Berita

 Network

 Partner

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store

Menimbang Eksistensi Mahkamah Konstitusi Hari Ini

Penulis: Aimi Solidei M. (Foto: saibumi.id).

Editor:

KABARBARU, OPINI– Mahkamah Konstitusi Indonesia lahir pada tanggal 13 Agustus 2003, dan kini telah mencapai usia remaja beranjak dewasa yang berumur 18 (delapan belas) tahun. Kinerja dan performa Mahkamah Konstitusi sepanjang usia 18 (delapan belas) tahun berdiri mengalami berbagai pasang surut arus dan gelombang dengan kepemimpinan yang silih berganti sebanyak 6 (enam) kali yang dimulai dari Jimly Ashiddiqqie (2003-2008), Moh. Mahfud M.D (2008-2013), Akil Mochtar (2013), Hamdan Zoelva (2013-2015), Arief Hidayat (2015-2020), dan yang terakhir masih menjabat Anwar Usman (2020-sekarang).

Masa-masa keemasan Mahkamah Konstitusi justru pada era awal berdirinya Mahkamah Konstitusi, dimana masyarakat masih memiliki kepercayaan yang sangat tinggi sehingga secara natural terbangunnya wibawa institusi Mahkamah Konstitusi yang merupakan pengawal konstitusi UUD NRI Tahun 1945, walaupun begitu bukan berarti bebas dari kritik. Dari sorotan yang dapat dipantau terhadap kinerja Mahkamah Konstitusi setelah periode Moh. Mahfud M.D dan dilanjutkan tongkat estafet kepemimpinannya oleh Akil Mochtar cenderung mengalami penurunan. Musibah yang dialami oleh Mahkamah Konstitusi disebabkan oleh terseretnya Akil Mochtar dalam jeratan korupsi. Sebelum ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar terjerat kasus, Mahkamah Konstitusi dianggap merupakan salah satu lembaga yang paling kredibel, dapat dipercaya dan sangat sepi akan riuhnya kritik dari masyarakat. Namun pasca tertangkap tangannya Akil Mochtar dalam kasus korupsi maka Mahkamah Konstitusi menjadi sorotan, sasaran kritik dan cibiran dari masyarakat.

Jasa Penerbitan Buku

Banyak lahir dan terbit putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang menimbulkan kontroversi publik, diantaranya: Pertama, pada judicial review Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, pada tahun 2015, terkait uji materi warga Negara Indonesia yang dapat menjadi calon kepala daerah adalah yang memenuhi persyaratan tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana. Amar putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, keluarga petahana boleh mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daerah. Pelarangan tersebut dapat mencederai hak politik warga negara yang turut aktif dalam politik. Putusan tersebut menimbulkan kontroversi, dimana dianggap melalui putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dapat melanggengkan dinasti politik keluarga.

Kedua, judicial review Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, pada Tahun 2015, terkait uji materi warga Negara Indonesia yang dapat menjadi calon kepala daerah adalah yang memenuhi persyaratan tidak pernah dijatuhi pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih. Amar putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa pasal tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Mantan narapidana dapat mengikuti pemilihan kepala daerah selama terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan adalah narapidana. Putusan tersebut menimbulkan kontroversi, dimana dianggap melalui putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dapat menciptakan politik di Indonesia yang tidak mempunyai etika dikarenakan memberikan kesempatan kepada mantan pelaku kejahatan dalam kehidupan politik, dan hal ini membuat degradasi demokrasi di Indonesia.

Ketiga, judicial review Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang menimbulkan berbagai polemik di masyarakat baik di kalangan akademisi, pengusaha maupun tenaga kerja.

