Anggota DPR Tidak Perlu Mundur, Jika Ingin Maju di Pilkada Tahun 2024
Jurnalis: Hanum Aprilia
Kabar Baru, Jakarta – Ketua KPU Hasyim Asyari menyatakan caleg terpilih DPR tak perlu mundur jika maju di Pilkada 2024. Yang wajib mundur adalah Anggota DPR terpilih menjadi kepala daerah.
Hasyim mendasari pernyataannya lewat pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 12/PUU-XXII/2024. KPU diminta mempersyaratkan caleg terpilih yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah untuk membuat surat pernyataan bahwa ia bersedia mundur jika telah dilantik secara resmi menjadi anggota dewan.
Ketua DPP Partai NasDem Bidang Hubungan Legislatif Atang Irawan memandang apa yang disampaikan Hasyim sangatlah beralasan.
“Jika berkaca pada Pertimbangan Putusan MK No 12/PUU-XXII/2024 tidak ada kewajiban mundur karena status calon anggota DPR, anggota DPD dan anggota DPRD yang terpilih sesungguhnya belum melekat hak dan kewajiban konstitusional yang berpotensi dapat disalahgunakan oleh calon anggota DPR, anggota DPD dan anggota DPRD yang bersangkutan,” kata Atang, Senin (20/05/2024)
“Apalagi jika melihat selisih waktu antara pelantikan Anggota DPR/DPD/DPRD dengan pelaksanaan pemilihan kepala daerah sehingga belum relevan untuk memberlakukan syarat pengunduran diri,” terang Atang.
Atang menilai ada dua hal yang substantif bagi KPU untuk mengatur. Pertama, KPU harus mensyaratkan surat pernyataan bersedia mengundurkan diri jika telah dilantik sebagai kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah bagi calon anggota DPR, DPD, dan DPRD terpilih, karena secara substantif tidak diperbolehkan oleh peraturan perundang-undangan memiliki jabatan rangkap.
Kedua, calon anggota DPR, DPD, dan DPRD terpilih tidak boleh mengundurkan diri sebagai kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah, bahkan perlu juga diatur apabila mengundurkan diri maka dianggap jabatan organiknya yaitu anggota DPR, DPD, dan DPRD harus dianggap diskualifikasi.
“Meskipun dalam konteks penentuan jabatan yang dilakukan melalui official elected sangat bergantung pada kebebasan pemilih untuk menentukan pilihannya, tetapi perlu ada pembatasan agar tidak terjadi penyelundupan hukum yang beakibat pada disorientasi terhadap demokratisasi, maka itulah pentingnya saksi disualifikasi tersebut,” beber Atang
Lebih lanjut, Atang sangat memaklumi kondisi irisan norma terkait dengan mundur atau tidaknya calon anggota DPR/DPD/DPRD dalam kontestasi piilkada dikarenakan perumus UU pada saat menormakan Pasal 7 ayat (2) huruf s UU 10/2016 belum mempertimbangkan pelaksanaan pemilu legislatif dan pilkada yang dilaksanakan secara serentak pada tahun 2024.
Menurut atang agar tidak terjadi irisan norma yang tidak berkesesuaian satu sama lain dalam UU Pilkada, sebaiknya KPU memberikan usulan kepada lembaga yang berwenang melantik Anggota DPR/DPD/DPRD, untuk memundurkan waktu pelantikannya setelah pelaksanaan senegeta PHPU di Mahkamah Konstitusi:
“Karena terkait dengan pelantikan Anggota DPR/DPD/DPRD tidak diwajibkan harus dilaksanakan secara bersamaan,” tutur Atang.
Sebab, Atang berpendapat, irisan norma dalam UU PIlkada terkait dengan hanya mengatur kewajiban mundur bagi anggota legislatif aktif. Sedangkan penetapan sebagai pasangan calon kepala daerah sudah ditetapkan terlebih dahulu sebelum adanya pelantikan sebagai anggota legislatif, perlu menjadi pertimbangan dalam evalusai dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan terkait dengan Pemilihan Umum.
Kendati demikian, meskipun tidak ada kewajiban mundur bagi Calon Anggota DPR/DPD/DPRD dalam pendaftaran sebagai calon kepala daerah atau wakil kepala daerah, namun dapat saja partai yang mengusung calon kepala daerah atau wakil kepala daerah dapat memberlakukan kebijakan atau peraturan internal partainya.
“Agar mundur dari calon anggota DPR atau DPRD terpilih,” tandas Atang.