Babak Baru kadrun vs Cebong

Editor: Ahmad Arsyad
KABARBARU.CO, OPINI – Robohnya tubuh Akademisi Ade Armando di pelataran rumah wakil rakyat beberapa waktu lalu, tidak saja menambah riuh tagar politik keprihatinan. Jauh dari pada itu membuka babak baru vis a vis non gagasan antara tertuduh “Cebong dan Kadrun”. Bagi penulis keduanya bernasib sama, sebagai riuhan antara ketidakpuasan berpolitik dan ketidakwarasan memahami etika politik. Dua kubu itu hidup dibawah rambu politik identitas demi terus mengobarkan cara pandang pembelaan politik. Kelompok moderat seoalah hilang, secara politik dia tidak menengahkan perkara turunya kualitas demokrasi belakangan ini. Katakutan para kaum moderat juga memiliki alasan, yakni mereka takut dibungkus dalam wacana siap saji dari dua seteru di atas.
Aroma politik belakangan ini secara garis besar menhasilkan dua blog “sipil dan parpol”. Keduanya berambisi dengan visi dan misi mereka sendiri. Lalu dari manakah “Kadrun dan Cebong” mendapatkan suplai moril “identitas” itu. Secara gamblang dengan bermodalkan kuota HP, informasi tentang mereka dapat ditelusuri pada muara perang dunia maya. Permainan tagar dan atraksi wacana, yang publik sendiri tidak mengetahuinya secara jelas. Dapat disimpulkan mereka memiliki surveillance dengan kapasitas data tak terbatas dan informasi tak berakar dari obrolan publik secara utuh.
Sistem global dunia naik dari area sosial yang lokal menjadi entitas struktural yang semakin independen dan otonom di kancah global. Entitas tersebut tidak dikontrol oleh siapa pun, bukan orang, negara, ataupun ideologi tertentu. Struktur yang ada tidak terikat waktu dan ruang ini kemudian juga membentuk sebuah kutub konflik bagi pengalaman sejarah manusia: “identitas” yang secara inheren lekat dengan konteks lokal dan historis, yakni budaoya dan memori masa lalu. Keberadan corong wacana Kadrun dan Cebong memeras akal sehat dengan ujaran kebencian yang tiada habisnya. Label sosial yang sudah purna dengan kontrak sosial berbangsa dan bernegara diuji sekian waktu.
Politik identitas tidak bisa hidup tanpa logistik. Mereka merupakan prodak dari cacatnya komunikasi politik. Mengacu pada filsuf kontemporer Perancis, Paul Virilio, Speed and Politics (1977) menyatakan dalam konteks komunikasi ini politik tak lain adalah urusan distribusi logistik, dan menguasai sarana-sarana komunikasi transportasi merupakan sebuah keniscayaan. Gambaran politik kontemporer tidak lagi bermain dalam kekuatan demonstrasi logistik di jalanan. Di cawan media sosial, logistik itu dipasok dari data dan wacana propokatif. Menuju tahun politik Kadrun dan Cebong mendapatkan standing point yang memberi spirit tambahan. Sampai kapan?
Kerumunan dua entitas antagonis itu adalah kelompok yang merasa terekslusi. Kandrun dianggap merongrong kepemimpinan sah dan memaksakan kehendak nilai agama secara formatif. Kalangan Cebong tidak jauh mengenaskan, dianggap seolah pakai kaca mata kuda, tidak berimbang, patron klien, template kekuasaan. Pada akhirnya, kerumunan itu merangkul mereka yang tereksklusi, menerima stigma, dan menderita untuk mendapatkan pengalaman kolektif yang dapat ditawarkan dari mengumpulkan makna yang sama. Tragedi dari identitas ini berada pada kontradiksi antara tujuan dan cara: cara yang berorientasi pada negara tampaknya tidak lagi cukup efektif untuk mencapai dan mendapatkan tujuan yang telah disebabkan dan diungkap oleh proses global yang tidak dapat diraih.
Pembunuhan Ilmiah
Saya tidak begitu yakin apakah pengekangan hati nurani itu dilakukan oleh dua kubu itu. Yang pasti kita benar-benar tidak melihat sisi sungguh-sungguh nasionalisme, religiusitas, kerakyatan, kepedulian, ataupun sifat yang secara lahiriah itu diperjuangkan oleh manausia. Politik telah teraktifitasi menjadi mode peperangan saraf. Kita tidak benar-benar berpolitik sebagai sebuah konsep “cara”, tetapi menaklukan dengan tendensi identitas kelompok. Publik mayoritas semakin tersublim dalam spiral manoritas yang mengendalikan ikon era digitalisasi.
Ciri dari pembangunan kerumunan ini adalah ada resistensi melawan masyarakat di sekitarnya dan melawan kelompok lain. Dari ciri ini, identitas ini kemudian disebut ke dalam kategori identitas yang kedua yakni identitas resistensi. Kelompok identitas ini pada umumnya cenderung membentuk sumber makna utama, singularitas kebudayaan, simbol atau bendera, dan mereka juga pada umumnya tidak dapat berkomunikasi dengan realitas sosial di sekitar mereka. Mereka berkhotbah dan menyebarkan apa yang mereka yakini, namun mereka tidak bernegosiasi terhadap hal tersebut karena bagi mereka itu adalah kebenaran mutlak yang tidak dipertanyakan lagi.
Publik yang berhadapan langsung dengan partai politik membuat teras identitas masyarakat bisa berbenturan kapan saja. Kebencian pada kalangan minoritas Cina atau ketururan Arab, mereduksi para intelegensia bangsa ini yang gagal menghentikan dua kerumunan itu. Jika sistem Divide Et Empera kolonial Belanda bertujuan mengurangi resistensi atas penindasan. Pembelahan Kadrun dan Cebong tidak jelas arahnya dibawa kepada pembelaan jangka panjang apa dan bagaimana. Musababnya adalah pemburuan pada rente kekuasaan yang mengarah pada gemuknya modal politik elit bangsa ini.
Kekuatan sipil telah lama dilucuti dengan operandi simbol label yang menempatkan segelintir orang seolah berhadapan dengan negara. Pada satu sisi ini jelas membuat kabur definisi bahwa negara-lah yang senyata-nyatanya memiliki abuse power tanpa batas. Kita sudah tidak bisa melihat mana resistensi bermartabat dan mana oposisi reaksioner. Kadrun dan Cebong menjadi entitas di arena basah konstruksi wacana. Jika untung sebagian pengguna kelompok ini dapat melipatgandakan pengaruh.
Kita sudah seharusnya berhenti bergumul dalam jejaring wacana tersebut. Jika ada semacam kenikmatan “intertaiment” di dalamnya, kita tak jauh beda dengan sengkarut dua kelompok tersebut. Cukuplah tragedi Ade Armando menjadi pengingat bahwa publik sedang dalam resiko amarah akibat polarisasi politik identitas akut. Kedepan, Akademisi harus berani menjalankan peran alternatif dan mendorong agar semua persoalan desas-desus diambil alih dari oknum dari rente yang memanfaatkan non-stabilitas semacam ini.
*) Penulis ada penikmat kajian sosial.
*) Tulisan ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis dan bukan menjadi bagian tanggung jawab redaksi, Kabarbaru.co.