Privilege, Toxic dan Arti Sebuah Kebebasan

Editor: Ahmad Arsyad
KABARBARU, OPINI- Banyak dari kita yang selalu mengira bahwa privilege selalu berkaitan dengan nominal. Padahal privilage bukan hanya sekedar harta peninggalan. Kepercayaan dari orang tua juga merupakan sebuah privilege contohnya orang tua yang mengizinkan anaknya membuat keputusan sendiri, namun ketika sang anak gagal dengan keputusan pilihannya orang tua tidak pernah menuntut kenapa tidak berhasil, justru orang tua memberikan afirmasi kepada anak bahwa kegagalan juga harus didapatkan dalam hidupnya.
Kebebasan untuk menentukan pendidikannya, minat dan bakatnya serta cita-cita yang diinginkan. Tidak banyak anak yang mendapatkan kebebasan itu. Karena masih banyak saya menemui orang tua yang selalu ikut campur dalam urusan tadi. Wajar saja, karena setiap orang tua pasti menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya sehingga mereka merasa harus mengarahkan sang anak sebaik mungkin. Tapi apakah benar itu mengarahkan? Atau jangan-jangan sang anak dipaksa menuruti ambisi pribadi ayah atau ibunya.
Berdalih mengarahkan tapi realitanya anak harus tunduk kepada keinginan orang tuanya. Seakan-akan anak belum merdeka dan bebas serta leluasa untuk memilih menjadi apa ia kelak. Pendidikan yang diberikan oleh orang tuanya dijadikan perantara agar mudah mencari pekerjaan dengan menempati posisi strategis di instansi tertentu. Hal demikian membuat sang anak cenderung tumbuh rasa tanggung jawab besar kepada kedua orang tuanya juga keluarga besarnya.
Pertama, sebagai sang anak tentu sebuah kewajiban untuk taat kepada ayah dan ibu, sehingga apa yang diinginkan mereka seolah tak ada kuasa untuk melawan karena bagaimanapun ridho allah adalah ridho orang tua. Kedua, apabila dalam keluarga terdiri dari beberapa saudara, misalnya anak pertama yang selalu dituntut untuk sukses karena menjadi harapan dalam keluarga. Ketiga, apabila berasal dari keluarga tidak mampu, banyak mimpi pribadi anak yang harus dikubur dalam-dalam demi mewujudkan harapan orang tuanya.
Ketiga hal tersebut adalah beberapa contoh kecil dari banyaknya fenomena keluarga yang saya temui. Lagi-lagi setiap keluarga selalu memiliki sebuah privilege tersendiri, masalahnya sendiri dan kisahnya sendiri. Menurut saya, Tolak ukur harmonis sebuah keluarga bukan tentang seberapa banyak lulusan sarjana berasal dari keluarga tersebut, tetapi sebagaimana kebesaran hati setiap anggota keluarga untuk saling menghormati dan mengerti satu sama lain.