Yurisdiksi Negara ASEAN: Hambatan Penegakkan Hukum Pelanggaran HAM

Editor: Ahmad Arsyad
Kabar Baru, Opini- Di tengah semangat kerjasama dan integrasi diplomatis regional, negara-negara anggota ASEAN (Association of South-East Asia Natsion) berusaha mencapai tujuan bersama, salah satunya ialah perlindungan hak asasi manusia (HAM). Namun, upaya penegakan HAM di kawasan tersebut sering kali terhambat oleh berbagai kendala, salah satunya adalah masalah yurisdiksi yang berlaku di negara-negara ASEAN.
Yurisdiksi dalam KBBI adalah kekuasaan mengadili; lingkup kekuasaan kehakiman; peradilan. Sedangkan menurut pengertian hukum internasional yang dikemukakan oleh Anthoni Csabafi dalam bukunya “The Concept of The State Jurisdiction in Internasional State Law” adalah hak dari suatu negara untuk mengatur dan mempengaruhi dengan langkah-langkah atau tindakan yang bersifat legislatif, eksekutif dan yudikatif atas hak-hak individu, kepemilikan atau harta kekayaan, perilaku-perilaku atau peristiwa peristiwa yang tidak serta-merta merupakan masalah dalam negeri.
Dalam konteks asosiasi negara-negara asia tenggara atau ASEAN, didalamnya memiliki ciri khas tersendiri, khususnya dalam penyelesaian pelenggaran hak asasi manusia yakni adanya “prinsip non-intervensi”. Yang dimaksud prinsip non-intervensi disini adalah negara-negara anggota ASEAN tidak berhak untuk mencampuri penegakan hukum negara anggota anggota ASEAN lainya, seperti yang diuangkapkan dalam ASEAN Charter (Piagam ASEAN). Ketika pelanggaran HAM terjadi di suatu negara ASEAN, negara lainnya sering kali menutup diri dengan dalih menghormati kedaulatan dan tidak mencampuri urusan internal negara tersebut. Padahal, dalam kasus pelanggaran HAM yang serius, seperti genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, atau pemindahan penduduk paksa, perlunya penegakan hukum dan keadilan melebihi batas-batas yurisdiksi nasional.
Prinsip non-intervensi dan kedaulatan negara yang menjadi salah satu pilar utama dalam penegakan HAM di kawasan ASEAN. Meskipun prinsip tersebut pada awalnya bertujuan untuk menjaga stabilitas dan kedamaian di antara anggota ASEAN, namun dalam beberapa situasi, hal tersebut dapat menyebabkan penanganan masalah HAM yang kontroversial menjadi lebih rumit dan sulit dilakukan.Prinsip non-intervensi yang terdapat dalam Piagam ASEAN selama ini dipegang teguh oleh para anggota ASEAN dalam kebijakan regionalnya menyebabkan negara-negara anggota tidak memiliki legitimasi dan otoritas yang cukup untuk mengintervensi masalah konflik dan pelanggaran HAM internal negara-negara anggotanya.
Dalam konteks penegakan HAM, hadirnya AICHR (ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights) sebenarnya merupakan langkah positif. AICHR menjadi mekanisme regional yang diharapkan dapat memfasilitasi penyelesaian masalah HAM di ASEAN. Namun, AICHR juga masih dihadapkan pada kendala-kendala yurisdiksi yang dapat membatasi kekuasaannya dalam menegakkan HAM di negara-negara anggota AICHR yang memiliki mandat promotion dan protection. Akan tetapi, hingga periode ini baru dapat melaksanakan fungsi promotion saja. Beberapa kasus yang diduga terjadi pelanggaran HAM di dalamnya yang sudah dilaporkan kepada AICHR tidak mendapat tanggapan apapun dalam penegakan hukumnya.
Jika ASEAN terus mengedepankan prinsip non-intervensi sebagai tameng, maka setiap masalah yang muncul di antara negara-negara anggota ASEAN cenderung akan berlarut-larut dan menarik perhatian dunia internasional. Hal tersebut terjadi karena pandangan mengenai hak asasi manusia (HAM) dalam penerapan prinsip non-intervensi dapat menyimpang. Seharusnya, negara-negara anggota ASEAN melindungi, menghormati, dan memenuhi hak asasi manusia warga negaranya. Prinsip-prinsip HAM yang mencakup tanggung jawab negara dan penerapan hukum seharusnya dijalankan dengan baik.
Untuk mencapai kemajuan yang signifikan dalam penegakan HAM di ASEAN, perlu adanya upaya lebih lanjut untuk mengatasi masalah yurisdiksi dan prinsip non-intervensi tersebut. Negara-negara anggota perlu berkolaborasi diplomatis secara lebih aktif dalam menangani masalah HAM yang melibatkan lebih dari satu negara, dan mencari keseimbangan antara prinsip non-intervensi dan perlindungan HAM. Selain itu, AICHR juga perlu diberikan mandat yang lebih kuat dan fleksibel agar dapat lebih efektif dalam melaksanakan fungsinya sebagai lembaga penegakan HAM regional.
Didirikannya Pengadilan HAM tingkat regional ASEAN seperti halnya pengadilan HAM tingkat regional Eropa (ECHR / European Court of Human Rights) menjadi bahan bahasan penting dewasa ini. Urgensi didirikannya Pengadilan HAM tingkat regional ASEAN sebanding dengan pentingnya adanya Pengadilan HAM tingkat regional di Eropa. Seperti yang kita ketahui, Pengadilan HAM tingkat regional Eropa telah memainkan peran penting dalam memastikan perlindungan hak asasi manusia dan penegakan hukum di kawasan tersebut. Oleh sebab itu, ASEAN juga harus mengambil langkah serupa untuk menangani isu-isu hak asasi manusia yang kompleks di kawasan Asia Tenggara.
Dalam hal apapun, penting untuk diingat bahwa perlindungan HAM merupakan ius cogens dan erga ormnes yang merupakan tanggung jawab bersama yang harus diutamakan di atas kepentingan nasional. Dengan bersatu dan bekerja sama, negara-negara ASEAN dapat mengatasi kendala yurisdiksi dan mendorong penegakan HAM yang lebih efektif dan adil di kawasan tersebut.
*) Penulis adalah Saiful Risky, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang.