (2004) kondisi fluktuatif politik perempuan di Indonesia tak dapat dilepaskan dari proses demokrasinya yang tidak melalui cara-cara bertahap (gradual) melainkan melalui lompatan-lompatan (leaps) yang terkadang juga dramatis.
Ada beberapa saran bentuk pengawasan UU TPKS yang berimplikasi pada dampak politik perempuan. Pertama, UU ini akan membangun stimulus kesadaran publik yang selama ini terpasung oleh pembiasaan ketimpangan gender. Kedua, aktivis perempuan memiliki daya gerak lebih luas dari sekedar menyelamatkan hak dasar, keamanan, keadilan, bahkan membangun jalan untuk cerdas elektoral. Ketika, peristiwa proses UU TPKS harusnya menjadi ibrah perempuan mengambil kesempatan di pemilu mendatang mencalonkan diri atau ikut aktif sebagai penyelenggara pemilu. Keseluruhan aspek ini tujuan besarnya membangun ekosistem supersturktur ke arah pembedayaan dan daya tahan perempuan. pada puncaknya perimbangan kebijakan dengan skema jalur politik tidak lagi serumit sebelumnya.
Kita selama ini hanya berprinsip bahwa demokrasi adalah soal berkompetisi bebas (free fair competition), memang tidak keliru, tetapi jangan lupa bahwa berkompetisi bebas saja tidak cukup. Demokrasi juga mengandung prinsip keterwakilan (representative). Manakala kita mengandaikan bahwa semua warga negara harus diperlakukan secara sama (equal treatment), maka mereka yang selama ini tidak berdaya (powerlessness) dan termarjinalkan. Terutama perempuan akan terus mengalami kesulitan untuk mengejar ketertinggalannya.
*) Penulis adalah Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Politik Perempuan Estetika Institut
*) Tulisan ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis, dan bukan menjadi tanggungjawab redaksi, Kabarbaru.co