Wajah Res-Publica dalam Demokrasi Indonesia
Editor: Ahmad Arsyad
Kabar Baru, Opini – Dahulu pada Kongres Pemuda tahun 1928, sejak 3 baris kalimat Sumpah Pemuda dibacakan oleh kaum muda maka sejarah dan cerita aktivisme kaum muda dimulai.
Gerakan kaum muda itu adalah riak yang akhirnya beresonansi dan membesar menjadi gelombang perlawanan rakyat pada 2 (dua) dekade setelahnya yang melahirkan republik ini.
Gerakan aktivisme muda itu kontras dengan warna heroisme zaman yang hitam-putih, terjajah dan terbelakang. Cita-citanya sederhana, untuk memastikan bahwa kaum pribumi mampu menjadi bangsa berdaulat atas tanah airnya.
Serta memiliki kecukupan intelektual untuk mengelola kekayaan sumber dayanya dalam institusi negara yang merdeka dan mandiri, untuk kemaslahatan bersama.
Gerakan aktivisme pemuda dan ide tentang republikanisme adalah kulminasi gagasan yang solid dari kesadaran dialektis bahwa demokrasi bukan hanya anasir dari patriotisme yang melankolis.
Tapi lebih dari itu, gerakan aktivisme pemuda adalah pembauran (fusion) dari gairah intelektualitas dan paham res-publica yang mencita-citakan “eudaemonia” yang adil, harmonis setara, serta berkesahteraan bagi setiap warga negara.
Karena itu gerakan aktivisme pemuda adalah integral dari Gerakan republikanisme yang berupaya untuk memastikan bahwa jalanya demokrasi harus berkontribusi positif terhadap kehidupan publik pada setiap level dan ruang dimana kehidupan bernegara diselenggarakan.
Wajah Res-Publica dalam Demokrasi Indonesia
Wajah demokrasi kita hari-hari ini yang hanya nampak sebagai praktek transaksional juga rutinitas suksesi kepemimpinan periodik atas nama popularitas semata.
Demokrasi bukan menjadi momentum tukar tambah dan perkelahian ide untuk memperjuangkan kepentingan publik.
Sehingga kerinduan akan demokrasi sebagai “common ground” bagi berbagai kepentingan publik harus secara eksistensial dalam wujud penyelenggaraan pemerintahan bagi kepentingan publik.
Demokrasi yang tidak hanya menunjukkan potret pragmatisme temporal dalam praktek pemilu elektoral yang elitis tapi secara sublim narasi logis cita-cita demokrasi konsepsional dapat terlihat pada praktek sosial yang ril.
Olehnya itu, keberpihakan pemuda adalah upaya sofistik rasional dan kritis terhadap keberpihakannya pada publik,
Momentum demokrasi hanya tersimplifikasi dalam praktek dan rutinitas pemilu selama dua dekade terakhir belum secara lengkap merepresentasikan keinginan publik (public of hope).
Pemilu yang secara telanjang telah mempertontonkan transaksi oportunisme, sementara hakikatnya pemilu adalah mekanisme pelembagaan gagasan yang lahir secara otentik dari keresahan dan imajinasi intelektual publik.
Dewasa ini, jika kita merujuk pada narasi demokrasi yang hari-hari belakangan ini tidak menawarkan pembaharuan.
Narasi demokrasi kita selalu terasosiasi dan berpendar pada dokumen-dokumen sejarah masa lalu yang klise dan justru mereduksi makna dari sejarah tersebut (misalnya Sumpah Pemuda, Proklamasi, dll). Fatalnya lagi, realitas dunia aktivisme pun telah kehilangan pamornya dimata publik, (khususnya milenial).
Sehingga perubahan karena kemajuan teknologi yang telah menglobal (ruang digital; sosial media, dll) harusnya menjadikan kita untuk secara sadar membuka seluas-luasnya percakapan politik warga negara sebagai cara baru untuk memahami dan menjawab keresahan dan keinginan publik.
Alih-alih menjadikannya sebagai alat untuk memproduksi citra atau merekayasa data untuk sekedar capaian elektoral.
Pada titik ini aktivisme pemuda harusnya mengambil sikap tegas untuk berpihak pada demokrasi (juga politik) yang tumbuh dari imajinasi res-publica yang berbasis pada intelektualitas, rasionalitas, dan kritis.
