Belajar Dari Carok Sampang: Kekerasan Musiman dan Dampak Doktrin Politik Kiai 

Editor: Ahmad Arsyad

Kabarbaru, Madura – Kembali berduka setelah peristiwa carok yang menewaskan seorang warga di Desa Ketapang Laok, Kecamatan Sampang. Tragedi yang terjadi pada 17 November 2024 ini dipicu oleh perselisihan antarpendukung calon kepala daerah menjelang Pilkada serentak.

Bentrokan bermula dari pertikaian verbal yang memanas hingga berujung pada kekerasan menggunakan senjata tradisional clurit.

Carok, yang sering dianggap sebagai simbol harga diri masyarakat Madura, kini menjadi sorotan karena masih terus terjadi meski upaya modernisasi dan edukasi sudah dijalankan.

Konflik yang melibatkan politik ini mencerminkan lemahnya pendekatan damai dalam menyelesaikan perbedaan pendapat.

Pihak Kepolisian, sedang menyelidiki kasus ini untuk memastikan motif sebenarnya dan mencegah konflik meluas. “Kami mengimbau masyarakat untuk menahan diri dan menyerahkan penyelesaian pada jalur hukum” begitulah cuplikan imbauanya.

Peristiwa ini menambah panjang daftar kekerasan bermotif carok di Sampang. Pemerhati sosial mengungkapkan bahwa kekerasan seperti ini bukan sekadar masalah tradisi, tetapi juga akumulasi ketegangan sosial, kurangnya edukasi politik, dan lemahnya mediasi konflik.

Saya turut menyampaikan belasungkawa kepada keluarga korban atas tragedi ini. Kejadian ini menjadi pengingat bahwa demokrasi seharusnya membawa kedamaian, bukan kekerasan. Dibutuhkan upaya terpadu dari tokoh adat, pemerintah, dan masyarakat untuk menghapus praktik carok sebagai solusi konflik.

Kekerasan berbasis politik menunjukkan bahwa demokrasi belum sepenuhnya dipahami sebagai ruang dialog dan kerja sama.

Mari kita jadikan Pilkada 2024 sebagai momentum perdamaian dengan mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan dan persaudaraan di atas perbedaan pilihan politik.

Penulis adalah Ghazy, Mahasiswa Universitas Islam Malang (UNISMA).