Melalui penjabaran beberapa sorotan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, baik dalam menghapus, menolak maupun menafsirkan norma dalam suatu pasal di sebuah produk hukum Undang-Undang. Memang bisa saja dianggap putusan yang dikeluarkan Mahkamah Konstitusi merupakan reformasi dalam bidang hukum olehkarena putusan yang memberikan jaminan dan kepastian hukum. Akan tetapi di sisi lain, putusan Mahkamah Konstitusi menandakan adanya kemunduran dalam proses berpolitik maupun konsistensi Mahkamah Konstitusi dalam membuat dan menghasilkan putusan pada pengujian undang-undang. Dalam proses politik misalnya ketika Undang-Undang melarang mantan narapidana turut serta dalam pemilihan kepala daerah, norma pada produk hukum dirumuskan agar dalam berpolitik harus santun dan beretika, akan tetapi Mahkamah Konstitusi justru memberikan tafsiran lain, yang menyatakan dilarangnya mantan narapidana ikut serta dalam politik akan mencederai hak asasi warga, dimana hak asasi warga dilindungi oleh konstitusi UUD NRI 1945.

Kontroversi yang cukup sengit di masyarakat salah satunya terhadap putusan Mahkamah Konstitusi terhadap pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHP, dimana para pemohon mengajukan 2 (dua) hal yakni pertama, terkait diperbolehkannya peninjauan kembali (PK) lebih dari 1 (satu) kali; kedua, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa penetapan tersangka merupakan objek pra peradilan. Pada saat Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan memperbolehkan peninjauan kembali lebih dari sekali, Mahkamah Agung mengeluarkan surat edaran adanya pembatasan peninjauan kembali pada kasus pidana yakni hanya satu kali. Putusan yang dikeluarkan oleh kedua lembaga yudikatif menimbulkan kerancuan dan ketidakpastian hukum. Putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang mengarah kontroversial seperti itu akan menurunkan kewibawaan Mahkamah Konstitusi selaku lembaga pengawal konstitusi.

Lahir dan dibentuknya Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yudikatif (Supreme Court) membuka peluang terobosan dan angin segar dalam bidang hukum. Indonesia menjadi negara ke-78 yang membentuk Mahkamah Konstitusi secara tersendiri. Mahkamah Konstitusi paling lambat harus sudah dibentuk pada tanggal 17 Agustus 2003. Dimana sebelum Mahkamah Konstitusi terbentuk sebagaimana mestinya, maka sesuai ketentuan Aturan Peralihan Pasal III yang disahkan dalam Sidang Tahun 2002, segala kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah Agung. Keberadaan Mahkamah Konstitusi dipandang sebagai sebuah wadah dalam mencari suatu keadilan melalui setiap putusan-putusannya.

Oleh karena Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan ekslusif yaitu sebagai satu-satunya lembaga yang dapat menafsirkan konstitusi dan memiliki keunikan dalam putusannya yaitu salah satunya berkarakter ultra petita. Maka sangat besar harapan agar Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan fungsi-fungsinya tidak berada dalam pengaruh kekuasan politik sehingga dapat terhindar dari gesekan-gesekan politik maupun dapat bebas dari intervensi siapapun juga dalam pengambilan setiap putusannya. Oleh sebab itu pula, besarlah harapan seluruh rakyat Indonesia terhadap Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan untuk dapat mewujudkan dan menciptakan sebuah peradilan yang adil dalam memutus setiap perkara.

Dipandang dari sepak terjang Mahkamah Konstitusi yang cenderung melahirkan beberapa putusan kontroversial, Mahkamah Konstitusi diharapkan kembali ke jalur awal pada saat pertama kali dibentuk yaitu mengambil putusan berdasarkan asas keadilan dan tidak terpengaruh dengan situasi kondisi politik yang sedang terjadi. Meskipun pada tahun-tahun belakangan ini Mahkamah Konstitusi sedang berjuang keras untuk meraih kembali kepercayaan masyarakat dan kewibawaannya yang telah memudar sebagai dampak negatif dari terjeratnya Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar pada kasus korupsi di bulan Oktober Tahun 2013.

