Kunker di Kaltara, Mahyudin Soroti Masalah Pertanahan dan Infrastruktur
Jurnalis: Hanum Aprilia
KABARBARU, KALTARA– Kunjungan kerja (Kunker) Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Mahyudin di Kalimantan Utara 28-30 Maret 2022, turut didampingi Wakil Menteri (Wamen) Agraria Tata Ruang (ATR)/Waka Badan Pertanahan Nasional (BPN) Surya Tjandra dan Wakil Menteri (Wamen) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Alue Dohong.
Mahyudin mengatakan, kehadiran dua wamen dalam kunjungan itu, demi menyelaraskan cara pandang terhadap permasalahan pembangunan daerah. Sehingga apapun aspirasi rakyat, diharapkan bisal dikoordinasi dengan baik.
“Agar mereka melihat langsung hambatan, peluang, dan permasalahan pembangunan di Kaltara. Sehingga bisa secara cepat dikeluarkan kebijakan yang tepat, setelah melihat dan mendengar langsung aspirasi masyarakat di bawah,” kata Mahyudin, dalam keterangan tertulis, Kamis, (31/3/2022).
Kunjungan kerja yang diisi dengan diskusi publik sekaligus juga kunjungan lapangan itu memang telah menghimpun berbagai masukan dan aspirasi, yang berasal dari kelompok masyarakat, pemerintah daerah, maupun masyarakat. Beberapa permasalahan yang ditemui antara lain, terkait pertanahan, seperti penguasaan tanah yang berada di dalam kawasan hutan. Wakil Menteri ATR/Waka BPN, Surya Tjandra, mengatakan, bahwa permasalah lahan di dalam hutan sudah berupaya dibenahi dengan menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan (PPTKH).
“Kami sedang bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk membenahi batas kawasan hutan, karena perintah presiden jelas di situ. Mudah-mudahan PPTKH bisa mencairkan suasana, menjadi salah satu terobosan yang bisa mendukung pembangunan, juga di sisi lain menjaga lingkungan,” ucapnya.
Dalam forum itu, Surya pun mengku sangat terkesan dengan kekompakan antara Wakil Ketua DPD RI dan beberapa anggota DPD dapil Kaltara, lintas komite, yang turut dalam kunjunhan kerja. Sehingga berbagai permasalahan di daerah diharapkan bisa segera diatasi.
“Untuk membenahi permasalahan yang ada, peran masyarakat yang solid diperlukan. Di samping itu, peran DPD yang solid sebagai perwakilan dari daerah serta masyarakatnya juga diperlukan, untuk menjembatani antara pemerintah dengan masyarakat,” imbuhnya.
Sedangkan Wamen KLHK Alue Dohong, mengakui masih banyaknya persoalan kepemilikan lahan dan kehutanan di Kaltara. Menurutnya, saat ini pemerintah telah menyetujui pola Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (PPTKH) di 130 kabupaten/kota seluruh Indonesia dengan total luas lahan 330.357 hektare yang akan dilaksanakan.
“Mengenai kampung-kampung tua yang perlu sertifikasi namun statusnya di kawasan hutan, kita keluarkan sertifikatnya, kita ubah batas hutannya, supaya ada legalisai aset di masayarakat. Artinya rakyat mendapatkan kepastian atas tanah yang didapat dari hutan,” jelasnya.
Infrastruktur Perbatasan
Dalam kunjungan kerja di Kaltara, Mahyudin juga melihat masih banyaknya tantangan pembangunan yang dihadapi Provinsi termuda itu, terutama ketersediaan infrastruktur yang layak di perbatasan dengan Malaysia, seperti di di Kecamatan Krayan, Kabupaten Nunukan. Ia pun mengingatkan pemerintah untuk tidak mengabaikan pembangunan di wilayah perbatasan itu, sehingga tidak terulang lagi kasus lepasnya Sipadan-Ligitan yang diklaim Malaysia.
Tidak bisa dipungkiri bahwa pada daerah perbatasan, terdapat banyak potensi ancaman dan ganggun terkait kedaulatan negara. Mahyudin menambahkan, bahwa harus diakui bahwa masyarakat Indonesia di perbatasan, secara ekonomi bergantung dari Malaysia, karena adanya keterbatasan transportasi darat yang dibangun di wilayah Krayan. Walaupun sampai saat ini, menurutnya nasionalisme masyarakat di sana masih kuat.
