Transformasi Menjadi BUMDES, Mensejahterakan atau Menyengsarakan?
Editor: Ahmad Arsyad
KABARBARU, OPINI- Kesejahteraan sosial telah nyata-nyata menjadi cita bangsa Indonesia. Hal tersebut secara tegas telah dimuat dalam sila ke-5 Pancasila, pun juga termaktub dalam pembukaan Undang-undang Dasar (UUD) 1945 Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sudah tentunya semua nilai-nilai yang terkandung di dalamnya haruslah diimplementasikan. Salah satunya adalah mensejahterakan. Bahwa dalam mengejawantahkan nilai kesejahteraan tersebut, Pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan sebagai bentuk menjalankan amanat Pancasila dan Konstitusi.
Salah satu bentuk upaya Pemerintah dalam mensejahterakan kehidupan sosial adalah memberikan pengelolaan secara mandiri/Bersama kepada masing-masing Desa. Kebijkan tersebut ‘dibungkus’ menjadi Badan Usaha Milik Desa. Secara nomenklatur Badan Usaha Milik Desa adalah sebuah badan hukum yang didirikan oleh desa dan/atau Bersama desa-desa guna mengelola usaha, memanfaatkan asset, mengembangkan investasi dan produktivitas, menyediakan jasa pelayanan, dan/atau menyediakan jenis usaha lainnya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan desa. Pemerintah berharap dengan kebijakan tersebut dapat meningkatkan produktifitas masyarakat, sehingga berdampak kepada kesejahteraan masyarakat berbasis desa.
Pasca dilahirkannya Undang-undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Eksistensi Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) semakin diperluas keberadaanya untuk mensejahterakan rakyat. Perluasan tersebut oleh Pemerintah, dilakukannya Transformasi Unit Pengelola Kegiatan (UPK) eks Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan (MPd) menjadi Badan Usaha Milik Desa bersama Lembaga Keuangan Desa (LKD). Hal tersebut dilakukan guna sebagai bentuk upaya penyelamatan atas dana UPK PNPM LKD sebesar Rp. 12,7 Triliun dengan asset Rp. 594 Miliar yang merupakan adalah hak masyarakat Miskin.
Sebagai bentuk langkah konkrit dari kebijakan tersebut, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2021 tentang Badan Usaha Milik Desa sebagai bentuk aturan turunan langsung dari pasal 117 dan pasal 185 huruf Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Lalu, pun didalam regulasi lain yaitu dalam Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor 15 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pembentukan Pengelola Kegiatan Dana Bergulir Masyarakat Eks Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan Menjadi Badan Usaha Milik Desa Bersama telah diatur secara rigid mengenai Tranformasi menjadi Badan Usaha Milik Desa.
Lebih lanjut, alasan dilakukan transformasi tersebut adalah untuk menaikan kualitas partisipatif masyarakat. Karena pemerintah menilai, pengelolaan dana UPK hanya dinikmati oleh Pengelola dan segelintir orang yang terlibat dalam pengelolaan. Namun, disisi lain Badan Usaha Milik Desa kerap kali dihantui oleh fenomena praktik korupsi. Salah satu contohnya, pada bulan Januari tahun 2022 lalu Eks Ketua BUMDes Amarta Desa Patas, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Bali dengan tersangka bernama Hernawati yang diduga merugikan BUMDes Amarta Desa Patas hingga Rp. 511,6 juta.
Bahwa alih-alih BUMDes sebagai bentuk penyelematan dana yang bermuara menjaga hak masyarakat miskin serta meningkatkan kualitas partisipatif masyarakat. Justru, Fenomena ini menunjukan kekhawatiran masyarakat terhadap kebijakan transformasi tersebut. Terlebih, tidak adanya jaminan kepastian dalam bentuk yang kongkrit dari kebijakan transformasi UPK Eks PNPM-MPd menjadi BUMDes. Karena pada dasarnya publik akan berpandangan buruk dan tidak dapat memberikan kepercayaan kepada sebuah lembaga pemerintah yang sudah terkontaminasi, terlebih terdapat potensi adanya keberlanjutan fenomena korupsi di Badan Usaha Milik Desa.
Kontradiktif antara visi dan realitas inilah yang menjadi sorotan publik, sehingga Pemerintah perlu merenungi serta mengevaluasi secara komprehensif kebijakan tranformasi tersebut. Bahwa poin gagasan penulis terhadap realita yang terjadi dengan semangat untuk menjaga hak masyarakat miskin dalam memperoleh hak yang termuat dalam BUMDes adalah melakukan transparansi segala bentuk operasional, dan menjaring pengelola atau pengurus BUMDes yang memiliki integritas tinggi dengan berdasarkan kompetensi prinsip kompetitif. Gagasan tersebut, dapat berpotensi menutup ‘keran’ tindak pidan korupsi yang terjadi ditubuh Badan Usaha Milik Desa.
Untuk itu tentunya, jika tindak pidana korupsi dapat terbendung dengan upaya-upaya gagasan tersebut, maka apa yang menjadi visi dalam transfromasi Unit Pengelola Kegiatan Eks Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan (MPd) menjadi Badan Usaha Milik Desa bersama Lembaga Keuangan Desa (LKD) dapat terwujud mensejahterakan masyarakat.
*) Penulis adalah Muhammad Sahrul, Ketua Senat Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kabarbaru.co