Tak Sekedar Damai, Pemilu 2024 Harus Jujur dan Adil

Editor: Ahmad Arsyad
Kabar Baru, Opini – Pemilihan umum (pemilu) 2024 menjadi perbincangan utama di layar kaca, media sosial dan media massa. Nyaris setiap waktu, unggahan dan informasi terkait calon presiden-calon wakil presiden memenuhi beranda media sosial. Sesekali, muncul juga kampanye calon anggota DPR. Tingginya atensi warga terhadap hajatan akbar Pemilu 2024 tersebut menunjukan bahwa bangsa Indonesia berkomitmen untuk terlibat dalam proses demokrasi. Kondisi ini juga membangkitkan semangat bahwa keterlibatan masyarakat dalam proses demokrasi di sebuah negara sangat fundamental, karena dapat berpengaruh pada kualitas dan kemajuan masyarakat itu sendiri.
Seperti dikatakan Profesor Ilmu Politik Lund University Swedia (BRIN, 2024) yang menegaskan bahwa masyarakat menempati posisi sebagai salah satu unsur yang harus mengawasi pelaksanaan demokrasi yang sedang berjalan. Oleh sebab itu lah, ajakan-ajakan penyelenggara pemilu, peserta pemilu dan tim sukses menjadi keharusan dengan catatan tetap menaati peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, keterlibatan masyarakat dalam mengawasi dan memantau pelaksanaan pemilu merupakan pintu gerbang menuju pemilu yang aman, adil, jujur dan beradab.
Seiring berjalannya waktu, dinamika dan tensi politik di tanah air terus menghangat karena adanya perbedaan pilihan kandidat di Pilpres 2024. Di satu sisi, dinamika tersebut muncul sebagai respons pencalonan putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto yang dilakukan melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal batas usia capres-cawapres. Gibran dinilai cacat etik dan berpotensi mengancam demokrasi kita. Di sisi yang lain, upaya untuk memperkecil perselisihan di tengah-tengah masyarakat menjadi kewajiban yang harus dijaga. Banyak yang ingin mengungkapkan kegelisahan, tetapi khawatir berdampak buruk terhadap kondisi sosial politik di akar rumput.
Akhirnya, proses demokrasi yang dinilai melanggar etik sebagaimana telah disinggung di awal, tidak dilawan secara sungguh-sungguh dengan mempertimbangkan kerukunan dan soliditas warga bangsa yang sudah terjalin sejak ratusan tahun lamanya. Barangkali kondisi seperti ini yang disebut Azyumardi Azra dalam tulisannya berjudul Kegalauan Identitas dan Kekerasan Sosial: Multikulturalisme, Demokrasi dan Pancasila (2012) sebagai gelombang demokratisasi model Barat. Di mana ideologi semakin tidak relevan dalam dunia yang kian tanpa batas. Sementara kelompok masyarakat tidak bisa berbuat apa-apa karena telah terkooptasi oleh keadaan. Sedangkan bagi penguasa, alih-alih berbuat demokratis, ternyata membunuh proses demokrasi itu sendiri.
Pemilu yang berkualitas dan beradab menjadi cita-cita bersama, namun, upaya menuju ke arah sana terganjal oleh kekuatan politik penguasa–yang terlihat memancing ‘amarah’ lawan politiknya. Presiden Joko Widodo selaku kepala negara berkali-kali menegaskan bahwa Pemilu 2024 harus disambut dengan riang gembira, tanpa ada perselisihan dan pengkotak-kotakan. Sayangnya, imbauan dan pernyataan ini tidak sejalan dengan sikap politik peserta pemilu, sehingga ‘sahut-sahutan’ antar pendukung di akar rumput terus terjadi. Beberapa elemen masyarakat juga sudah bergerak untuk mendorong agar Pemilu 2024 berjalan damai, sayangnya hal ini baru sebatas seruan deklarasi dan kegiatan normatif lainnya. Tidak ada yang secara nyata turun ke lapangan melihat bagaimana situasinya di sana. Lalu, memberikan pendidikan politik secara langsung kepada masyarakat tersebut.