“Rakyat di sana benar-benar teruji kesetiaannya pada Indonesia. Bahkan ada jargon di sana ‘Ringgit di Dompetku, Malaysia di perutku, namun Garuda tetap di Dadaku.’ Itu artinya betapapun rakyat di perbatasan begitu familiar dengan uang Ringgit Malaysia, bahan makanan pun lebih murah dari sana, namun kesetiaan mereka pada NKRI tidak tergoyahkan,” tegas Mahyudin.
Mahyudin meminta kondisi tersebut tak boleh diabaikan. Sebab, sangat tidak adil jika negara mengabaikan penderitaan rakyat di perbatasan yang justru banyak bergantung pada produk negara tetangga, menyadari barang kebutuhan pokok dari dalam negeri jauh lebih mahal, akibat akses transportasi yang sulit.
“Berbagai keterbatasan infrastruktur itu, membuat ada ketimpangan yang sangat besar antara warga Indonesia di Kecamatan Krayan, Kabupaten Nunukan, Kaltara, dengan tetangga di Sabah dan Serawak, Malaysia,” katanya.
Ironisnya masyarakat yang tinggal di Krayan juga kesulitan memiliki tanah bersertifikat, karena hampir seluruh wilayah itu berstatus hutan lindung. Padahal menurut Mahyudin, penting sekali keberadaan sertifikat di wilayah perbatasan, sebagai wujud eksistensi negara.
“Belajar dari pengalaman kasus Sipadan-Ligitan yang akhirnya menjadi milik Malaysia, karena di mahkamah internasional, bukti otentik kepemilikan Indonesia lemah. Seandainya di wilayah Sipadan-Ligitan ada kepemilikan sertifikat tanah milik warga Indonesia, mungkin akan lain ceritanya,” katanya,”katanya.
Mahyudin juga menganggap, ada perbedaan perlakuan dua negara terhadap perbatasan, jika di Indonesia daerah perbatasan dijadikan hutan lindung, maka di Malaysia dijadikan pusat pertumbuhan ekonomi, seperti mendirikan pabrik CPO. Hal inilah yang menurutnya harus diperhatikan oleh pemerintah, terutama Kementerian ATR/BPN, serta kementerian LHK.
“Bukan berarti saya menyarankan agar seluruh hutan lindung dialihfungsikan, tapi kita harus melihat fakta bahwa ada rakyat Indonesia, saudara kita di sana yang butuh tempat tinggal, hidup dan berusaha dan sebagainya. Mohon agar hal ini menjadi prioritas Kementerian ATR,” jelas Mahyudin kepada Wakil Menteri ATR/BPN Surya Tandra saat itu.
Menurut Wamen ATR/Waka BPN Surya Tjandra, bahwa masalah itu tidak lepas dari kompleksnya kepengurusan agraria, karena masih adanya tumpang tindih regulasi, membuat teknis pelaksanaannya masih ego sektoral.
“Di sini ada tantangan wilayah perbatasan. Jadi tidak cuma sekadar pelayanan publik tetapi pertumbuhan di daerah perbatasan dengan Malaysia, artinya memang kompleks permasalahan di sini,” katanya.
Dengan situasi seperti itu, menurutnya Kementerian ATR/BPN tidak bisa lagi berfikir ego sektoral, namun harus kerja bersama lintas sektoral, termasuk dengan Kementerian LHK.
“Kita tata yang benar, karena tata batas kawasan hutan jadi kunci di sini,” tuturnya.
Selain di Krayan, tantangan infrastruktur jalan perbatasan dengan malaysia juga ditemukan di Apau Kayan, Kabupaten Malinau Kaltara. Lokasi di mana masyarakat terisolir akibat ketiadaan jalan yang layak, selain jalan peninggalan PT Sumalindo. Namun sekarang, jalan itu tidak lagi terawat, karena PT Sumalindo tidak beroperasi lagi.
“Di sini ada dilema, ketika pemerintah mau membangun jalan, namun status jalan masih menjadi milik perusahaan. Kecuali ada pelepasan. Nanti kami akan panggil PT Sumalindo untuk minta kejelasan kepemilikan jalan dari mereka,” pungkas Mahyudin.