PB PMII: Perpanjangan Masa Jabatan Presiden Bentuk Penyimpangan Politik
Jurnalis: Genta
KABARBARU, JAKARTA – Isu perpanjangan masa jabatan presiden mencuat seiring polemik ketidakpastian berakhirnya wabah virus Pandemi Covid-19. Sebagian merespon positif dengan menganggap wacana penambahan masa jabatan presiden menjadi 7 tahun atau 8 tahun tidak menjadi masalah selama melalui prosedur demokratis. Namun sebaliknya, sebagian yang lain berprasangka bahwa isu tersebut berpotensi mengarah ke degradasi demokrasi, bahkan otoritarianisasi.
Wacana perpanjangan masa jabatan presiden bukanlah hal yang baru. Wacana itu pernah mengemuka saat era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada tahun 2010. Namun, hal itu kandas tak berlanjut. Di sisi lain, kontroversi wacana tersebut tidak dapat semata dipandang dari hal yang pragmatis semata. Melainkan lebih jauh, yakni implikasi terhadap konstruksi kelembagaan maupun fatsun demokrasi kita.
Direktur Lembaga Pemilu dan Demokrasi PB PMII Yayan Hidayat mengungkapkan, secara empiris, sebagian besar negara memberlakukan masa jabatan presiden maksimal dua periode, baik 4 tahunan maupun 5 tahunan (list of political term limits).Tidak ada satu pun negara yang memberlakukan masa jabatan Presiden 7 tahun atau 8 tahun dalam sekali periode.
“Tidak ada satu pun negara yang memberlakukan masa jabatan Presiden 7 tahun atau 8 tahun dalam satu kali periode. Itu adalah hal yang aneh dan sudah pasti memicu terjadinya degradasi demokrasi. Persoalan kekhawatiran bahwa proses pembangunan ekonomi dapat mengalami keterputusan apabila presiden berganti, agaknya berlebihan. Problem tersebut sebenarnya dapat diupayakan dengan intensitas komunikasi di antara para elite, baik di lingkungan eksekutif maupun legislatif. Sebaliknya, tidak ada jaminan ketika presiden menjabat lebih lama, pembangunan ekonomi akan semakin baik,” ungkap Yayan.
Menurut Yayan dalih pemulihan ekonomi akibat terpaan badai Pandemi Covid-19 sebagai alasan untuk perpanjangan masa jabatan Presiden tak dapat dibenarkan. Pasalnya, pandemi Covid-19 juga terjadi di semua negara demokratis seperti Amerika Serikat, Iran, New Zealand, dengan segala dampak sosial dan ekonominya. Tetapi tak ada yang karena alasan ekonomi akibat Covid-19 kemudian mengubah konstitusinya untuk menambahkan masa jabatan bagi Presiden.
“Pihak-pihak tertentu yang mendalilkan isu pemulihan ekonomi dan Covid-19 sebagai alasan untuk memperpanjang masa jabatan presiden saya pikir hanya berusaha mencari-cari alasan saja dan memanfaatkan masalah yang ada demi melanggengkan kepentingan politik mereka. Ada banyak negara demokratisyang hari ini dilanda pandemi Covid-19 beserta segala dampaksosial dan ekonominya juga tak sampai menambah masa jabatan Presidennya. Ini hanya permainan oknum populis yang maumencari manfaat ditengah penderitaan masyarakat akibat Covid 19 saja,” tambah Yayan.
Secara normatif, praktik pembatasan masa jabatan presiden memiliki peran untuk menstabilkan politik dan memfasilitasi pembangunan demokrasi. Singkatnya, praktik ini menawarkan penangkal untuk masalah yang mengarah pada otoritarianisme.
“Disertasi Profesor Bill Gelfed di Universitas San Francisco de Quito, Ecuador menyebutkan bahwa alih-alih membawa kemajuan, studi di berbagai negara menunjukkan bagaimana perpanjangan masa jabatan presiden justru berdampak negatif. Jangan sampai akibat hasrat pihak tertentu untuk perpanjangan masa jabatan presiden, justru menciderai demokrasi di Indonesia,” tutup Yayan.