Berita

 Network

 Partner

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store

Buntut Kegagalan Mitigasi Satgas Penyelenggaraan PON Aceh-Sumut

Penulis: Rahmat Hidayat, Direktur LAPPOR. (Foto: Dok/Ist).

Editor:

“Kambing hitam saja tidak cukup, karena masih ada koloni kambing lainnya ..”

Kabar Baru, Opini- Sebagai ajang nasional empat tahunan, Pekan Olahraga Nasional (PON) mendapat perhatian serius dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah selaku tuan rumah. Perhatian itu meliputi kebijakan, pembangunan, pelaksanaan, pemantauan, dan yang terpenting penganggaran.

Jasa Penerbitan Buku

Olehnya itu, semua pihak yang memegang amanah tugas dalam penyelenggaraan PON bertanggungjawab secara vertikal menurut fungsi strukturalnya. Terutama yang berkaitan dengan realisasi penggunaan anggaran yang digelontorkan dalam jumlah yang tidak sedikit.

Kemenpora melalui unggahan instagram resminya (17/9/2024), menyebutkan bahwa seluruh penyelenggaraan PON XXI Aceh-Sumut menelan dana hingga Rp 3,94 triliun. Sebesar Rp 2,2 triliun bersumber dari APBN yang disalurkan melalui Kemenpora dan Kementerian PUPR serta diteruskan ke Aceh dan Sumut. Kemudian sebesar Rp 1,7 triliun lainnya masing-masing bersumber dari APBD Aceh yang senilai Rp 640,3 miliar dan APBD Sumut Rp 1,06 triliun.

Konsekuensi PON sebagai bagian dari agenda nasional mengharuskan kepastian anggaran sejalan dengan ketepatan guna dan pengelolaan sesuai kebutuhan penyelenggaraan. Dengan dasar itu pemerintah menilai perlunya suatu satuan kerja khusus yang bertanggungjawab langsung pada presiden untuk mengawal dan memastikan anggaran tersebut digunakan sesuai dengan peruntukannya. Kendati anggaran PON Aceh-Sumut tidak sebesar PON Papua yang mencapai lebih dari Rp 10 triliun.

Paling tidak kita perlu sepaham bahwa ada dua hal yang perlu dibuat terang saat mengulas kehadiran Satgas PON XXI Aceh-Sumut dengan segala tugas yang melekat padanya.

Pertama, langkah Presiden Jokowi yang menerbitkan Kepres No. 24 Tahun 2024 tentang Satgas PON XXI yang terdiri dari lintas kementerian dan lintas penegak hukum dan keamanan, secara proporsional memandu masyarakat memiliki indikator yang spesifik dalam menilai ketidakmampuan Satgas Pelaksana terutama Bidang Pendampingan Penyelenggaraan PON Aceh-Sumut saat menjalankan tugasnya.

Jika memahami substansi pasal 7 Kepres tersebut, selain melaksanakan kebijakan strategis, Satgas Penyelenggaraan dibebani kewajiban untuk mencegah timbulnya masalah, menyelesaikan hambatan, dan melakukan pemantauan terhadap penyelenggaraan PON. Menjadi fatal ketika kewajiban hukum ini tidak mampu dipertanggungjawabkan oleh Satgas pada Presiden.

Faktanya, fenomena yang mencuat ke publik seperti konsumsi atlet yang terlambat dan tidak sesuai standar, transportasi tidak memadai, fasilitas venue tidak layak, hingga kontroversi keputusan wasit di pertandingan sepakbola dan tinju, serta masalah-masalah lain yang tidak tersorot media menjadi bukti ketidakmampuan Satgas Penyelenggaraan PON XXI mengumpulkan informasi yang diperlukan melalui pemantauan awal atau pengawasan untuk menjadi dasar pencegahan masalah.

Memang benar terdapat beberapa masalah dapat teratasi. Namun dalam kasus tertentu, tidak tepat juga bila penjabat kepala daerah menyalahkan “badai yang tidak ber-KTP” saat standar konstruksi terhadap venue hasil rehabilitasi di bawah kewenangannya seperti venue menembak dan panahan di Aceh tidak sesuai. Demikian di Sumut yang lebih fatal, dimana Pemda yang membongkar proyek gapura senilai Rp 3 miliar karena alasan “tidak estetik” oleh Kepala Dispora Sumut Baharuddin Siagian berselang beberapa jam sebelum agenda kedatangan presiden. Begitupun juga tanpa sebab force majeure pembangunan fasilitas di seputar venue Sport Center Sumut yang belum juga tuntas bahkan setelah event PON XXI usai.  Belum lagi sengketa lahan antara kelompok masyarakat di beberapa desa antara pemerintah Sumut maupun pemerintah di wilayah Aceh yang diduga belum juga diberikan kompensasinya.

Kedua, kehadiran Kepres 24/2024 yang diduga sebagai tameng hukum terhadap Satgas Penyelenggaraan perlu memperhatikan kembali asasnya dalam pelaksanaan. Hal ini perlu dipertimbangkan karena seiring timbulnya masalah dalam perjalanan PON, Pemprov tuan rumah maupun vendor seringkali mendapat tekanan moril yang besar dari publik untuk mempertanggungjawabkannya. Belum lagi, investigasi atas penyelewengan maupun penyalahgunaan dana PON yang diusulkan pada Bareskrim Polri sepertinya akan mengungkap fakta pelanggaran hukum lainnya oleh PB PON maupun vendor.

Lantas pantaskah jika hanya pemilik jasa konstruksi, manajemen konstruksi, dan PB PON (Pemda tuan rumah) yang dipersalahkan atas gemparnya masalah PON di Aceh dan Sumut? Sementara secara regulasi pertanggungjawaban langsung ke presiden terutama dalam pencegahan timbulnya masalah adalah Satgas Penyelenggaraan dalam hal ini Menpora bersama sejumlah kementerian/lembaga lain yang menjadi anggotanya. Apakah masyarakat layak memaklumi mitigasi “asal bapak senang” dari Satgas Penyelenggaraan? Dimana ketegasan hukum pada asas kepastian, kemanfaatan, maupun keadilan atas Kepres tersebut?

Menjadi tidak bijak rasanya bila kesalahan atas kewajiban fungsional Satgas Penyelenggaraan dibebankan hanya pada petugas teknis PON Aceh-Sumut. Kepres 24/2024 tentunya bukan tameng bagi Satgas untuk mencuci tangannya dari bermacam “dosa” yang dilakukan di PON hanya karena aparat penegak hukum juga ada dalam struktur Satgas Tata Kelola PON. Penegakan hukum kita tidak boleh permisif terhadap status kedudukan yang melakukan pelanggaran maupun kelalaian hukum. Pertanggungjawaban itu mestinya koheren dengan tugas maupun landasan hukumnya.

Maka, baik Polri maupun penegak hukum lainnya perlu juga menilai secara menyeluruh keterkaitan urutan awal mula permasalahan PON Aceh-Sumut ini muncul. Terutama mengenai kegagalan mitigasi Satgas Penyelenggaraan, termasuk pihak-pihak terkait di dalamnya. Sehingga pada prinsipnya kewajiban tertunainya penegakan hukum ini perlu diatensi, baik semasa pemerintahan Presiden Jokowi maupun dalam masa pemerintahan Presiden Prabowo. Apalagi yang menduduki posisi jabatan Menpora adalah figur yang sama yaitu Dito Ariotedjo. Maka tidak salah bila Kabinet Merah Putih dalam pemerintahan yang baru ini turut mewarisi tanggung jawab hukum itu. Mengingat masa tugas Satgas PON juga akan selesai pada 31 Desember 2024. Tidak boleh sampai ada yang lempar batu sembunyi tangan.

Dengan tegas, Satgas Penyelenggaraan secara rasional harus ikut mendapat efek hukum sesuai fungsi kedudukannya. Karena jika sejak awal bukan akibat kealpaan dalam mitigasi serta tidak dijalankannya dengan baik fungsi pemantauan, kemungkinan tidak akan timbul berbagai masalah di PON. Keikut-sertaan dalam pertanggungjawaban ini demi menegaskan Kesuksesan Satgas yang utuh dan sebenarnya dalam mengawal kepentingan PON. Kambing hitam saja tidak cukup, karena masih ada koloni kambing lainnya dalam masalah PON Aceh-Sumut.

 

*) Penulis adalah Rahmat Hidayat, Direktur LAPPOR.

Kabarbaru Network

https://beritabaru.co/

About Our Kabarbaru.co

Kabarbaru.co menyajikan berita aktual dan inspiratif dari sudut pandang berbaik sangka serta terverifikasi dari sumber yang tepat.

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store