Peran MSDM Mendukung Kesehatan Mental Bagi Generasi Z
Editor: Bahiyyah Azzahra
Oleh : Aurelia Tita Carlene Hutapea
Generasi Z saat ini mulai mendominasi dunia kerja, Kedatangannya mmembawa dinamika dan tuntutan yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Terlahir menjadi generasi pertama yang tumbuh kembangnya di iringi dengan digitalisasi dan akses penuh terhadap internet maupun media sosial, tentunya mereka lebih banyak terpapar berbagai tekanan psikologis mulai dari kecemasan, tidak percaya diri dan stress berlebih. Oleh karena itu, Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM) perlu mengambil sikap untuk memprioritaskan kesehatan mental bagi generasi ini untuk mempertahankan tenaga kerja produktif dan inovatif.
Kesehatan mental bukanlah isu pribadi bagi Generasi Z, tetapi sudah menjadi bagian profesionalisme di tempat kerja. Mereka temtunya mengharapkan perusahaan menyediakan lingkungan kerja yang mendukung, dimana tekanan saat bekerja dapat dikelola dengan baik dan mulai menyadari pentingnya kesehatan mental karyawan. Hal ini menjadi tantangan baru bafi msdm, memgingat bahwa perusahaan masih beroriemtasi pada produktifitas dan kinerja karyawan
Ada beberapa pendekatan strategis yang dapat diambil oleh manajemen untuk memenuhi kebutuhan ini. Pertama, perusahaan dapat menawarkan kebijakan fleksibilitas kerja. Dengan kebijakan ini, mereka akan mudah dalam menyeimbangkan antara pekerjaan dengan kebutuhaan pribadi atau yang lebih dikenal dengan istilah “work life balance”. Selain itu perusahaan juga dapat menawarkan sistem kerja hibrida, yang dimana karyawan dapat bekerja dari rumah atau kantor sesuai kebutuhan mereka. Sistem ini tentunya akan membantu mengurangi stress dalam bekerja dan memberi kesempatan untuk beristirahat yang lebih banyak.
Kedua, Manajemen sumber daya manusia (MSDM) seharusnya dapat menyediakan layanan dukungan emosianal seperti konseling atau sesi terapi bagi karyawan tanpa stigma. Generasi z umumnya lebih terbuka membicarakan kesehatan mental mereka, dan akses ke dukungan profesional dapat membantu mereka dalam menyelesaikan masalah yang mungkin akan menggangu performa mereka dalam bekerja. Saat ini sudah banyak perusahaan yang memiliki program kesejahteraan mental dan memungkingkan karyawan mengakses sesi konseling gratis. Hasilnya tingkat kepuasan dan retensi karyawan meningkat.
Ketiga, pentingnya menciptakan budaya kerja yang inklusif dan terbuka diskusi terkait kesehatan mental. Dalam lingkungan seperti ini karyawan diharapkan mendapat rasa aman saat mencurahkan masalah yang mereka hadapi, dan perusahaan dapat memberikan dukungan atau keputusan yang tepat sebelum masalah menjadi lebih besar. Memberikan pelatihan terhadap manajer atau supervisor juga bisa membantu perusahaan lebih peka dan responsif terhadap karyawan. Saat karyawan merasa perusahaan peduli terhadap kesehatan mental mereka tentu saja mereka akan termotivasi memberikan performa yang terbaik.
Pada akhirnya, perusahaan dapat mencapai tingkat produktifitas dan loyalitas yang tinggi dengan mendukung kesehatan mental karyawan Generasi Z, karena saat karyawan merasa perusahaan peduli dengan kondisi mereka tentunya
tekanan kerja yang mereka alami bisa dengan mudah diatasi, lebih mudah beradaptasi dan cenderung memiliki komitmen yang kuat terhadap perusahaan. Langkah langkah ini tidak hanya bermanfaat bagi karyawan tetapi investasi bagi perusahaan itu sendiri.
Dengan menciptakan lingkungan kerja yang berfokus pada kesehatan mental, perusahaan tidak hanya menggandeng perubahan yang dibawa oleh generasi baru, tetapi juga menyiapkan fondasi yang kokoh bagi perusahaan dimasa mendatang. Di era 5.0 yang penuh ketidakpastian dan penuh perubahan kesejahteraan karyawan bukanlah suatu kemewahan, melainkan kebutuhan utama dalam membangun perusahaan yang tangguh dan bekerlanjutan
Penulis adalah mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Katolik Santo Thomas Medan