Menghadapi Ancaman Resesi Global 2023

Editor: Ahmad Arsyad
Kabar Baru, Opini- Presiden Indonesia, Joko Widodo, sempat menyinggung dalam salah satu pidatonya bahwa situasi ekonomi tahun ini sulit, dan situasi ekonomi tahun depan akan gelap. Pernyataan Presiden tersebut hampir senada dengan banyaknya pernyataan serupa yang mulai sering kita dengar akhir-akhir ini, baik oleh pejabat publik nasional lainnya, influencer, maupun berbagai masyarakat dari seluruh lapisan. Pernyataan-pernyataan tersebut merujuk kepada satu kekhawatiran, yakni ancaman resesi ekonomi global tahun 2023 mendatang. Pertanyaannya, apa sebenarnya resesi ekonomi itu? Dan, bagaimana Islam “dalam hal ini ekonomi syariah” memandang fenomena itu?
Apa itu Resesi?
Resesi sendiri sebenarnya tidak memiliki definisi tunggal yang diakui secara universal. Berbagai pakar ekonomi akan memiliki argumennya masing-masing ketika berusaha untuk menjelaskan secara detail apa yang dimaksud dengan resesi tersebut. Namun, ada semacam standar dalam penulisan artikel berita di koran maupun majalah—baik digital maupun konvensional—ketika menggunakan term ‘resesi’ dalam tulisan-tulisannya. Resesi merujuk kepada penurunan Produk Domestik Bruto (PDB) selama dua atau lebih kuartal berturut-turut (Moffatt, 2018). Definisi sederhana ini mungkin akan mendapatkan pertentangan dari para ekonom, karena definisi sederhana ini seolah tidak mempertimbangkan variabel-variabel lain seperti pengangguran atau tingkat kepercayaan konsumen.
Definisi ini juga cenderung menggunakan data triwulan untuk menjelaskan resesi. Sehingga, melalui definisi sederhana ini kurang dapat dipastikan kapan resesi itu dimulai dan berakhir. Namun, tulisan ini tetap akan menggunakan definisi sederhana dari resesi tersebut, dikarekanan kemudahan pemahaman bagi mereka yang tidak berkecimpung dalam dunia ekonomi. Intinya, resesi adalah kondisi dimana PDB suatu negara merosot, sehingga menimbulakan fenomena perlambatan perputaran ekonomi suatu negara. Jikalau terjadi secara global (melibatkan banyak negara), maka resesi dapat diartikan sebagai perlambatan perputaran ekonomi secara global. Perbedaan definisi ‘resesi’ bukan menjadi bagian dan fokus dari tulisan ini.
Ekonomi Syariah dalam Memandang Resesi
Lalu, bagaimana ekonomi syariah memandang fenomena ini? Ekonomi syariah sendiri memiliki prinsip yang mana sumber hukumnya berdasarkan dari Al-Qur’an, As-sunnah, serta ijma’ para ulama. Dalam Al-Qur’an sendiri, disebutkan bahwa ada semacam kewajiban untuk memelihara keseimbangan ekonomi dan mewujudkan keadilan sosial bagi individu maupun masyarakat Islam. Hal ini sebagaimana yang tertuang dalam QS. Al-Hasyr ayat: 7, yang artinya: “supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang yang kaya saja di antara kamu”. Oleh karenanya, ekonomi syariah, dalam menghadapi ancaman resesi global tahun 2023 mendatang, sudah sepatutnya mengambil peran lebih untuk menghadapi ancaman badai resesi tersebut.
Ekonomi syariah dapat berperan dalam memberikan insentif untuk meningkatkan pendapatan negara, sehingga dapat mendongkrak perputaran uang di tengah-tengah masyarakat dan menumbuhkan ekonomi yang terancam melambat karena adanya resesi. Pemberian insentif dari sektor ekonomi syariah tersebut dapat dilakukan melalui peningkatan Zakat, Infaq, Shadaqah, dan Wakaf (ZISWAF). Tentu, dibutuhkan ikhtiar lebih agar ZISWAF dapat secara optimal berperan dalam menghadapi ancaman resesi. Hal yang paling penting adalah bagaimana penyaluran ZISWAF tersebut dilakukan. Selain optimalisasi ZISWAF, ekonomi syariah dapat mengambil peran untuk menciptakan kebijakan industri ekonomi halal yang tentunya dapat mendorong pertumbuhan ekonomi selama resesi nanti.
*) Penulis adalah Amalya Natasha, Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kabarbaru.co