Investasi Hijau Sumenep, Mutiara Pembangunan Berkelanjutan

Jurnalis: Rifan
Kabarbaru, Opini – Sumenep merupakan daerah yang terletak di ujung timur di Pulau Madura, yang menyimpan kekayaan alam luar biasa.
Dari hamparan laut yang kaya biodiversitas hingga cadangan minyak di pulau-pulau kecilnya, potensi ini bisa menjadi pilar kemajuan ekonomi.
Namun, di tengah peluang tersebut, ancaman eksploitasi berlebihan dan kerusakan lingkungan menjadi bayang-bayang yang tak boleh diabaikan. Diskursus ini penting untuk diangkat, lebih-lebih menjadi rekomendasi bagi pihak berwenang.
Sebab, Sumenep sendiri berada di persimpangan, antara menjadi contoh pembangunan berkelanjutan, mengabaikan potensi alam atau bahkan terjebak dalam pola eksploitasi jangka pendek yang merusak lingkungan.
Perencanaan tata ruang strategis, bisa menjadikan Sumenep sebagai laboratorium pembangunan yang mengharmonisasikan ekonomi, kesejahteraan masyarakat dan ekologi.
Sumber Daya Alam Sumenep dan Potensinya
Sumenep merupakan salah satu mosaik kekayaan alam Indonesia. Di sektor energi, pulau-pulau kecil seperti Kangean dan sekitarnya menyimpan cadangan minyak dan gas yang signifikan.
Data Kementerian ESDM (2022) mencatat, Blok Madura Strait di sekitar Kepulauan Kangean memiliki potensi gas mencapai 1,4 triliun kaki kubik, dengan produksi harian sekitar 170 juta kaki kubik.
Selain energi, wilayah ini juga dikaruniai sumber daya perikanan yang melimpah. Penelitian Universitas Airlangga tahun 2023, menyebut perairan Sumenep sebagai habitat bagi 152 spesies ikan ekonomis, termasuk tuna dan kerapu, yang menjadi tulang punggung nelayan lokal.
Tak hanya laut, daratan Sumenep juga produktif. Lahan garam di Kecamatan Kalianget, misalnya, menghasilkan 40% dari total produksi garam nasional (BPS, 2023).
Sektor pertanian pun tak kalah vital, dengan komoditas seperti jagung, tembakau, dan buah-buahan tropis yang menjadi sumber penghidupan masyarakat.
Sayangnya, potensi ini belum sepenuhnya dikelola secara optimal. Eksploitasi sumber daya tanpa perencanaan matang berisiko menggerus keberlanjutan ekologi dan sosial.
Investasi Berkelanjutan, dari Konsep menuju Konteks
Prinsip sustainable investing bisa menjadi solusi atas pengelolaan modal alam yang dimiliki Sumenep. Investasi yang memadukan keuntungan ekonomi dengan perlindungan lingkungan dan keadilan sosial.
Beberapa pakar menegaskan bahwa investasi berkelanjutan bukan hanya mengurangi risiko kerusakan lingkungan, tetapi juga membuka peluang pendapatan jangka panjang melalui sektor hijau seperti energi terbarukan dan ekowisata.
Peningkatan kesadaran global tentang pentingnya keberlanjutan mendorong para investor untuk semakin memperhatikan aspek lingkungan dalam memilih portofolio investasinya.
Negara yang berfokus pada green finance dapat menarik lebih banyak investasi asing yang tertarik pada proyek ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Dampaknya, daerah yang fokus pada keberlanjutan akan memiliki daya tarik lebih besar di pasar global. Hal ini sejalan dengan tren Environmental, Social, and Governance (ESG) yang kini menjadi acuan utama investor institusional.
Contoh nyata bisa dipelajari dari PT Vale Indonesia Tbk (INCO), perusahaan pertambangan dan pengolahan nikel di Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan, yang meraih PROPER Hijau pada 2021. Perusahaan ini menerapkan prinsip 3R (reuse-reduce-recycle), Life Cycle Assessment (LCA), penurunan pencemaran air, dan pemberdayaan masyarakat.
Hal ini membuktikan industri ekstraktif bisa ramah lingkungan dengan beralih ke PLTA untuk produksi nikel, mengurangi emisi 1,1 juta ton CO2 per tahun dibanding generator diesel, serta membatalkan proyek konversi batubara yang berpotensi menghemat US$40 juta/tahun demi menghindari emisi 200.000 ton CO2.
