UU Cipta Kerja, Drama Berkepanjangan dan Paradigma Islam dalam Ketenagakerjaan
Editor: Ahmad Arsyad
Kabar Baru, Opini- Drama pemberlakuan UU Cipta Kerja yang terjadi semenjak 2019 saat Presiden Jokowi berpidato ketika dilantik sebagai Presiden untuk periode keduanya, telah memasuki babak akhir. Akhirnya pada 21 Maret 2023, DPR dalam rapat paripurnanya menyetujui Perppu Cipta Kerja menjadi UU No 6 Tahun 2023, keputusan yang sudah dapat ditebak namun tetap mengundang huru-hara dan kontroversi dimana-mana.
Meskipun pada prinsipnya pemerintah membuat UU ini dengan harapan dapat meningkatkan investasi dan pertumbuhan ekonomi, namun UU Ciptaker dianggap kontroversial dan mendapat penolakan karena dainggap dapat berdampak buruk pada hak-hak tenaga kerja.
Polemik UU Ciptaker memuncak ketika Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa sejumlah pasal dalam UU tersebut inkonstitusional, meskipun MK memberikan kesempatan bagi pemerintah untuk memperbaiki pasal-pasal tersebut dalam waktu 2 tahun. Keputusan MK ini membuat serikat pekerja dan sejumlah kelompok masyarakat sipil semakin memperjuangkan keadilan sosial dalam ketenagakerjaan.
Menariknya, setahun berselang setelah MK memutuskan perkara ini, pemerintah memberikan respon dengan menetapkan Perppu Cipta Kerja yang sejatinya tidak menyelesaikan drama berkepanjangan ini. Ibarat dalam sebuah film, mungkin pada titik ini dramanya sudah sampai sequence 5 atau 6 dimana pemerintah melakukan sebuah plot twist terhadap alur drama pemberlakuan UU Ciptaker ini.
Setidaknya, respon pemerintah dengan mengeluarkan Perppu ini dianggap sebuah plot twist karena dianggap bertentangan dengan kehendak publik, dan pendapat para akademisi baik secara materiil maupun formil.
Denny Indrayana, seorang guru besar Hukum Tata Negara UGM, bahkan dengan tegas berpendapat bahwa kelahiran UU Cipta Kerja ini adalah cacat dan merupakan pelecehan terhadap pondasi negara hukum, serta pelanggaran terhadap prinsip moral berkonstitusi. Beliau berkeyakinan unsur “kegentingan yang memaksa” sebagai syarat pembentukan Perppu tidak dapat dibuktikan oleh pemerintah, serta syarat “waktu harus disetujui DPR pada masa sidang berikutnya” juga dikesampingkan oleh DPR sehingga secara konstitusi Perppu ini layak dibatalkan.
Selain itu, perppu ini juga dianggap belum memberi ruang partisipasi publik secara maksimal (meaningful participation) sehingga isi Perppu ini belum mengakomodir dengan baik kepentingan mayoritas masyarakat Indonesia yang terdampak dengan berlakunya Perppu ini.
Menariknya, tanpa embel-embel apapun, tanpa perubahan apapun dan tanpa pembicaraan apapun DPR malah mensahkan Perppu ini menjadi Undang-Undang pada 21 Maret lalu. Akibatnya drama berkepanjangan mengenai UU ini terus berlangsung, hal ini ditandai dengan semakin banyaknya demonstrasi yang dilakukan masyarakat dengan tuntutan mencabut UU ini.
Kritik dan Ketidaksetujuan terhadap UU Cipta Kerja
Sejumlah kelompok masyarakat, termasuk serikat pekerja, mengkritik UU Ciptaker karena dianggap melanggar hak-hak tenaga kerja dan merugikan golongan marginal. Selain itu, UU ini juga dianggap tidak memperhatikan aspek keadilan sosial dan lingkungan hidup dalam pengelolaan sumber daya alam. Said Iqbal, Ketua Serikat Pekerja, juga mengkritik UU Ciptaker karena dianggap merugikan hak-hak pekerja. Iqbal menyatakan bahwa UU tersebut memberikan kebebasan yang terlalu besar bagi pengusaha dalam memutuskan hubungan kerja, sehingga dapat menimbulkan kesewenang-wenangan dan memperlemah posisi pekerja.
Throwback sebentar pada Oktober 2020, demo besar-besaran terjadi di beberapa kota di Indonesia sebagai protes terhadap UU Ciptaker ini. Demonstrasi tersebut menuntut pembatalan UU Ciptaker dan memperjuangkan hak-hak tenaga kerja yang lebih baik. Demonstrasi ini juga menunjukkan bahwa serikat pekerja dan masyarakat sipil semakin aktif dalam memperjuangkan keadilan sosial dan lingkungan hidup.
Kemudian, demo yang dilancarkan masyarakat terus berlanjut sepanjang tahun 2020 – 2022, seperti yang terjadi pada Agustus 2022 yang melibatkan massa buruh, aktivis masyarakat dan kalangan mahasiswa. Selama periode yang panjang ini, isi tuntutan yang disampaikan kurang lebih sama, yakni menyangkut waktu kerja yang eksploitatif, pengurangan dan penghapusan beberapa hak-hak buruh, sampai permasalahan PHK dan ketentuan kontrak alih daya.