Para pihak yang kerap menyerukan pemilu damai harus mengecek secara langsung, bagaimana respons masyarakat atas kondisi bangsa saat ini. Menanyakan apa yang mereka alami–digiring untuk memilih pasangan calon tertentu atau tidak. Sebab berdasarkan laporan yang diterima penulis, kondisi di lapangan justru terlihat turbulensi. Getaran penolakan terhadap pencalonan paslon tertentu juga semakin kuat, bukan karena tidak suka, melainkan permainannya di Pemilu 2024 acapkali bertentangan dengan nilai dan prinsip demokrasi dan Pancasila. Hal ini menjadi ancaman nyata bagaimana mundurnya demokrasi kita, dampaknya tentu bisa fatal, antara lain meningkatnya praktik KKN.
Hematnya menurut penulis, pemilu 2024 tidak sekadar damai, tetapi harus dilaksanakan secara jujur dan adil. Memastikan tidak ada kecurangan yang Terstruktur, Sistematis dan masif (TSM). Pemilu yang jujur dan adil sebagaimana ditegaskan Undang-Undang No.23 Tahun 2003 yang kemudian diganti menjadi UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Dalam UU tersebut ditegaskan bahwa Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Pemaknaan jujur dalam UU ini dapat dipahami bahwa setiap masyarakat, penyelenggara pemilu, aparat negara dan calon peserta pemilu menjunjung tinggi asas keterbukaan, dengan bersama-sama tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan konstitusi dan prinsip kultur budaya bangsa. Kemudian, adil. Dalam UU tersebut arti kata adil, dimaksudkan bahwa setiap rangkaian dan proses pemilu digelar secara fair dan menjunjung tinggi penyamarataan sikap dan kesempatan baik kepada masyarakat maupun kepada peserta pemilu. Tidak ada gerakan untuk memaksa masyarakat memilih calon tertentu.
Penyelenggaraan Pemilu 2024 yang jujur dan adil sebagaimana hakikat dalam sebuah pesta demokrasi, yaitu wujud nyata kedaulatan rakyat. Di sini, rakyat lah yang harus mengambil peranan dominan agar Pemilu 2024 berjalan lancar, aman dan damai. Lebih dari itu, Pemilu 2024 harus melahirkan pemimpin yang berkualitas dan berintegritas seperti yang diharapkan oleh setiap anak bangsa. Meskipun, para tokoh bangsa bilang bahwa pemimpin berkualitas dan berintegritas adalah mereka yang berproses dengan cara yang benar serta menjunjung tinggi keadilan dan kejujuran. Dengan melihat kekuatan kelompok masyarakat sipil di Indonesia, upaya mendorong pemilu yang adil dan jujur harus ada kerja keras dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai bagian dari unsur negara. Bawaslu harus berkomitmen untuk mengawal dan mewujudkan serta menjamin bahwa pelaksanaan pemilihan berjalan secara demokratis.
Akhir kata, penulis mengharapkan bahwa refleksi ini mampu menjadi pengingat bagi setiap anak bangsa, agar menomorsatukan keadilan dan kejujuran dalam setiap langkahnya. Dua sikap ini menjadi penting dan fundamental, karena akan berpengaruh terhadap laku dan karakteristik bangsa kita. Lebih dari itu, bahwa kejujuran dan keadilan sebagai upaya membangun bangsa yang berdaulat dalam mencari kepribadiannya. Sebagai penutup sekaligus pengingat, penulis tampilkan petikan Pidato Bung Karno tentang Kebangkitan Nasional pada 1958 dan 1963 di Alun-alun Bandung, sebagai berikut:
“Saudara-saudara, aku gambarkan perjuangan kita sejak 1908 sampai sekarang ini sebagai satu sungai. Gambaran lain adalah satu perjalanan kita mencari diri kita sendiri. Dalam 50 tahun ini kita mencari diri kita sendiri, mencari kepribadian, own identity. Kita tidak mau menjadi bangsa peniru, penjiplak, kita mau menjadi satu bangsa Indonesia dengan kepribadian corak sendiri. Tidak mau kita menjadi satu bangsa satelit, pembebek, peniru, penjiplak. Identitas dan kepribadian inilah yang kita sebut dengan Pancasila. Pancasila itu jiwa kita”.
*) Penulis adalah Muhammad Sutisna, Co-Founder Forum Intelektual Muda.