Inisiatif lain mencakup rehabilitasi lahan pascatambang, konservasi vegetasi endemik, dan fasilitas pengolahan limbah berteknologi tinggi, menegaskan bahwa keberlanjutan dan profitabilitas dapat berjalan beriringan.
Di tingkat global, Norwegia menjadi patronase ideal. Negeri ini menggunakan pendapatan minyaknya untuk membangun sovereign wealth fund (dana kekayaan negara) yang diinvestasikan dalam proyek-proyek ramah lingkungan. Hasilnya, Norwegia tidak hanya kaya secara finansial, tetapi juga menjadi pelopor transisi energi global.
Langkah serupa bisa dilakukan Sumenep dengan mengadopsi praktik pertambangan berkelanjutan ala Luwu Timur bahkan Norwegia.
Pemerintah daerah bisa mendorong korporasi untuk beralih ke energi terbarukan, menerapkan teknologi rendah emisi, dan mengalokasikan sebagian keuntungan bagi restorasi ekosistem.
Selain itu, regulasi ketat terkait tata kelola limbah dan partisipasi masyarakat dalam pengawasan harus menjadi prioritas.
Keseimbangan Potensi dan Tantangan Dampak Lingkungan
Memanfaatkan sumber daya alam Sumenep tanpa merusak lingkungan memerlukan pendekatan holistik. Di sektor energi, pengembangan green infrastructure seperti pembangkit listrik tenaga surya atau angin bisa menjadi alternatif untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil.
Di sektor perikanan, penerapan marine spatial planning (penataan ruang laut) yang ketat akan mencegah overfishing dan kerusakan terumbu karang.
Namun, realita di lapangan menunjukkan bahwa tidak semua investasi hadir dengan niat baik. Proyek ambisius budidaya benih lobster oleh PT Bandar Laut Dunia Grup (Balad Grup) di perairan Sumenep menjadi contoh nyata ketegangan antara pembangunan ekonomi dan keberlanjutan ekosistem.
Perusahaan ini berencana memasang 80.000 keramba di 16 teluk seluas 8.000 hektare, dengan klaim menjadikan Indonesia sebagai pusat budidaya lobster global.
Namun, proyek ini menuai penolakan keras dari masyarakat Desa Saobi. Warga menuding proses perizinan dan analisis dampak lingkungan (amdal) tidak transparan, sementara rencana penebangan mangrove untuk jangkar keramba dikhawatirkan merusak ekosistem pesisir yang vital bagi mitigasi abrasi dan habitat biota laut.
Penolakan ini diperkuat dengan aksi demonstrasi dan surat penolakan bermaterai dari Kepala Desa Saobi pada Desember 2024 silam.
Ironisnya, muncul dokumen persetujuan dari 42 warga yang diinisiasi perusahaan dan aparat setempat, mengindikasikan praktik kooptasi kepentingan.
Nelayan tradisional, yang selama ini menggantungkan hidup pada hasil tangkapan ikan dan kepiting, merasa terancam. Kehadiran keramba raksasa berisiko mengganggu jalur penangkapan ikan, mengkontaminasi perairan dengan limbah budidaya, dan memicu konflik ruang laut.
Janji rekrutmen kerja dari perusahaan pun dianggap ambigu, tanpa kejelasan kuota dan skema pemberdayaan yang inklusif.
Fenomena ini mengingatkan kita bahwa pembangunan berbasis investasi haruslah inklusif dan berpijak pada prinsip kehati-hatian ekologis.
Jika tidak, yang terjadi adalah pengorbanan jangka Panjang, kerusakan lingkungan yang irreversibel dan marginalisasi masyarakat lokal.
Sebaliknya, seperti yang ditunjukkan oleh rehabilitasi lahan pascatambang Vale Indonesia atau partisipasi masyarakat adat Raja Ampat dalam menjaga laut, kolaborasi antara korporasi, pemerintah, dan komunitas lokal adalah kunci mencapai keberlanjutan.
Sumenep berada di titik persimpangan, antara kekayaan alamnya bisa menjadi berkah atau bencana, tergantung pada cara mengelolanya.
Dengan tata ruang strategis yang mengedepankan keberlanjutan, kabupaten ini bisa menjadi contoh bagaimana pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan berjalan beriringan.
Langkah konkret harus segera diambil, mulai dari regulasi yang pro-lingkungan, investasi berbasis ESG, hingga pemberdayaan masyarakat sebagai penjaga alam.
Jika diurus dengan bijak, warisan alam Sumenep bukan hanya untuk dinikmati hari ini, tetapi juga oleh generasi mendatang.