Artinya, ide demokrasi haruslah berkesuaian dengan ide res-publika sebagai upaya untuk mempertahankan nuansa perdebatan dan pemurnian ide/gagasan yang terus-menerus dipertentangkan untuk memaksa praktek dominan dan perilaku politik yang teokratis pada instutisi publik yang dikendalikan oleh kepentingan privat yang sektarian.
Penentuan batas dan keberpihakan yang tegas dari elemen pemuda dalam demokrasi ini adalah upaya untuk memastikan bahwa gerak politik dan demokrasi masa depan harus berdasar pada ide, gagasan dan prakter politik untuk berorientasi pada kejelasan tujuan.
Ujungnya adalah gerakan aktivisme pemuda harus secara konsisten menjadi pendulum yang mendorong gerak demokrasi untuk berada pada patron res-publica, yakni pergeseran politik kekuasaan yg sarat dengan pragmatis transaksional menuju politik kesejahteraan yang inklusif.
Sehingga nuansa dan laku praktek politik tidak lagi akan dikendalikan oleh populisme yang hanya sekedar mengeksposur citra serta vandalisme feodal yang bersumber dari warisan dinasti politik yang pragmatis dan transaksional.
Citra dan praktik politik kekuasan tersebut akan digantikan oleh praktik politik rasional dan etis sebagai upaya menuju kesejahteraan Bersama bagi seluruh warga negara.
Aktivisme Pemuda menyongsong masa depan demokrasi Indonesia
Perubahan zaman nyatanya belum juga menjadikan aktivisme kaum muda mentransformasi diri.
Realitas dunia aktivis yang masih sering kita jumpai masih belum bergeser dari barisan unjuk rasa jalanan (di Jakarta sekalipun), saat kanal aspirasi melalui media elektronik dan media sosial berkali lipat kecepatannya menyasar si empunya aspirasi, kritik, dan tuntutan tertuju.
Keadaan di atas adalah fenomena yang paling tidak mengaskan dua hal. Pertama, proses demokrasi belumlah terlalu banyak beranjak untuk berubah.
Bahwa peristiwa tersebut menjadi indikasi bahwa negara belum secara signifikan melembagakan kepentingan publik.
Dengan kata lain, bahwa nilai abstraksi dari demokrasi belum secara utuh menjadi jawaban bagaimana pemenuhan kebutuhan warga negara mampu termanifestasi dalam kebijakan negara dalam wujud keadilan untuk mendistribusikan pelayanan negara dan mewujudkan kesejahteraan bersama.
Kedua, bahwa transformasi teknologi yang membentuk ruang digital itu belum cukup penting dan didengar sebagai sarana menyampaikan aspirasi bagi publik yang nyata dan otentik karena status binernya (yang juga membuka peluang pada hoax) sehingga rentan terhadap tunggangan kepentingan konservatif dan fundamentalis yang justru menodai kemurnian demokrasi.
Selain itu, ketergantungan politik yang tinggi terhadap uang membuat adanya kondisi “saling-sandra” antara kepentingan aktor politik dengan kepetingan pragmatisme pasar.
Sehingga dalam hal ini secara politik, kepentingan publik tengah berhadap-hadapan dengan dua kekuatan besar yakni tirani politik dan rente ekonomi dalam wujud kartel/oligarki pragmatis.
Kartel oligarki dengan berbagai cara akan terus mengilfiltasi proses politik (dalan hal perumusan kebijakan, peraturan dan program pemerintahan/negara) dalam rangka melanggengkan eksistensinya.
Sementara itu akses publik menjadi sumir terhadap pelayanan dan kesejahteraan. Maka kemudian, bagaimana harus menyikapi demokrasi Indonesia masa depan?
Sejak awal pembentukan republik ini menjadikan ide, gagasan dan pikiran adalah tools utama sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945 bahwa tujuan terbentuknya Pemerintah Negara Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.
Sehingga pilar demokrasi yang kita kehendaki harus terus berpijak pada kecerdasan. Maka dari itu ruang perdebatan dan pertarungan politik kita harus melapaui laku transaksionalitas dan primordialitas.
Akal dan pikiran harus mendahului popularitas dan elektabilitas serta keadilan dan kesetaraan harus mewujud nyata pada kehidupan warga negara serta keterbukaan untuk secara bersama membincang dan menyoal semua permasalahan publik dalam diskursus yang cair dan tidak absolut.
Sehingga narasi demokrasi kita akan lebih bernuansa inklusif yang menjamin suara-suara kelompok pinggiran yang terabaikan dalam narasi politik yang rekognitif bukan hegemonis karena kendali logika mayoritarianisme.
