Menggugat Otoritarianisme dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia

Editor: Ahmad Arsyad
Kabarbaru, Opini – Usulan penerapan Azaz Dominus Litis dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang diajukan oleh Jaksa kepada DPR RI merupakan langkah mundur yang berisiko besar terhadap kemajuan sistem peradilan pidana di Indonesia.
Dengan mendasarkan diri pada prinsip yang memberikan dominasi yang berlebihan kepada pihak Jaksa dalam pengelolaan perkara, usulan ini berpotensi mengancam prinsip dasar negara hukum, yaitu pembagian kekuasaan yang seimbang, serta menodai asas peradilan yang adil dan merdeka.
Azaz Dominus Litis, yang menempatkan Jaksa sebagai penguasa penuh atas perkara pidana, sangat bertentangan dengan semangat reformasi hukum yang selama ini kita perjuangkan. Dalam sistem hukum yang demokratis dan berkeadilan, pembagian kekuasaan antara Jaksa, Hakim, dan Pengacara adalah fondasi yang tidak boleh diganggu gugat.
Usulan ini justru berisiko menciptakan ketimpangan kekuasaan yang tidak sehat, yang berpotensi mengarah pada praktek-praktek otoritarianisme dalam proses peradilan.
Pemberian wewenang yang sangat besar kepada Jaksa sebagai penguasa perkara dapat mereduksi independensi hakim yang seharusnya menjadi penentu akhir dalam setiap perkara pidana. Hakim, yang seharusnya bertindak objektif dan bebas dari pengaruh pihak manapun, justru akan terperangkap dalam kerangka yang tidak lagi menjunjung tinggi prinsip keadilan yang merdeka.
Dalam praktiknya, ini akan menyebabkan terjadinya dominasi Jaksa dalam segala tahap peradilan, yang akhirnya mengancam kebebasan individu dan hak-hak terdakwa.
Tidak hanya itu, dengan Azaz Dominus Litis, risiko penyalahgunaan wewenang semakin terbuka lebar. Jika Jaksa memiliki kendali penuh terhadap perkara, ada kemungkinan besar bahwa proses peradilan akan kehilangan objektivitas dan hanya berfokus pada keberhasilan penuntutan semata.
Hal ini sangat berbahaya karena dapat mengarah pada kriminalisasi terhadap individu yang seharusnya tidak bersalah, atau penuntutan yang tidak berdasar pada fakta dan bukti yang sah.
Dalam kerangka ini, usulan tersebut juga berpotensi mengurangi efektivitas pengawasan eksternal terhadap tindakan Jaksa. Keberadaan lembaga-lembaga pengawas, seperti Komisi Yudisial dan lembaga pengadilan independen, yang selama ini berperan menjaga keadilan dan integritas peradilan, akan kehilangan maknanya.
Dengan mengonsolidasikan kekuasaan yang besar pada Jaksa, maka potensi penyalahgunaan wewenang yang tidak terkontrol akan semakin mengkhawatirkan.
Sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi prinsip keadilan, kita seharusnya menolak keras Azaz Dominus Litis. Ini bukan hanya soal kekuasaan, tetapi juga soal menjaga prinsip dasar yang menjamin bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan peradilan yang adil dan tidak memihak.
Keputusan yang merugikan salah satu pihak, baik itu terdakwa maupun korban, hanya akan memperburuk citra peradilan kita di mata publik dan dunia internasional.
Saya berpendapat bahwa untuk mencapai reformasi hukum yang lebih baik, kita tidak boleh jatuh ke dalam jerat sentralisasi kekuasaan yang berbahaya. Sistem peradilan pidana harus tetap bersifat adil, independen, dan berbasis pada prinsip keadilan yang seimbang.
Oleh karena itu, usulan Azaz Dominus Litis ini seharusnya ditolak dengan tegas, demi menjaga integritas dan kualitas peradilan kita yang benar-benar berkeadilan dan berpihak pada kebenaran.
Penulis adalah Roland Pramudiansyah, Ketua PERMAHI Jambi.