Hakikat Puasa Ramadhan Dalam Perspektif Ilmu Tasawuf
Editor: Ahmad Arsyad
Kabar Baru, Opini- Sekilas tentang bulan suci Ramadhan yang merupakan salah satu moment istimewa bagi umat Islam secara keseluruhan. Hal ini terbukti pada saat tiba bulan Ramadhan, semua aktivitas berubah menjadi damai dan tenteram. Kekuatan dan energi bulan Ramadhan seperti yang sampaikan oleh Ibnu Abbas beliau berkata “Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam merupakan manusia paling dermawan dengan kebaikan dan beliau lebih dermawan lagi ketika bulan Ramadhan. Sesungguhnya Jibril menemui beliau setiap tahun di bulan Ramadhan hingga berlalulah bulan Ramadhan.
Imam “Syafi’i mengatakan, dianjurkan bagi seseorang untuk menambah kedermawanannya di bulan Ramadhan dalam rangka meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian juga karena kebutuhan manusia untuk kemaslahatan mereka dan karena sibuknya mayoritas manusia untuk melaksanakan puasa dan shalat sehingga mereka meninggalkan pekerjaan mereka.
Hadist tersebut seakan memberikan bukti kepada seorang muslim betapa pentingnya melakukan kebaikan dibulan suci Ramadhan. Kesempatan didalam bulan Ramadhan hanya akan dialami dalam satu tahun satu kali. Satu kebaikan akan mendapatkan sepuluh pahala yang Allah berikan. Maka tidak heran kemudian, jika masuk pada bulan suci Ramadhan ada istilah sholat Taraweh dan tadarus sebagai budaya dan aktivitas didalamnya, semua akan disibukkan dengan aktivitas keagamaan.
Akan tetapi, bagj kalangan sufi seberapapun banyak bentuk aktivitas keagamaan (peribadatan) yang dilakukan dan pahala yang didapatkan di dalam bulan Ramadhan hal itu bukan menjadi tujuan utama. Bagi mereka (Sufisme) gerakan keagamaan yang dilakukan selama bulan Ramdhan hanya bersifat transaksional (kalkulasi pahala).
Tasawuf hadir dan merespon anggapan anggapan seperti diatas sehingga ulama sufi sepakat untuk kemudian mengeluarkan suatu kebijakan agar seorang muslim menjalankan ibadah pada saat bulan suci romadhan tidak hanya sekedar berpuasa dan menahan syahwat, akan tetapi ulama sufi memberikan setidaknya tiga pokok hakikat dalam bulan suci ramadhan.
Pertama Kejujuran, Kejujuran merupakan suatu sifat yang menyadari akan siapa dirinya dan ia berbuat dengan sesuai apa yang menjadi kodratnya, sehingga ia menyampaikan kata, perbuatan dan tindakan sesuai dengan apa yang dinyatakan dari yang memberinya amanat. Kejujurannya akan mengantarkan dirinya kepada kepercayaan seseorang untuk memberikan amanah kepadanya karena ia memiliki sifat yang amanah yang hadir dari kejujuran dirinya. Sebagaimana Rasulullah Saw., pernah bersabda yang artinya, bagimulah berlaku jujur, karena kejujuran akan mengantarkanmu kepada kebaikan dan kebaikan akan membawamu kepada surga (kebahagiaan).
Hubungan kejujuran dengan puasa di bulan Ramadhan adalah puasa menyadarkan dirinya sebagai seorang hamba bukan seorang yang berpredikat penguasa, pejabat dan predikat dunia lainnya. Meskipun ia berpredikat dunia namun sejatinya ia tetap menempatkan diri sebagai yang berpredikat hamba. Dengan puasa yang dilaksanakan di bulan suci ramadhan telah mengingatkan dirinya bahwa yang menjadi predikat termulia dan tertinggi serta tidak tertandingi di antara makhluk adalah predikat Tuhan, yaitu Allah yang Maha rahman. Hal di atas terlihat dari bukti perbuatan saat seorang hamba Allah Swt., melakukan puasa Ramadhan dan puasa lainnya saat ia berada sendirian. Tentunya ia mampu melakukan penipuan dengan meminum setetes atau seteguk dari minuman yang ia punya, namun ia mengakui bahwa Allah melihatnya dan tentunya ia telah melakukan penipuan pada dirinya sendiri karena ia telah membatalkan puasanya meskipun tidak ada satupun manusia atau seorang hamba yang melihatnya.
