Kopdes Merah Putih: Solusi atau Petaka dalam Praktik Otonomi Daerah?

Editor: Ahmad Arsyad
Kabar Baru, Kolom – Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2025 tentang Percepatan Pembentukan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (selanjutnya disebut Kopdes Merah Putih) digulirkan sebagai strategi nasional untuk memperkuat ekonomi kerakyatan melalui kelembagaan koperasi. Program ini menargetkan pembentukan 80.000 koperasi desa/kelurahan di seluruh Indonesia, dengan sumber pendanaan berasal dari APBN, APBD, dan sumber sah lainnya. Namun, dalam pelaksanaannya, muncul pertanyaan kritis: apakah Kopdes Merah Putih benar-benar solusi dalam penguatan ekonomi lokal, atau justru berpotensi menjadi petaka dalam praktik otonomi daerah?
Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pemerintah daerah memiliki otonomi luas untuk mengelola urusan pemerintahan, termasuk pemberdayaan ekonomi desa. Namun dalam praktiknya, pelimpahan dana dari pusat ke daerah tanpa kesiapan institusi lokal justru memunculkan kerentanan dalam tata kelola, termasuk moral hazard dan penyalahgunaan wewenang (Widjaja, 2016).
Koperasi Desa Merah Putih sejatinya dirancang sebagai wadah pemberdayaan ekonomi masyarakat di tingkat akar rumput sebuah instrumen kolektif untuk mewujudkan cita-cita ekonomi kerakyatan. Namun dalam praktiknya, harapan tersebut seringkali tergeser oleh kepentingan sempit oknum tertentu yang menjadikan koperasi bukan sebagai alat pembangunan, melainkan sebagai instrumen kekuasaan di tingkat desa. Fenomena penyalahgunaan kewenangan oleh sebagian kepala desa dan aparatnya tercermin dari cara mereka mengelola Dana Desa selama lebih dari satu dekade terakhir. Kejujuran, integritas, dan profesionalisme, yang seharusnya menjadi fondasi etika jabatan, kerap kali dikalahkan oleh praktik transaksional dan politik kekerabatan.
Pertanyaan mendasar yang terus bergema di tengah masyarakat adalah: Ke mana sesungguhnya arah dana desa mengalir ? Apa saja hasil pembangunan konkret yang benar-benar dirasakan oleh warga? Tidak sedikit warga yang menyuarakan kekecewaannya karena mendapati bahwa implementasi penyaluran dana desa seperti pendirian Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dan pendirian koperasi desa merah putih yang sedang mencuat ke permukaan justru menjadi kedok untuk praktik pencucian uang oleh segelintir elite desa. Alih-alih menjadi motor penggerak ekonomi lokal, lembaga tersebut justru disalahgunakan demi kepentingan pribadi.
Program Kopdes Merah Putih harusnya membawa potensi positif dalam hal pembangunan ekonomi lokal, peningkatan pendapatan masyarakat desa, serta penguatan kelembagaan koperasi. Pemerintah pusat menekankan bahwa koperasi dapat menjadi instrumen demokratis dalam distribusi manfaat ekonomi. Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 33 ayat (1) UUD 1945, “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan”.Namun, berbagai temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menunjukkan bahwa program-program berbasis koperasi sebelumnya sering mengalami permasalahan akuntabilitas. Laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I BPK RI tahun 2023 menunjukkan bahwa banyak program bantuan ekonomi desa mengalami ketidaksesuaian penggunaan dana, lemahnya sistem pelaporan, dan rendahnya partisipasi pengawasan masyarakat (BPK RI, 2023).
Koperasi sebagai entitas non-pemerintah memiliki kelemahan struktural, terutama dalam pengawasan internal dan pelaporan keuangan. Dalam kasus korupsi dana koperasi tahun 2011 pada program pembangunan infrastruktur daerah transmigrasi, koperasi digunakan sebagai kendaraan hukum untuk menyamarkan praktik gratifikasi pejabat (KPK, 2012).
