Pengaruh Kecurangan Pemilu Dalam Keberlanjutan Sistem Demokrasi RI

Editor: Ahmad Arsyad
Kabar Baru, Opini – Demokrasi dipahami sebagai pemerintahan oleh rakyat (rule by the people). Dalam praktiknya, demokrasi dikonkritkan dengan pemberian kewenangan kepada rakyat untuk memilih pemimpin mereka dalam pemilihan umum yang bebas dan adil.
Pengertian demokrasi semacam ini dalam berbagai literatur disebut dengan demokrasi elektoral yaitu pemerintahan berdasarkan sistem yang memungkinkan semua warga negara memilih salah satu dari sekian kandidat yang bersaing dalam pemilu untuk memperebutkan jabatan politik.
Setiap warga negara diberi hak pilih dan mereka memberikan suaranya secara rahasia. Begitu pentingnya pemilu, maka semua ahli tata negara menyatakan pemilu adalah ukuran minimal dari pemerintahan demokratis.
Konsepsi “minimal” mengenai demokrasi yakni dalam kerangka hak rakyat untuk ikut berpartisipasi dalam pemilihan umum yang bebas dan adil, telah diakui secara global dan dipraktikkan di banyak negara.
Pemilu dirancang untuk memenuhi tugas-tugas demokrasi yang sangat penting, seperti: memberi kekuasaan kepada warga negara untuk memilih dan menentukan pemimpinnya, memfasilitasi peralihan kekuasaan, dan meminta pertanggungjawaban para politisi dan partai politik atas berbagai keputusan yang mereka buat.
Dengan demikian, sekalipun pemilu hanya salah satu bagian saja dari ciri negara demokratis, namun hampir bisa dipastikan bahwa seluruh negara atau pemerintahan yang mengadopsi nilai-nilai demokrasi akan menjadikan Pemilu sebagai salah satu kegiatan wajib yang harus dilaksanakan terutama sebagai prosedur resmi pergantian kekuasaan.
Esensi dari Pemilu adalah mekanisme politik untuk mengkonversi suara rakyat (votes) menjadi wakil rakyat (seats) baik di lembaga legislatif (DPR) maupun di kembaga eksekutif (Presiden).
Pemilu diharapkan mampu menghasilkan seats atau para wakil rakyat yang merepresentasikan suara rakyat itu sendiri, terpercaya dan mampu menjalankan pemerintahan secara akuntabel.
Keinginan ini tentu hanya bisa diwujudkan bila pelaksanaan pemilu berlangsung secara jujur, adil, dan tidak ada kecurangan.
Sayangnya, mewujudkan pemilu tanpa kecurangan bukan merupakan hal yang mudah.
Margarita Zavadskaya dan Holly Ann Garnett menyatakan bahwa penyelenggaraan pemilu yang berlangsung di manapun, – baik di negara baru yang belum berpengalaman atau negara yang telah beberapa kali mengadakan pemilu, dalam negara demokrasi lama, negara otoriter atau negara yang tengah mengalami transisi rezim, – pemilu selalu rentan terhadap malpraktek atau penyimpangan.
Menurut Sarah Birch, malpraktek pemilu merupakan manipulasi yang terjadi dalam proses penyelenggaran pemilu untuk kepentingan perseorangan ataupun partai politik dengan meninggalkan kepentingan umum.
Bentuknya dapat di kelompokkan ke dalam tiga jenis, yakni: (i) manipulasi terhadap peraturan perundang-undangan pemilu, (ii) manipulasi pilihan pemilih yang bertujuan untuk mengarahkan atau mengubah pilihan pemilih dengan cara-cara yang manipulatif, dan (iii) manipulasi terhadap proses pemungutan dan penghitungan suara hingga pemilu berakhir.
Merujuk pada pendapat Sarah Birch di atas, maka pelaksanaan pemilu di Indonesia tahun 2024 telah menunjukkan tanda-tanda yang nyata terjadinya pelanggaran, dan berbagai pelanggaran pemilu ini masih berpotensi terjadi di tahapan-tahapan pemilu selanjutnya.