Teranyar, pada 6 April 2023 ini demonstrasi kembali dilakukan sebagai reaksi atas disahkannya Perppu Ciptaker menjadi UU oleh DPR RI, adalah mahasiswa dan buruh sebagai “aktor”-nya. Bahkan, yang membuat menarik selain “aktor” dalam tanda kutip (mahasiswa dan buruh), aktor dunia layar sungguhanpun ikut serta dalam demonstrasi ini yang sempat viral dan membuat geger dunia maya, Jefri Nichol-lah aktor tersebut. Dia bahkan sempat berorasi dengan membawa payung hitam yang disimbolkan sebagai “tanda duka atas matinya nalar dan kemanusiaan”.
Sebagaimana sebuah film, demonstrasi yang ‘viral’ ini diharapkan menjadi sequence 7 yakni sebagai awal titik balik (revival) agar mencapai ending dan epilog yang resolutif dimana harapan masyarakat, massa buruh, aktivis dan para akademisi dapat diakomodir oleh pemerintah yang notabenenya menjadi ‘perwakilan’ eksekutif masyarakat.
Paradigma Islam: Ketenagakerjaan Berkeadilan-Berkemanusiaan.
Sebenarnya, ide menulis artikel ini muncul setelah penulis diberi kesempatan untuk mengajar pada mata kuliah hukum ketenagakerjaan di salah satu kampus islam negeri terkemuka di Indonesia. Pada kesempatan itu, penulis mendapati bahwa nilai-nilai Islam pada aspek ketenagakerjaan sejatinya dapat diserap dan dijadikan dasar nilai dalam pembahasan dan pembentukan UU yang menyangkut masalah ketenagakerjaan.
Pencarian ‘titik tengah’ kepentingan kelompok pengusaha dan investor dengan kelompok pekerja dan buruh yang selama ini mandek rupanya dapat dimediasi dengan nilai-nilai keislaman. Setidaknya penulis dapat memberikan beberapa alasan terhadap kesimpulan dini ini.
Pertama, pada prinsipnya semangat pemerintah dalam memberlakukan UU omnibus law Cipta Kerja adalah semangat deregulasi dan debirokratisasi, sehingga beberapa ketentuan pada UU lama dihapuskan atau ‘sengaja’ tidak dicantumkan. Semangat ini yang dikhawatirkan oleh kelompok buruh bahwa pada akhirnya, UU ini tidak memberikan kepastian hukum dan penjaminan hak-hak mereka dalam konteks hubungan kerja. Dalam hal ini, Islam memandang bahwa dalam ketenagakerjaan sejatinya harus memiliki prinsip hurriyah, yaitu semua pihak harus diberikan kemuliaan, kemerdakaan dan hak untuk berpendapat termasuk dalam hal penjaminan hak-hak para buruh dalam sebuah peraturan perundang-undangan.
Di Indonesia sendiri, sejatinya dikenal LKS Tripartit antara pemerintah, serikat pekerja dan serikat buruh yang fungsinya sebagai media koordinasi terutama dalam hal pembentukan regulasi ketenagakerjaan. ‘Titik tengah’ permasalahan ini sejatinya dapat diambil dengan dikeluarkannya pemnaker yang isinya dapat memberikan jaminan hak-hak buruh seperti pesangon, hak istirahat, hak cuti dan lain sebagainya yang selama ini menjadi ‘concern’ dalam demonstrasi yang dilakukan.
Kedua, selama ini semangat ketenagakerjaan di Indonesia lebih mengedepankan prinsip liberal dengan motonya ‘no work no pay’ dan ‘labour is partner in bussines and benefit’. Prinsip ini yang kemudian melahirkan kebijakan waktu kerja yang eksploitatif, gaji dan pesangon yang kurang berkemanusiaan dan kontrak kerja yang tidak berkeadilan, yang kemudian dipermasalahkan oleh kelompok buruh.
Dalam hal ini, Islam memandang tenaga kerja dengan membawa prinsip Musawah wa Ukhuwwah yaitu bahwa sejatinya pekerja dan pengusaha memiliki hak yang sama (musawah), walau dengan peran yang berbeda, dan bahwa sejatinya pekerja harus diperlakukan sebagai saudara (ukhuwwah) sehingga harus di perhatikan, diutamakan dan dijamin hak-haknya. Bahkan dalam Islam dikenal perintah “bayarlah pekerjamu bahkan sebelum keringat mereka kering” yang menunjukkan semangat penghormatan terhadap kelompok para pekerja. Maka pada akhirnya, semoga ‘titik temu’ drama ini dapat benar-benar terjadi dan semoga drama ini memiliki ending yang happy dengan semangat ketenagakerjaan yang berkeadilan-berkemanusiaan.
*) Penulis adalah Syaif Al-Haq, S.H, S.Ag, Asisten Dosen Fakultas Syariah UIN Malang.