Selain itu, ketidakharmonisan antara peraturan pusat dan kemampuan regulatif daerah juga menjadi kendala. Inpres No. 9/2025 sebagai produk hukum bersifat instruktif belum memiliki kekuatan mengikat yang setara dengan Peraturan Presiden atau Peraturan Pemerintah, sehingga implementasi di daerah kerap menghadapi kekosongan regulasi teknis (Saputra, 2021).
Pendanaan program Koperasi merah putih tidak hanya bersumber dari dana desa saja tetapi bisa dari APBN, APBD, dana desa, atau sumber lain. Namun pada praktiknya dipandang terlalu terburu-buru. karena tidak semua daerah siap dengan hal tersebut. terlebih jika program koperasi ini pada tahun 2025 tidak masuk dalam RKPD dan RPJMD. Jika RPJMD telah ditetapkan sebelum Inpres terbit, maka pemda dapat menyesuaikan melalui revisi atau perubahan RPJMD (dapat dilakukan 1 kali masa jabatan kepala daerah menurut Permendagri 86/2017 Pasal 264 ayat 4). Namun hal ini tentu akan menyebabkan rencana-rencana prioritas daerah yang sebelumnya menjadi berkurang karena dialihkan kepada pendanaan koperasi desa merah putih.
Dalam konteks otonomi daerah, pendanaan koperasi dari APBN yang disalurkan melalui skema pusat ke daerah memerlukan penyesuaian dalam dokumen perencanaan dan penganggaran daerah, seperti RPJMD dan RKPD. Namun, banyak pemerintah daerah belum mengintegrasikan program ini ke dalam dokumen perencanaan mereka, mengingat Inpres ini ditetapkan setelah RPJMD berjalan (Bappenas, 2025).
Jika pelaksanaan Kopdes Merah Putih tidak dibarengi dengan penguatan sistem akuntabilitas, integrasi regulasi, dan pengawasan berlapis (BPK, BPKP, APIP), maka besar kemungkinan dana publik yang besar tersebut tidak memberikan dampak optimal, bahkan berpotensi menjadi ladang penyimpangan. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah pusat dan daerah untuk memastikan bahwa kebijakan ini tidak hanya menjadi proyek simbolik, tetapi mampu diterjemahkan dalam tata kelola koperasi yang transparan, partisipatif, dan berorientasi pada kesejahteraan warga desa.
Kesimpulannya, Kopdes Merah Putih adalah peluang strategis yang besar, namun juga mengandung risiko besar jika tidak disiapkan secara sistemik. Ia bisa menjadi solusi ekonomi lokal, tetapi juga petaka fiskal jika jatuh ke tangan birokrasi yang lemah dan tidak akuntabel.
Tulisan ini berangkat dari berbagai temuan lapangan yang saya peroleh melalui wawancara dengan beberapa warga desa. Kritik yang disampaikan bukanlah tanpa dasar, tetapi sebagai pengingat kolektif atas pentingnya mengawasi secara saksama perbedaan antara program yang dijalankan dengan niat tulus membangun desa dan yang dijalankan dengan modus menyalahgunakan kekuasaan. Di titik inilah, urgensi penguatan sistem pengawasan, transparansi anggaran, dan keterlibatan publik menjadi sangat penting agar program Koperasi Merah Putih tidak berakhir menjadi petaka baru dalam wajah lama. Sehingga pertanyaan apakah KOPDES MERAH PUTIH: SOLUSI ATAU PETAKA DALAM PRAKTIK OTONOMI DAERAH ? akan selalu menjadi menarik untuk dibahas.
Daftar Pustaka:
BPK RI. (2023). Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I Tahun 2023. Jakarta: Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia.
Bappenas. (2025). Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029. Jakarta: Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas.
KPK. (2012). Laporan Tahunan Komisi Pemberantasan Korupsi Tahun 2012. Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi.
Saputra, H. (2021). Independensi BPK dalam Pengawasan Dana Desa: Tinjauan Hukum Tata Negara. Jurnal Hukum & Keadilan, 16(2), 144–157.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Widjaja, H. (2016). Otonomi Daerah dan Good Governance. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
*) Penulis adalah Mayolla Octavia, Program Studi Magister Hukum Bisnis dan Kenegaraan, Universitas Gadjah Mada.