Pertama, manipulasi terhadap peraturan perundang-undangan pemilu. Skandal mega akbar terkait manipulasi aturan pemilu untuk menguntungkan calon tertentu sangat jelas terlihat dari diloloskannya Gibran sebagai calon wakil presiden nomor urut 02 melalui putusan MK yang kemudian putusan itu terbukti mengandung cacat etik.
Sembilan hakim MK dijatuhi hukuman etik dan bahkan Anwar Usman dicopot dari jabatannya sebagai ketua MK karena dianggap melakukan pelanggaran etik berat.
Manipulasi aturan ini tidak hanya berhenti di putusan MK, tetapi berlanjut di KPU.
Baru-baru ini, Dewan kehormatan penyelenggara pemilu (DKPP) menjatuhkan hukuman kepada seluruh anggota KPU karena dianggap terbukti melakukan pelanggaran etik yakni menerima pendaftaran Gibran sebagai wakil presiden, padahal Peraturan KPU No. 19 Tahun 2023 yang mengatur tentang pendaftaran calon presiden dan wakil presiden belum direvisi untuk disesuikan dengan Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Kedua, manipulasi pilihan pemilih untuk tujuan mengarahkan atau mengubah pilihan pemilih dengan cara-cara yang manipulatif atau melanggar hukum.
UU Pemilu mengatur sedemikian rupa agar para pasangan calon presiden dan wakil presiden dalam rangka meraih dukungan rakyat, dilakukan dengan cara-cara yang benar dan tidak melanggar hukum.
Salah satu larangannya adalah tidak boleh melibatkan aparatur pemerintahan desa. Fakta yang terlihat selama ini, ada paslon tertentu yang tidak mengindahkan hal ini dengan tetap melibatkan para aparatur desa dalam kampanye atau menggalang dukungan.
Hal ini misalnya terjadi pada acara deklarasi Desa Bersatu di Senayan Jakarta. Pemanfaatan apartur desa untuk meraup suara sepertinya masih berlangsung hingga saat ini.
Larangan lainnya adalah menggunakan money politic. Terdapat calon tertentu yang secara gamblang dan terang-terangan membagi-bagikan uang atau barang dalam berbagai aktifitas. Misalnya bagi-bagi susu oleh Gibran Rakabuming Raka di acara Car Free Day di Jakarta.
Aktifitas ini kemudian dinyatakan oleh Bawaslu DKI sebagai sebuah pelanggaran hukum.
Hal yang tidak kalah merisaukan adalah adanya dugaan penyelewengan dana bantuan sosial (bansos) yang diberikan oleh pemerintah kepada rakyat, namun dikesankan bahwa hal tersebut merupakan bantuan pribadi dari pejabat tersebut.
Tujuannya sangat jelas bahwa hal tersebut dilakukan dalam rangka untuk membantu kemenangan pasangan calon tertentu.
Ketiga, manipulasi terhadap proses pemungutan dan penghitungan suara hingga pemilu berakhir. Saat ini sedang beredar berita tentang masuknya beberapa anggota kepolisian ke dalam group-group WA Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).
Hal ini tentu sangat berpotensi terjadinya pelanggaran pemilu saat pemungutan suara melalui upaya-upaya intimidasi terhadap anggota KPPS untuk memenangkan paslon tertentu.
Selain itu, masyarakat masih mengkhawatirkan atas kehandalan IT KPU terutama untuk melakukan rekapitulasi hasil suara. Banyak kalangan menilai, sistem informasi (IT) rekap suara KPU sangat berpotensi untuk dimanipulasi demi keuntungan paslon tertentu.
Berbagai kekhawatiran ini tentu harus direspon oleh KPU dan Bawaslu dengan cara melakukan proses transparansi yang bisa diawasi oleh publik sehingga berbagai prasangka-prasangka negatif tersebut tidak menjadi kenyataan.
Terakhir, jika pemilu adalah proses awal untuk menghasilkan para aktor-aktor politik yang akan menjalankan demokrasi di level negara secara formal, maka nasib demokrasi sebenarnya sangat ditentukan oleh kualitas penyelenggaraan pemilunya.
Jika pelaksanaan pemilu berlangsung penuh dengan kecurangan dan manipulasi, maka jangan harap demokrasi akan tumbuh subur di republik ini.
Penulis adalah Yanju Sahara, Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri dan Jaringan Internasional PB PMII.