Forum BEM DIY Resmi Gugat KUHP Ke Mahkamah Konstitusi
Jurnalis: Veronika Dian Anggarapeni
Kabar Baru, Jakarta – Sebanyak 20 mahasiswa yang tergabung dalam Forum Badan Eksekutif Mahasiswa Se-Daerah Istimewa Yogyakarta menguji Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana, khususnya terkait pengaturan hukuman mati untuk pelaku korupsi.
Mereka meminta MK menambahkan ancaman hukuman mati bagi pelaku korupsi. Pengaturan seperti itu diyakini bisa menekan angka korupsi di Indonesia yang dalam tiga tahun terakhir menunjukkan peningkatan kasus secara signifikan.
Koordinator Bidang Kajian Strategis Forum BEM Se-DIY, Andi Redani Suryanata, mengungkapkan, saat ini KUHP tidak memberlakukan ancaman pidana mati untuk pelaku korupsi. Hukuman maksimal yang dapat dijatuhkan mengacu pada pasal-pasal korupsi di KUHP, hanya pidana penjara selama 20 tahun atau pidana seumur hidup.
Selain itu, KUHP mengurangi batas minimum hukuman untuk pelaku korupsi menjadi dua tahun. Padahal, di dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ancaman hukuman empat tahun.
Hukuman mati untuk pelaku korupsi sebenarnya sudah diatur di dalam UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tetapi hanya dijatuhkan dalam keadaan tertentu (Pasal 2 ayat 29).
Adapun yang dimaksud dengan keadaan tertentu adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku korupsi, yaitu apabila perbuatan tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan korupsi.
“Kami minta keadaan tertentu tersebut dicabut. Jadi, hukuman mati dijatuhkan untuk pelaku korupsi secara umum,” kata dia.
Oleh karenanya, ia meminta agar MK mengubah Pasal 603 dan Pasal 604 KUHP dengan menambahkan ancaman hukuman mati di dalam kedua pasal tersebut.
Sehingga, Pasal 603 berbunyi “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi menyalahgunaan kewenangan, kesempatan. Atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit kategori II dan paling banyak kategori VI”.
Penambahan ancaman pidana mati juga ditambahkan dalam pasal 604 KUHP. Dengan demikian, bunyi pasal tersebut menjadi “Setiap Orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau Korporasi menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana mati, atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit kategori II dan paling banyak kategori VI”.
Para pemohon juga menggunakan dalil korupsi sebagai kejahatan yang luar biasa atau extraordinary crime. Dibutuhkan penanggulangan dengan cara-cara yang luar biasa (extraordinary measure) dan dengan menggunakan instrumen-instrumen hukum yang juga luar biasa.
Mengutip data Indonesia Corruption Wacth (ICW), dalam kurun tiga tahun terakhir, terjadi peningkatan kasus korupsi. Apabila pada tahun 2020 terdapat 444 kasus korupsi, setahun berikutnya ada 533 kasus korupsi. Sementara pada tahun 2022, terdapat lonjakan drastis kasus korupsi yang ditangani aparat penegak hukum, yakni 1.031 kasus.
Sejumlah mahasiswa mengajukan uji materi Kitab Undang-undang Hukum Pidana, khususnya terkait pasal korupsi, yang tidak memuat ancaman hukuman mati. Mereka meminta Mahkamah Konstitusi menambahkan ancaman pidana mati untuk pelaku korupsi demi efek jera. Permohonan didaftarkan ke MK, Rabu (11/1/2023)
“Dengan kian meningkatnya kasus korupsi yang terjadi di Indonesia, sudah selazimnya ancaman pidana terhadap tindak pidana korupsi sebagai salah satu langkah upaya untuk mengurangi para pejabat yang korupsi,” ungkap pemohon.
Menurut Andi, ancaman pidana yang seberat-beratnya akan berguna untuk menakut-nakuti sehingga orang tidak lagi korupsi, memperbaiki hingga kondisinya seperti semula (resitutio in integrum), dan melindungi masyarakat dari kejahatan. Ini selaras dengan teori relatif dalam pemidanaan.
Dengan demikian, para pemohon uji materi pasal korupsi di KUHP berpandangan bahwa sudah selayaknya kitab hukum pidana RI mengatur hukuman maksimal bagi pelaku korupsi dengan pidana mati.
“Dengan ancaman tersebut, maka diharapkan orang-orang yang ingin melakukan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara dapat mengurungkan niatnya, sehingga angka kasus korupsi di Indonesia dapat berkurang,” kata Andi dalam keterangan tertulis yang diterima kabarbaru.co di Jakarta.
Para mahasiswa tersebut pernah melakukan studi terhadap penindakan korupsi di Taiwan yang memberlakukan pidana mati bagi siapapun yang korupsi.
Mengacu pada laman Trading Economics yang dikutip pemohon, selama empat tahun berturut-turut, peringkat korupsi di Taiwan semakin rendah (semakin besar peringkat, korupsi makin marak dan begitu pula sebaliknya).
Penurunan peringkat terjadi cukup signifikan. Pada 2018, Taiwan ada di peringkat 31 disusul pada 2019 dan 2020 ada di peringkat 28. Hingga pada 2021 lalu, Taiwan ada di ranking 25.
Pemohon berpandangan, jika Indonesia menerapkan pidana mati sebagai ancaman pidana maksimum, angka korupsi diharapkan kian tertekan.