Berita

 Network

 Partner

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store

Cara Seorang Istri dalam Menggugat Suaminya di Pengadilan Agama

Penulis: Alifia Mumtazati Saleha, Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Foto: Dok/Pixelbay.com).

Editor:

Kabar Baru, Opini- Dalam hukum acara perdata dikenal dengan kewenangan absolut. Kewenangan tersebut diatur dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama (selanjutnya disebut dengan UU Peradilan Agama). Dalam Pasal tersebut disebutkan pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang yang salah satunya adalah bidang perkawinan.

Dalan bidang perkawinan, salah satu perkara adalah perkara gugatan cerai. Perkara ini dapat diajukan baik oleh suami kepada istrinya ataupun istri kepada suaminya. Adapun gugatan yang diajukan oleh suami kepada istrinya disebut dengan permohonan cerai talak di mana suami menjadi pemohon dan istri menjadi termohon. Sedangkan gugatan cerai yang diajukan oleh istri kepada suaminya disebut dengan cerai gugat, di mana istri menjadi penggugat dan suami menjadi tergugat.

Jasa Pembuatan Buku

Dalam hal perceraian baik itu cerai gugat ataupun cerai talak, maka pengadilan agama yang berwenang untuk memeriksa dan mengadili adalah pengadilan agama di mana istri berdomisili hukum yang dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Contohnya, apabila istri berdomisili hukum di Jakarta Selatan sedangkan suami bertempat tinggal di Bogor, maka pengadilan agama yang berwenang untuk mengadili adalah Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

Kewenangan di atas merupakan bentuk dari kewenangan relatif perkara cerai gugat pada peradilan agama yang tertera dalam Pasal 73 ayat (1) UU Peradilan Agama bahwa gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasa hukumnya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi domisili hukum penggugat, kecuali jika penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat tinggal bersama tanpa seizin tergugat.

Dalam hal cerai gugat ada beberapa tahapan yang harus ditempuh penggugat untuk mengajukan gugatannya, tahapan-tahapan tersebut sebagai berikut:

  • Dalam mengajukan gugatan langkah yang harus ditempuh adalah sebagai berikut:
  1. Penggugat mengajukan gugatan baik itu secara tertulis maupun lisan kepada pengadilan agama, sesuai yang tertera dalam Pasal 118 HIR 142 Rbg jo Pasal 73 UU Peradilan Agama.
  2. Penggugat diharapkan untuk meminta arahan ataupun petunjuk kepada pengadilan agama terkait tata cara pembuatan surat gugatan sesuai yang tertera dalam Pasal 118 HIR 142 Rbg jo Pasal 58 UU Peradilan Agama.
  3. Surat gugatan dapat diubah selama tidak ada perubahan posita dan petitum. Adapun jika tergugat sudah menjawab surat gugatan harus ada persetujuan tergugat.
  • Gugatan tersebut diajukan kepada Pengadilan Agama:
  1. Harus sesuai daerah hukum yang meliputi tempat tinggal pengugat sesuai yang tertera dalam Pasal 73 ayat (1) UU Peradilan Agama.
  2. Apabila penggugat meninggalkan tempat tinggal yang telah disetujui bersama tanpa seizin tergugat, maka gugatan harus diajukan kepada pengadilan agama yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat sesuai yang tertera dalam Pasal 32 ayat (2) UU Peradilan Agama.
  3. Apabila penggugat dan tergugat bertempat tinggal di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada pengadilan agama yang daerah hukumnya meliputi tempat dilangsungkan pernikahan atau kepada pengadilan agama Jakarta Timur sesuai yang tertera dalam Pasal 73 ayat (3) UU Peradilan Agama.
  • Dalam surat gugatan yang diajukan memuat:
  1. Nama, umur, agama, pekerjaan, dan tempat tinggal penggugat dan tergugat.
  2. Posita (fakta kejadian dan fakta hukum).
  3. Petitum (hal-hal yang dituntut berdasarkan posita).
  • Gugatan persoalan penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri dan juga harta bersama, dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan atau sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap sesuai yang tertera dalam Pasal 66 ayat (5) UU Peradilan Agama.
  • Membayar biaya perkara sesuai yang tertera dalam Pasal 121 ayat (4) HIR, 145 ayat (4) Rbg jo Pasal 89 UU Peradilan Agama. Adapun bagi yang tidak mampu, dapat berperkara secara cuma-cuma/prodeo sesuai yang tertera dalam Pasal 237 HIR, 273 Rbg.
  • Penggugat dan tergugat atau kuasanya wajib menghadiri persidangan berdasarkan panggilan pengadilan agama.

 

*) Penulis adalah Alifia Mumtazati Saleha, Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksiĀ kabarbaru.co

Kabarbaru Network

https://beritabaru.co/

AboutĀ Our Kabarbaru.co

Kabarbaru.co menyajikan berita aktual dan inspiratif dari sudut pandang berbaik sangka serta terverifikasi dari sumber yang tepat.

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store