Berita

 Network

 Partner

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store

Problematika Putusan Mahkamah Konstitusi Uji Formil Undang-Undang Cipta Kerja

Penulis: Ahmad Azharil. (Foto: dok/istimewa).

Editor:

KABARBARU, OPINI– Dalam sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia, selain dilaksanakan oleh Mahkamah Agung juga dilaksanakan oleh Mahkamah Konstitusi terhadap perkara-perkara tertentu yang berbasiskan masalah-masalah konstitusional. Legitimasi hukum keberadaan Mahkamah Konstitusi secara khusus diatur dalam Pasal 24 C UUD 1945 yang mana disebutkan, Mahkamah Konstitusi mempunyai beberapa tugas dan fungsi diantaranya, menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, serta Mahkamah Konstitusi mempunyai kewajiban memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.

Dari sejumlah tugas dan kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi, pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar menjadi perkara yang paling populer karena Mahkamah Konstitusi lebih banyak menangani permohonan uji materil dari para pemohon. Permohonan pengujian undang-undang yang selama ini ditangani oleh Mahkamah Konstitusi lebih berkaitan dengan pengujian materil yakni menguji materi suatu pasal atau ayat dalam suatu undang-undang sedangkan uji formil sejauh ini hanya terdapat satu permohonan yang dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi yakni dalam putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2021. Dalam putusan ini para pemohon mengajukan permohonan agar Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja agar dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi karena bertentangan dangan undang-undang dasar. Para pemohon mendasarkan pengujian formil undang-undang cipta kerja menggunakan Pasal 20 ayat (4), Pasal 22 A UUD 1945, Pasal 5 huruf a, huruf e, huruf f, huruf g, dan Pasal 72 ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. Dikabulkannya permohonan pemohon oleh Mahkamah Konstitusi di satu sisi memberikan kepuasan kepada para pemohon dan juga pihak-pihak lainnya yang merasa sangat dirugikan dengan lahirnya undang-undang cipta kerja, pada sisi lainnya Mahkamah Konstitusi tidak memperhatikan bagaimana seharusnya produk putusan perka uji formil dikeluarkan.

Jasa Penerbitan Buku

Lalu bagaimanakah Putusan Mahkamah Konstitusi dalam permohonan uji formil ?

Hakim Mahkamah Konstitusi dalam memeriksa dan mengadili semua perkara yang diajukan oleh para pemohon terhadap jenis perkara apapun mengunakan standar operasional prosedur yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Produk putusan Hakim Mahkamah Konstitusi dalam perkara pengujian undang-undang baik materil dan formil diatur dalam Pasal 56 dan 57 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, pada intinya Hakim Mahkamah Konstitusi hanya dapat memutuskan membatalkan suatu pasal, ayat, dan undang-undang jika bertentangan dengan undang-undang dasar atau memberikannya ketentuan suatu pasal, ayat, dan undang-undang jika tidak bertentangan dengan undang-undang dasar. Lebih lanjut dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 Tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang pada 72 ayat (1) menyebutkan, amar putusan untuk pengujian formil :

  • Dalam hal permohonan tidak memenuhi ketentuan syarat formil pengajuan permohonan antara lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 9 ayat (2), Pasal 11, dan/atau Pasal 12, amar putusan menyatakan “Menolak permohonan pemohon”;
  • Dalam hal pokok permohonan tidak beralasan menurut hukum, amar putusan menyatakan, “Menolak permohonan Pemohon”;
  • Dalam hal pokok permohonan beralasan menurut hukum, amar putusan berbunyi :
  1. Mengabulkan permohonan Pemohon;
  2. Menyatakan pembentuk undang-undang atau Perpu dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang menurut UUD 1945, dan undang-undang atau Perppu aquo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
  3. Memerintahkan pemuatan Putusan dalam Berita Negara Republik Indonesia

