Esensi Moderat Pasal Perzinaan dan Kohabitasi Dalam Undang-undang KUHP

Editor: Ahmad Arsyad
Kabar Baru, Opini – Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) resmi disahkan menjadi Undang-Undang (UU) pada hari Selasa, 6 Desember 2022. Hal ini merupakan sebuah sejarah baru dalam proses pembaharuan hukum di Indonesia.
Namun tentunya, dalam sebuah negara yang berisi dari banyak suku, bangsa, ras, dan agama dengan melihat banyak perbedaan isi kepala, kepentingan, dan kebutuhan, maka hal ini pun menuai pro dan kontra.
Beberapa masyarakat menilai bahwa terdapat pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tersebut yang masih multitafsir dan perlu dikaji lebih spesifik kembali, satu diantaranya adalah pasal 411 yang membahas perzinaan, dan pasal 412 mengenai larangan tinggal bersama sebagai suami isteri di luar perkawinan (kumpul kebo/kohabitasi).
Perdebatan terkait pasal tersebut berlanjut kepada spekulasi besar di berbagai media informasi yang mendoktrinisasi pemikiran masyarakat Indonesia, menghasilkan sebuah citra bahwa negara terlalu jauh memasuki ruang privat warga negaranya, tanpa mengkaji terlebih dahulu “sisi terang” dari pasal tersebut.
Kesesatan informasi yang menjamur menghasilkan kekhawatiran investor dalam sektor pariwisata khususnya di daerah yang didominasi oleh Warga Negara Asing, bahkan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) pun ikut berkomentar terkait hal tersebut.
Perlu dipahami bahwa pasal tersebut merupakan delik aduan absolut, yang mana tidak sembarang orang dapat melaporkan, dalam hal ini yang berhak adalah suami atau istri bagi yang terikat perkawinan dan orang tua atau anak bagi yang tidak terikat perwakinan.
Maka, kekhawatiran akan adanya “kriminalisasi” hukum yang berujung kepada penggerebekan pun usai. Lebih jauh dari itu, pasal tersebut justru melindungi korban dari perilaku tidak bertanggung jawab yang dilakukan oleh pasangan suami/istri, juga menyingkirkan tindakan ‘main hakim’ sendiri oleh warga.
Lalu dimanakah esensi moderat pada pasal tersebut?
Terdapat dua perbedaan pandangan antara masyarakat religius yang menilai pemerintah kurang tegas, dalam mengatasi persoalan zina juga degradasi moral di Indonesia dan masyarakat yang menilai bahwa hal-hal terkait perzinaan juga kohabitasi merupakan hak personal.
Kemudian, pemerintah tidak memiliki hak mencampuri urusan tersebut, maka di-gandeng lah dua nilai tersebut dan menghasilkan sebuah pasal yang mempertemukan nilai juga citra Indonesia yang menganut budaya ketimuran tanpa mengebiri hak asasi manusia. Sebuah moderasi hukum yang berbahagia.
*) Penulis adalah: Annisa Rahma Zein, Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Pancasila