Self Reward: Antara Apresiasi Diri dan Konsumerisasi Terselubung
Jurnalis: Bahiyyah Azzahra
Kabar Baru, Opini – Self-reward atau penghargaan terhadap diri sendiri menjadi fenomena populer di kalangan generasi milenial dan Gen Z. Ide ini didasarkan pada prinsip bahwa setiap individu berhak merayakan pencapaian sekecil apa pun sebagai bentuk apresiasi atas usaha yang dilakukan. Dalam pelaksanaannya, self-reward bisa berupa menikmati kopi favorit setelah bekerja seharian, membeli barang yang diidamkan, atau meluangkan waktu untuk aktivitas menyenangkan. Namun, di balik popularitasnya, muncul pertanyaan: apakah self-reward benar-benar membawa manfaat, atau justru menjebak individu dalam konsumerisme?
Secara psikologis, self-reward dapat memberikan dampak positif. Kegiatan ini mampu meningkatkan motivasi dan memberi jeda dari rutinitas yang melelahkan. Menurut teori reinforcement, penghargaan yang diberikan setelah pencapaian tertentu dapat mendorong seseorang untuk terus berupaya lebih baik di masa depan.
Dengan demikian, self-reward dapat menjadi cara efektif untuk menjaga keseimbangan antara produktivitas dan kebahagiaan pribadi. Selain itu, self-reward mengajarkan pentingnya self-compassion, yaitu sikap menerima diri apa adanya. Dalam dunia yang penuh tekanan dan tuntutan, self-reward menjadi pengingat bahwa individu layak dihargai, meskipun pencapaiannya tidak selalu besar di mata orang lain.
Meski memberikan manfaat, self-reward juga memiliki sisi gelap jika tidak dilakukan dengan bijak. Dengan maraknya promosi diskon dan kampanye “self-reward yourself” dari berbagai merek, praktik ini berisiko mendorong pola konsumsi berlebihan. Self-reward yang awalnya bertujuan memperbaiki kesejahteraan mental bisa berubah menjadi alasan untuk membeli barang atau layanan yang tidak benar-benar dibutuhkan.
Kondisi ini berpotensi menciptakan tekanan finansial, terutama bagi individu dengan anggaran terbatas. Tidak jarang, perasaan bersalah muncul setelah melakukan pembelian impulsif. Selain itu, tekanan sosial dari media digital seperti unggahan self-reward berupa barang mewah atau liburan mahal dapat memicu kecemasan dan perasaan tidak cukup baik.
Agar self-reward tetap menjadi kegiatan yang sehat dan bermanfaat, ada beberapa langkah yang dapat diterapkan:
1. Sesuaikan dengan Kemampuan Finansial
Tidak perlu merayakan pencapaian dengan hadiah besar yang menguras kantong. Pilih bentuk penghargaan sederhana, seperti istirahat berkualitas atau aktivitas yang menyenangkan.
2. Tetapkan Batasan
Jangan jadikan self-reward sebagai alasan untuk terus-menerus membeli sesuatu setiap kali merasa lelah atau stres. Bedakan antara kebutuhan nyata dan keinginan sesaat.
3. Pilih Penghargaan Non-Material
Self-reward tidak harus berupa pembelian barang. Menikmati hobi, membaca buku, atau sekadar berjalan-jalan di taman dapat memberikan kepuasan yang sama atau bahkan lebih baik dalam meningkatkan suasana hati.
Pada akhirnya, self-reward adalah alat untuk merayakan diri yang patut diapresiasi. Namun, penting untuk melakukannya secara sadar dan bijak agar tidak terjebak dalam jeratan konsumerisme. Dengan pendekatan yang tepat, self-reward dapat menjadi sarana menjaga keseimbangan hidup tanpa mengorbankan kestabilan finansial maupun kesehatan mental.