Dinasti Politik dan Wajah Pemilu Kita

Jurnalis: Muh Arif
Kabar Baru.co- Dalam kurun waktu beberapa tahun, praktik politik kita telah berkembang dari kekuasaan demokrasi menjadi kekuasaan yang dimiliki segilintir orang yang berpotensi mengganggu jalannya penyelenggara demokrasi yang jujur, bersih dan adil—jauh dari cita reformasi. Otoritas politik kekuasaan pada instrumen demokrasi semakin menjadi jual beli kebutuhan seperti: hukum, partai, bahkan komunitas.
Lima tahun terakhir ini kondisi demokrasi kita mengalami pergeseran yang signifikan—jauh dari konteks idealnya. Ini ditandai dengan proses pelemahan KPK, KPU, Ombusman yang pada mulanya merupakan anak kandung reformasi untuk mengawal proses demokrasi yang berkeadilan.
Presiden yang merupakan panglima dalam mengawal reformasi sepertinya tidak menunjukan sikap terhadap pengawalan cita-cita reformasi, seperti: proses deregulasi KPK, intervensi lembaga hukum, pengaruh kekuasaan eksekutif pada lembaga penyelenggara Pemilu yang berhujung pada dinasti politik—sederhananya ini proses pelestarian perilaku KKN.
Dinasti polotik bukan tentang kerabat, keluarga dan sanak saudara, tapi lebih untuk merebutkan kekuasaan atau mempertahankan kekuasaan. Sehingga ini memberikan dampak pesimisme dalam proses demokrasi yang cukup tinggi, khusunya terjadinya perubahan nomenklatur dengan cara yang tampaknya dimata hukum terlihat kasar, meskipun secara prosesnya melalui lembaga-lembaga yang mempunyai kewenangan yaitu Mahkamah Konstitusi (MK).
Kita dapat melihat perkembangan politik baru-baru ini, bagaimana kekuasaan mongkonstitusi kenikmatannya dengan beragam cara; deregulasi dan koalisi electoral sebagai pra-syarat dalam mempertahankan kekuasaan sepihak secara legal.
Seperti yang ditulis oleh Daniel Ziblat & Steven Levitzky, bahwa langkah pemerintah menumbangkan demokrasi adalah dengan cara yang berkesan legal: disetujui parlemen atau dianggap konstitusional oleh mahkamah agung. Dengan cara inilah terbangunnya suatu sistem kekuasaan yang dimiliki sebagian/sekolompok orang.
Dari pergeseran konteks demokrasi membuat tahapan Pemilu tidak lagi berintegritas melainkan terbangunnya kekuasaan hierarkis secara personal—sifatnya bagi-bagi jatah. Maka tidak heran, kondisi politik demokrasi kita lebih cenderung membangun kekuasaan “oligarki” yang korup.
Demokrasi Bagun Dinasti
Politik dinasti dan koalisi elektoral telah memunculkan konstelasi baru “ mempertahankan kekuasaan ” atau bisnis dan kepentingan bersua kebutuhan. Pada dasarnya adalah versi kesejahteraan dari penawaran melegalkan yang bertujuan untuk menawarkan akses kesejahtraan kepada masyarakat dengan melakukan deregulasi oleh institusi seperti Mahkamah Konstitusi yang sering kali membebankan kode etik sebagai komisi besar nantinya.
Sebaliknya, “ kontrak politik ” secara otomatis menjadi transaksi jabatan ketika kepentingan tertentu terpenuhi. Politik pun semakin populer, dengan investor menggelontorkan puluhan miliar dalam mensponsori jagoannya.
Dalam prosesnya adalah merebut kekauaasan atau mempertahankan kekuasan. Cita-cita inilah menjadi cikal bakal melakukan segala cara untuk mempertahankan status quo. Dengan begitu, elit koalisi berkumpul menyanyikan lagu koalisi yang kecendrungannya mulia.
Sebagian besar demokrasi dibangun di atas kedaulatan dan kejujuran. Karena kegunaannya lima tahun mendatang. Sehingga dalam penyelenggaraannya tidak ditransaksikan secara personal tapi lebih pada mensponsori kesejahtraan dan kedaulatan.
Anda dapat membanyangkan sistem demokrasi jenis baru yang dibangun dari politik oligarki dengan memiliki keunggulan bagi sekelompok orang dibandingkan keseluruhannya. Anda dipaksa percaya alih-alih pembangunan atas nama kesejahteraan, dan ini adalah cara baru bagi praktik politik negara untuk menjalankan demokrasi yang pada subtantifnya membangun budaya oligarki.
Para pembuat aturan telah mengindikasikan bahwa kegiatan politik dalam bingkai demokrasi telah menjadi jalan ideal bagi proses majunya suatu bangsa. Namum dalam praktinya politik demokrasi tidak sesuai dengan peraturan yang ada, justru melahirkan infeksi nilai demokrasi secara subtantif.
Dalam konteks ini, terjadi parasitic symbionts yang dalam konteks biologi adalah interaksi simbiosis yang erat dan berjangka panjang antara dua organisme, yakni salah satu organisme hidup di dalam tubuh inangnya sehingga menimbulkan kerugian.
Dalam konteks politik, hal ini menjelaskan bagaimana pelaku dinasti melakukan apa yang disebut “institutional drift” yaitu mengatur sedemikian rupa aturan atau regulasi di institusi. Ini berarti mereka mampu mempengaruhi dan mengubah cara kerja institusi demokratis untuk mendukung keberlangsungan dinasti politik mereka.
Penulis : Eko Saputra Wakil Ketua Komisi PAO PB HMI 2023-2025