Hakim Mahkamah Konstitusi sangat dibatasi oleh aturan terhadap setiap putusan yang dikeluarkannya terhadap perkara manapun, persoalannya adalah dalam putusan Mahkamah Konsititusi Nomor 91/PUU-XVIII/2021 jelas-jelas Hakim Mahkamah Konstitusi tidak memperhatikan aspek prosedural bagiamanakah seharusnya putusan dalam perkara uji formil. Amar putusan Mahkamah Konsititusi Nomor 91/PUU-XVIII/2021 menyebutukan :

  1. Menyatakan pembukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengingat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan”;
  2. Menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini;
  3. Memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan maka Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja menjadi Inkonstitusional secara permanen;
  4. Menyatakan apabila dalam tenggang waktu 2 (dua) tahun pembentuk undang-undang tidak menyelesaikan perbaikan undang tersebut maka undang-undang atau pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dinyatakan berlaku kembali.

Seharusnya jika Mahkamah Konstitusi menilai permohonan pemohon sudah tepat dan mempunyai alasan yang logis secara hukum, putusan yang dapat dikeluarkan adalah menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja konstitusional tidak kemudian berisikan pernyataan, tidak mempunyai kekuatan hukum mengingat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan. Sebab dengan dilakukannya hal ini, Mahkamah Konstitusi telah menyalahi apa yang menjadi perintah hukum. Padahal Mahkamah Konsitusi adalah lembaga pengawal dan penafsir konsitusi, sehingga Mahkamah Konstitusi harus secara konsekuen menafsirkan pengaturan dalam konstitusi dengan sebaik-baiknya. Mahkamah Konstitusi tidak boleh menyekolahkan ketentuan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 dimana dikatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum, dari ketentuan ini mewajibkan kepada siapapun warga negara Indonesia termasuk Hakim Mahkamah Konstitusi untuk melaksanakan tugas dan kewenangannya sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh hukum.

Problematika lainnya dalam amar putusan tersebut ialah “Menyatakan apabila dalam tenggang waktu 2 (dua) tahun pembentuk undang-undang tidak menyelesaikan perbaikan undang tersebut maka undang-undang atau pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dinyatakan berlaku kembali” jika ketentuan ini tidak dilaksankan oleh para pembentuk undang-undang dalam jangka waktu (2) tahun maka akan menyebabkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2021 yang pada intinya menyatakan Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentang dengan undang-undang dasar akan dapat berlaku kembali dan otomatis putusan yang telah dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi menjadi sangat tidak berarti bukan karena putusan tersebut dilaksankan oleh pembentuk undang-undang melainkan karena terjebak dari kekeliruan dari hakim Mahkamah Konsitusi itu sendiri.

Kesimpulan

Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi ini, memperlihatkan para hakim belum secara hati-hati dan profesional dalam menjalankan tugasnya. Putusan ini tentu sangat berdampak luas bagi seluruh warga negara Indonesia, jika putusan ini benar-benar dilaksankan oleh para pembuat undang-undang tentu bagi pihak atau kalangan yang merasa dirugikan akan menjadi sangat bermanfaat, namun apabila karena keterbatasan waktu para pembuat undang-undang untuk menyelesaikan perbaikan dalam waktu yang ditentukan maka undang-undang telah dibatalkan secara formal oleh Mahkamah Konstitusi akan menjadi berlaku kembali.

Pada prinsipnya Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2021 secara yuridis bertentangan dengan mekanisme dan prosedur penanganan perkara ujian formil dalam peraturan perundang-undangan, namun karena putusan Mahkamah Konstitusi telah sah berlaku sehingga akan berdampak luas jika beberapa ketentuan bermasalah dalam amar putusan tidak dilaksanakan oleh oleh para pembuat undang-undang.

 

*) Penulis adalah Ahmad Azharil, Pengamat Hukum Tata Negara

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kabarbaru.co

Kabarbaru Network

https://beritabaru.co/

About Our Kabarbaru.co

Kabarbaru.co menyajikan berita aktual dan inspiratif dari sudut pandang berbaik sangka serta terverifikasi dari sumber yang tepat.

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store