Dalam waktu tidak lama lagi kita akan kembali menghadapi pemilu di tahun 2024. Maka kewajiban pertama mengajukan proposal politik oleh tiap politisi/parpol yang hendak diajukan nantinya untuk dapat secara terbuka diuji oleh publik.
Sehingga praktek politik tidak digiring ke ruang privat (individu) yang rentan terhadap relasi kolutif dan koruptif. Juga sekaligus untuk membiasakan publik untuk secara sadar dan aktif menggugat “wakil-nya”
Yang selama ini hanya “seolah-olah sibuk” untuk secara etis untuk tidak hanya mempertahankan “kursi kekuasaan politiknya” yang alpa untuk memberikan pendidikan politik bagi publik.
Hal lainnya adalah untuk mengetahui roadmap dari proyek politik tersebut dalam upaya mewujudkan kesejahteraan.
Misalnya dalam hal bagaimana cara menggeser/menaikkan tingkat pendapatan kelas ekonomi bawah/rentan dan menengah masuk menjadi kelompok masyarakat sejahtera secara pendapatan.
Selain itu, harus ada garansi dan jaminan bahwa pemerataan/kesetaraan terhadap akses atas pengelolaan sumber daya dan ekonomi harus tercipta secara merata sehingga keuntungan atas “kue pembangunan” akan terdistribusi secara adil bagi publik.
Lantas, apa kepentingan dan peran strategis pemuda? Diperkirakan bahwa Pemilu 2024 akan didominasi oleh generasi Z dan milenial (rentang usia 17-39 tahun) yang jumlahnya mendekati angka 60 persen dari total pemilih.
Jumlah yang cukup untuk menentukan kemenangan dalam suatu kontestasi politik.
Tapi jika kita kembali pada realitas politik hari-hari ini peran kelopmpok pemuda seolah tersimplifikasi secara parsial menjadi sekadar objek/komoditas yang menjadi ceruk/basis suara yang diperebutkan secara politik.
Tapi, potensi kuantitas yang besar tersebut tidak lantas menjadikan kelompok pemuda dalam realitasnya dapat mengartikulasikan kepentingan politiknya secara langsung.
Terlebih karena secara ekonomi kelompok ini masih berada pada level ekonomi menengah dan kelompok rentan yang belum memiliki kemapanan.
Sehingga secara politis pemuda diposisikan sebagai kelompok apolitis yang dapat dikendalikan. Hal ini tentu bertentangan dengan semangat demokrasi yang memungkinkan suatu kelompok/entitas sosial untuk secara terbuka dan transparan.
Dan untuk mengemukakan kepentingannya secara argumentatif walaupun mereka mungkin tidak mempunyai kekuatan mayoritas dalam masyarakat.
Menyitir kembali pendapat Jacques Derrida tentang dekonstruksi, sebagai cara untuk mempertanyakan asumsi-asumsi yang mendasari konsep demokrasi, politik dan ekonomi untuk mengungkapkan sisi-sisi yang tersembunyi dari bahasa dan konsep-konsep tersebut.
Sekaligus mengkritik cara-cara kita berpikir tentang demokrasi politik dan ekonomi.
Maka berdasarkan cara pandang ini, pemuda harus mau dan aktif (menjadi aktivis) sebagai bagian dari publik untuk memastikan aktor/individu/partai (kekuatan politik) yang akan ikut dalam proses dan kontestasi demokrasi bernama pemilu itu benar-benar berpihak pada kepentingan publik atau justru menjadi cangkang untuk melanggengkan oligarki/kartel.
Pemuda harus kembali mewarisi fitrahnya sebagai agen perubahan sebagai “zoon policon” untuk ikut aktif dalam demokrasi. Pemuda harus mampu menawarkan rumusan demokrasi yang tidak hanya berbasis pada ideologi yang abstrak.
Tapi lebih dari itu harus mampu mengawal pelembagaan demokrasi dalam mendistribusikan pelayanan dan kebutuhan dasar.
Sehingga keberpihakan pemuda pada politik dan demokrasi bermakna penolakan terhadap politik kekuasaan yg sarat dengan pragmatisme transaksional menuju politik kesejahteraan bagi warga negara sebagai bagian integral dari ide res-publica.
Penulis adalah M. Ryano S. Panjaitan, Ketua Umum DPP KNPI