Melawan Kanker Bangsa: Saatnya Indonesia Bebas dari Jerat Korupsi
Editor: Ahmad Arsyad
Korupsi telah menjadi penyakit kronis yang menggerogoti pondasi bangsa Indonesia. Lebih dari dua dekade setelah era reformasi, alih-alih terkikis, praktik korupsi justru semakin berkembang pesat, merasuk ke berbagai lini kehidupan bernegara. Realitas ini bukan sekadar tudingan kosong; data menunjukkan bahwa jumlah kasus korupsi di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun, menegaskan bahwa masalah ini telah menjadi ancaman sistemik yang serius.
Salah satu kasus yang paling mencengangkan adalah mega korupsi di sektor pertambangan timah, yang merugikan negara hingga Rp. 271 triliun. Skandal ini tidak hanya mengungkap kerakusan oknum pejabat dan pengusaha, tetapi juga memperlihatkan kelemahan sistem pengawasan dan penegakan hukum. Bahkan, keterlibatan aparat penegak hukum dalam praktik korupsi semakin menambah parah situasi, menghancurkan kepercayaan publik terhadap institusi pemerintah yang seharusnya menjadi pelindung kepentingan rakyat.
Korupsi tidak berhenti di sektor pertambangan. Kasus Jiwasraya dan Asabri, yang merugikan negara masing-masing sebesar Rp16,81 triliun dan Rp22,78 triliun, menunjukkan bahwa bahkan dana pensiun dan asuransi, yang seharusnya menjamin kesejahteraan masyarakat di masa tua, tidak luput dari tangan-tangan koruptor. Ini bukan hanya soal kerugian finansial, tetapi juga ancaman terhadap masa depan jutaan rakyat Indonesia yang bergantung pada dana tersebut.
Yang lebih mengkhawatirkan, korupsi juga telah merambah ke ranah politik dan pemilu. Indonesia Corruption Watch (ICW) melaporkan bahwa setidaknya 138 calon kepala daerah dalam Pilkada 2024 diduga terlibat kasus korupsi. Fakta ini menunjukkan betapa kuatnya cengkeraman korupsi dalam sistem politik kita, bahkan sebelum para pemimpin terpilih.
Upaya pemberantasan korupsi seolah berjalan di tempat. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang dulunya menjadi ujung tombak dalam perang melawan korupsi, kini menghadapi tantangan internal dan eksternal. Kontroversi internal dan tuduhan terhadap sejumlah pimpinan KPK telah menurunkan kredibilitas lembaga tersebut, meninggalkan ruang bagi koruptor untuk terus beraksi tanpa rasa takut.
Korupsi tidak hanya membawa kerugian finansial, tetapi juga menciptakan dampak yang lebih luas dan mendalam. Ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah, rusaknya iklim investasi, dan hambatan terhadap pembangunan nasional adalah sebagian kecil dari konsekuensi yang dirasakan. Bahkan, dalam situasi krisis seperti pandemi COVID-19, dana bantuan sosial yang seharusnya membantu masyarakat yang paling membutuhkan malah diselewengkan demi kepentingan pribadi.
Mengatasi permasalahan korupsi yang telah mengakar ini membutuhkan upaya komprehensif dan sistematis. Penguatan sistem hukum dengan penegakan yang tegas tanpa pandang bulu harus menjadi prioritas. Transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan negara juga perlu ditingkatkan, termasuk melibatkan teknologi untuk meminimalisasi celah korupsi.
Namun, upaya struktural saja tidak cukup. Korupsi harus diberantas dari akarnya melalui perubahan budaya. Pendidikan antikorupsi harus dimulai sejak dini dan menjadi bagian integral dari kurikulum nasional. Kesadaran masyarakat tentang pentingnya pengawasan dan pelaporan praktik korupsi juga harus ditingkatkan. Hanya dengan partisipasi aktif masyarakat, pemerintah dapat bekerja lebih efektif dalam memberantas korupsi.
Ala Kulli Hall, Pemberantasan korupsi bukanlah tugas yang mudah dan tidak bisa diselesaikan dalam waktu singkat. Namun, jika seluruh elemen bangsa bersatu dengan tekad dan komitmen yang kuat, Indonesia bisa terbebas dari jerat korupsi. Kini saatnya kita semua bergerak bersama, demi menciptakan Indonesia yang bersih, adil, dan sejahtera.
Penulis adalah Aden Farih R., Mahasiswa Ilmu Politik Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta