Percakapan di Bawah Bendera, Puisi-puisi Madhur M Alif

Editor: Ahmad Arsyad
Seorang anak bertanya pada bapaknya: apa itu negara pak?
Negara adalah air matamu saat menahan lapar ketika terbit matahari
Negara adalah maut yang mengubur ibumu saat menjual koran di bawah lampu merah
Sedang waktu itu kamu masih dalam perjanjian bersama tuhanmu
Negara adalah badai yang menghancurkan rumahmu menjadi jalan tol
dan mengirim kita ke gorong-gorong.
Negara adalah tempat orang mencaci maki dan bunuh-bunuhan
Negara adalah tempat kita menikmati sepi setiap detik sampai detak terakhir,
Memulangkan jiwa pada tangis air mata.
Rumahku dikampung yang sempit, terhimpit bukit
Jauh dari pabrik dan rumah sakit
Itu sebabnya matahari dan bulan selalu terlihat ceria diatas kampungku
Kampungku tidak memberi apa yang semua aku mau
Hanya memberi kebosanan dan kesunyian
Tak ada jaringan apalagi keramaian
Setiap pagi ibuku memberikan kopi dan gorengan pisang hangat sehangat isu politik
Yang takpernah selesai dibicarakan bahkan di bibir orang kampung sekalipun
Pernah disuatu pagi yang berkabut ibuku bertanya apa cita-citaku
Sesaat aku membisu dan menjawab dengan tenang
“aku ingin menghapus pembicaraan politik dari orang-orang kampung ini Bu”
Dengan cara apa kamu mau menghapusnya? Saut ibu sembari menyisir rambutnya
Aku mau menenggelamkan pikiranku pada cahaya matahari dan melipatnya di dasar sepi.
Di jalanan sudah ramai sebelum embun pagi kering oleh sinar mentari
Ada yang berlari, mengayun sepeda mengejar matahari
Ada yang berjalan menghitung langkah mengayun nasib sendiri.
Pada suatu pagi yang buta seorang lelaki lanjut usia
berjalan di trotoar dengan kantong plastik terikat di celananya
sambil menundukkan kepala mencari sisa-sisa harapan yang sempat hilang
namun ia tak menemukan apa-apa selain air matanya sendiri
Di bawah pohon besar dengan ranting yang kering
Lelaki itu duduk menyenderkan punggungnya, meluruskan kedua kakinya
Wajahnya menengadah meringankan beban hidupnya
Hingga dia tertidur bersama lamunan kerontang
Ia bermimpi berjalan di lorong putih seputih rambutnya
Sambil menyimpan doa di kantongnya
Tiba-tiba dia berhenti di depan pintu yang sedikit terbuka
Ada cahaya keluar di rongga pintu itu, perlahan ia masuk
Lalu tenggelam di dasar air mata yang mengalir di sepanjang hidupnya.
Seorang ayah tidur di pundak waktu
bermimpi cahaya lahir dari anak perempuan yang tersesat di ruang gelap.
Ia membawa cahaya di keningnya dan air mata yang belum kering
menyusuri bumi yang telah tenggelam dan langit yang mengawang
Ia ingin pergi menziarahi ibunya yang menyepi di lorong bumi.
Lalu, Ia temukan ibunya sedang kelaparan
dan bersujud mencium tanah yang melahirkan derita.
Aku belajar membaca huruf- huruf cinta
dari gerimis dan air mata
dari angin sepoi menebar tafsir-tafsirnya
Aku belajar membaca huruf-huruf luka
Di atas sajadah hijau pemberian ibu
Yang memisahkanku dengan telaga cintanya
Aku masih mengeja air mata
Dari setiap gelisah di bukit sunyi
Yang tiada jawabnya.
*) Penulis adalah Madhur M Alif, Lahir di Sampang Madura, penikmat sastra Amerika Latin sekaligus pendiri komunitas ritual puisi. Saat ini sedang aktif bersama masyarakat gorong-gorong Surabaya.
*) Sajak ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kabarbaru.co