Oleh karena itu, hakikat kejujuran adalah kesadaran seorang manusia bahwa dirinya bukan siapa-siapa akan tetapi dia adalah sebagai seorang hamba. Apapun predikatnya di dunia, maka ia tetap sebagai seorang hamba Allah sehingga perbuatan yang dilakukannya adalah untuk mencari dan memperoleh keridoan dan kecintaan Allah Swt. Sikap seorang hamba yang jujur akan mengantarkan kedamaian dan menjauhkan dirinya dari kerakusan dan kesombongan. Kerakusan hadir karena ada penutup atas kesadaran dirinya (bahwa dia hanya seorang hamba meskipun predikat dunianya adalah sebagai raja) dan melakukan penganiayaan terhadap orang lain (rakyatnya) dengan mengambil hak mereka. Sadar maupun tidak sadar, ia telah menuhankan fasilitas dunia sehingga ia rakus dan ingin memperoleh keseluruhannya tanpa memperdulikan bahwa ada hak hak orang lain di dalamnya. Begitu juga kesombongan, kelupaan seorang manusia akan siapa hakikat dirinya telah membuat dirinya sombong dan merendahkan orang lain yang tidak selevel dengannya. Hal di atas telah dihanguskan oleh kejujuran dan kejujuran turut dilatih dengan berpuasa yang diawali di bulan Ramadhan sebagai puasa wajib dan kedepan akan diikuti oleh puasa sunat berikutnya bagi yang mengindahkan nikmatnya kejujuran tersebut bagi kehidupan individu dan social.
Kedua Pengakuan terhadap kekuasaandan kekuatan Allah Swt, Puasa Ramadhan memberikan sentuhan yang halus dan lembut kepada setiap hamba Allah Swt untuk menyadari bahwa langit dan bumi beserta isinya adalah ciptaan Allah Swt dan otomatis adalah milik-Nya (Allah). Kegiatan puasa dibulan Ramadhan tersebut adalah sebagai wadah untuk menabung kekuatan perasaan yang besar antara seorang hamba dengan Allah Swt., sehingga hari-hari dan waktunya diingatkan oleh kesadaran diri bahwa segala yang ada berupa harta dan fasilitas dunia lainnya adalah milik Allah Swt., bukan miliknya dan hanya titipan Allah untuknya. Hal di atas terbukti saat seorang hamba yang berpuasa dan memiliki banyak uang serta sanggup membeli ratusan botol minuman mineral, namun ketika sudah terbeli dan waktu masaih dalam berpuasa ternyata ia tidak bisa mencicipi meskipun hanya setetes, dan jika ia mencicipinya maka akan batal puasanya. Hikmah dari peristiwa itu ialah manusia harus mempunyai rasa pengakuan terhadap semua benda apapun yang ada diantara langit dan bumi ini adalah milik Allah sementara manusia hanya sebatas hamba yang dianjurkan untuk menta’ati perintahnya.
Ketiga Kesadaran akan Kelemahan diri dan Kuat dengan Pertolongan Allah yang Maha suci, Dengan berpuasa telah menyadarkan seorang hamba bahwa ia merupakan makhluk yang lemah. Apakah ia seorang pejabat besar, seorang penguasa yang Berjaya dan penguasa yang kaya raya, maka ia akan lemah saat setengah perjalanan berpuasa dan merasakan haus, lapar dan serbuan godaan sayahwat untuk ia terdorong dalam berbuka. Sesungguhnya, hal tersebut telah menyadarkannya bahwa tidak ada celah baginya untuk menyatakan dirinya adalah makhluk yang kuat tanpa pertolongan Allah Swt.
Pertolongan terebut datang saat adzan maghrib berkumandang dan kesadaran seorang hamba akan meningkat bahwa disamping pengakuan bahwa dirinya sebagai makhluk yang lemah juga mengakui bahwa ia bisa menjadi kuat dengan pertolongan dan ijin Allah yang maha rahmat. Kesadaran tersebut akan memberikan rasa kehati-hatian seorang hamba Allah Swt., untuk berbuat di setiap nafas kehidupannya, sehingga perbuatannya senantiasa mendatangkan rahmat bagi alam semesta karena perbuatannya dilandasai oleh akhlak yang mulia.
*) Penulis adalah R. Naufalul Khoir, Peneliti civil society of UIN SUKA.