Satjipto Rahardjo yang merupakan seorang penggagas hukum progresif, memuji Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang bermazhab hukum progresif, dimana putusan-putusan Mahkamah Konstitusi menembus kebuntuan cara berhukum, membawa rasa keadilan, dan memenuhi hak konstitusional warga negara. Lebih lanjut, Satjipto Rahardjo, memiliki pandangan bahwa hakim adalah harapan terakhir bagi para justiabelen (pencari keadilan), para hakim harus membaca jiwa yang terkandung di dalam teks-teks hukum sebagaimana dipopulerkan oleh Ronald Dworkin (moral reading of law) dan kewenangan menafsir aturan hukum yang dilakukan lembaga peradilan.

Namun bukan berarti tafsiran dalam setiap amar putusan Mahkamah Konstitusi menjadi kebablasan karena ditinjau hingga saat pembacaan judicial review Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja telah diputus inkonstitusional bersyarat melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 91/PUU-XVIII Tahun 2020 pada hari Kamis, tanggal 25 November 2021, telah melukai hati sanubari banyak kalangan. Dalam amar putusannya, Mahkamah Konstitusi menilai pembentukan UU Cipta Kerja tidak didasarkan pada cara dan metode yang pasti, baku, dan standar serta sistematika Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Selain dari itu juga terjadi perubahan penulisan pada beberapa substansi setelah persetujuan bersama antara DPR dan Presiden serta bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Olehkarena itu dalam Amar putusan Mahkamah Konstitusi untuk pertama kalinya dalam sejarah sejak terbentuknya Mahkamah Konstitusi di Indonesia, mengeluarkan putusan dengan menyatakan cacat formil terhadap proses pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 dan tidak memenuhi ketentuan UUD 1945.

Namun dengan adanya amar putusan inkonstitusional bersyarat, maka UU Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan.

Menurut pandangan Moh. Mahfud MD menyampaikan bahwa putusan MK tersebut tidak masalah dan sesuai dengan amar putusan MK, yang berarti UU Cipta Kerja akan tetap berlaku sampai 2 tahun hingga diperbaiki. Timbul pertanyaan dalam benak Penulis, Putusan yang menyatakan cacat formilnya suatu undang-undang bukankah berarti undang-undang tersebut otomatis batal demi hukum? Bagaimana jika dalam jangka waktu 2 (dua) tahun ini, DPR bersama dengan Presiden (Pemerintah) tidak melakukan perbaikan pada substansi materi Undang-Undang Cipta Kerja, namun malah mengubah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dengan memasukan konsep atau norma omnibus law kedalamnya? Apakah itu berarti, DPR dan Pemerintah telah mematuhi dan menjalankan amar putusan Mahkamah Konstitusi? Atau berarti, putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tidak dipatuhi oleh karena ketidaktegasan amar putusannya? Atau lebih buruknya lagi, apakah citra dan wibawa Mahkamah Konstitusi itu sudah semakin memudar sehingga tidak lagi dipandang sebagai pengawal konstitusi?

Olehkarena itu, bagi setiap hakim Mahkamah Konstitusi untuk dapat memastikan agar setiap putusan yang dikeluarkan pada perkara pengujian UU senantiasa berwatak implementatif yang mana setiap pertimbangan hukum putusannya tidak hanya berlandaskan pada penafsiran teori-teori hukum semata, namun juga harus memperhatikan suasana kebatinan yang ada dalam masyarakat berkenaan dengan UU yang diuji, sepanjang tidak lepas dari original content (maksud sebenarnya) dari UU dan isi konstitusi yang menjadi landasan pengujiannya. Dan kiranya dapat mengembalikan kepercayaan dan kewibawaannya pada era keemasan dulu.

 

*) Penulis adalah Aimi Solidei M, magister Hukum Tata Negara Universitas Indonesia

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kabarbaru.co

Kabarbaru Network

https://beritabaru.co/

About Our Kabarbaru.co

Kabarbaru.co menyajikan berita aktual dan inspiratif dari sudut pandang berbaik sangka serta terverifikasi dari sumber yang tepat.

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store